Pagi itu Bandung masih dibalut kabut tipis saat aku bersiap untuk sebuah perjalanan yang tidak terlalu jauh, tapi penuh kenangan dan aroma petualangan, berburu sate maranggi ke Purwakarta. Dengan sepeda motor yang berderu pelan, aku memulai perjalanan dari Bandung menuju Plered, sebuah kampung sederhana yang terkenal sebagai surga pecinta sate maranggi.
Langit pagi Bandung yang cerah dan udara dingin yang lembut membuat perjalanan ini terasa begitu syahdu. Aku melewati jalanan yang dibingkai deretan pohon hijau, seolah pepohonan itu adalah pengawal setia yang menemani perjalanan kecilku.Â
Deretan bukit dan gunung yang terhampar di kejauhan terlihat seperti lukisan alam yang dibuat dengan lembut dan telaten. Seperti ibu yang menyelimuti anaknya, pegunungan itu membentangkan ketenangan dan kedamaian di sekeliling.
Tak butuh waktu lama, hanya sekitar satu jam lebih aku telah menembus jalan raya yang lengang dan bebas macet. Deru motor dan semilir angin yang menyapa wajah terasa menyegarkan.Â
Aroma alam perlahan bercampur dengan hawa pedesaan ketika aku semakin dekat dengan Plered. Aroma dedaunan, rerumputan, dan mungkin sedikit aroma petualangan tercium samar-samar. Setiap tikungan jalan seolah menyimpan harapan akan hidangan yang telah kutunggu-tunggu sejak lama, sate maranggi.
Plered, sebuah kawasan di Purwakarta yang terkenal akan kelezatan sate maranggi, adalah tujuan yang menyedot para pecinta kuliner dari segala penjuru. Memasuki daerah ini, suasana mendadak berubah.Â
Rumah-rumah sederhana, jalanan yang ramai dengan pedagang, dan aroma khas sate yang sedang dibakar langsung menyergap indra. Hanya sekitar 10 menit setelah memasuki Plered, aku tiba di pusat sate maranggi yang terkenal berada di sekitar Stasiun Plered.
Bayangkan sebuah kampung yang dipenuhi puluhan pedagang sate maranggi; aroma khas daging bakar yang gurih bercampur dengan bau arang menyebar ke segala arah, menggoda siapa pun yang lewat. Kampung sederhana ini seolah menyatu dengan asap yang mengepul dari pembakaran sate di tiap sudut.Â
Bahkan sebelum turun dari motor, aku sudah merasa lapar hanya karena aroma yang begitu menggoda. Aroma daging yang terbakar dengan sentuhan bumbu maranggi yang pedas, segar, dan khas membuat perutku keroncongan tak sabar ingin segera menyantapnya.
Di sepanjang jalan, lapak-lapak pedagang tampak bersahaja. Bangku-bangku kayu sederhana dan meja beralas kain penuh kesan ramah. Aku langsung mencari tempat duduk di salah satu lapak yang tak jauh dari stasiun. Tanpa menunggu lama, aku memesan sate maranggi yang menjadi tujuan utama perjalanan ini, ditemani seporsi sop iga untuk melengkapi petualangan kuliner ini.