Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudahkah Guru Merdeka di Tengah Kurikulum Merdeka?

30 Oktober 2024   06:59 Diperbarui: 30 Oktober 2024   07:02 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.com AI

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan di Indonesia mengalami perubahan signifikan, terutama dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka. Kurikulum baru ini diharapkan dapat memberikan ruang kebebasan dan kreativitas bagi siswa dan guru dalam proses pembelajaran. 

Namun, apakah benar para guru sudah “merdeka” di dalam Kurikulum Merdeka ini? Pertanyaan ini semakin mengemuka di tengah realitas keseharian para pendidik yang menghadapi berbagai tantangan, mulai dari minimnya pendapatan hingga ancaman pidana ketika menjalankan tugas.

Kesejahteraan guru selalu menjadi isu sensitif dalam dunia pendidikan. Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer berada di kisaran Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan. 

Gaji ini jelas jauh di bawah upah minimum regional (UMR) di sebagian besar wilayah di Indonesia, bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi dan kebutuhan harian lainnya. Fenomena ini membuat banyak guru honorer merasa tidak dihargai dan terpinggirkan, meski mereka memainkan peran penting dalam mencerdaskan generasi bangsa.

Sebagai gambaran, seorang guru honorer di daerah terpencil mungkin harus menempuh perjalanan jauh dan melewati medan sulit hanya untuk sampai ke sekolah. Biaya transportasi sering kali tidak sebanding dengan honor yang diterima.

 Seorang guru yang harus mengeluarkan Rp30.000 per hari untuk transportasi, misalnya, akan menghabiskan sekitar Rp600.000 dalam sebulan hanya untuk perjalanan. 

Ketika honor yang diterima tidak mencukupi biaya transportasi, bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup lainnya? Dalam situasi ini, menjadi jelas bahwa kehidupan layak bagi guru masih menjadi sesuatu yang sulit dicapai.

Di sisi lain, beban moral yang harus ditanggung para guru pun tidaklah ringan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada sejumlah kasus guru yang dipidana atau dilaporkan ke pihak berwajib hanya karena menegur atau memberikan sanksi kepada siswa yang berperilaku tidak pantas. 

Fenomena ini tentu mengkhawatirkan, sebab guru seharusnya memiliki otoritas dalam mendidik dan membimbing muridnya.

 Ironisnya, langkah-langkah yang diambil para guru untuk menjaga kedisiplinan siswa sering kali berujung pada kasus hukum, merenggut kebebasan mereka dan membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.

Misalnya, kasus seorang guru di Sumatera Barat yang pada 2019 dijebloskan ke penjara karena menegur murid yang mengganggu proses belajar mengajar. Guru ini dilaporkan oleh orang tua murid tersebut, yang menganggap tindakan guru itu melampaui batas. 

Kasus serupa juga terjadi di Jawa Barat pada 2020, di mana seorang guru yang mendisiplinkan muridnya justru harus berhadapan dengan ancaman pidana. 

Kejadian-kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dan dilema di kalangan para guru. Akibatnya, mereka sering kali merasa harus “berhati-hati” dalam mendidik, karena takut akan konsekuensi hukum yang mungkin timbul. Bukankah situasi ini bertolak belakang dengan semangat Kurikulum Merdeka yang seharusnya memberikan kebebasan lebih bagi guru untuk mengajar?

Kurikulum Merdeka memang memberikan ruang kebebasan dalam menentukan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, tetapi kebebasan ini terasa hambar ketika realita tidak mendukung. 

Kebijakan ini mungkin akan efektif jika para guru didukung dengan jaminan kesejahteraan yang memadai dan perlindungan hukum yang kuat. 

Namun, kenyataannya, banyak guru justru masih dihadapkan pada kondisi finansial yang memprihatinkan serta situasi di mana mereka bisa saja terancam pidana saat menjalankan tugas. Situasi ini jelas kontraproduktif dengan tujuan utama dari Kurikulum Merdeka.

Masalah kesejahteraan guru, khususnya guru honorer, juga menimbulkan kekhawatiran jangka panjang bagi profesi ini. Jika kesejahteraan guru tidak menjadi prioritas, maka bukan tidak mungkin suatu saat profesi guru akan menjadi profesi yang dihindari oleh generasi muda. 

Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah lulusan pendidikan yang memilih profesi guru semakin menurun. 

Berdasarkan data BPS tahun 2022, jumlah mahasiswa lulusan keguruan yang langsung bekerja sebagai guru menurun sekitar 10% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dipahami mengingat minimnya insentif yang mereka dapatkan dibandingkan dengan profesi lain.

Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia akan menghadapi krisis tenaga pengajar di masa mendatang. Profesi guru bukan lagi profesi yang dianggap menarik, terutama bagi generasi muda yang ingin memiliki kesejahteraan dan stabilitas karir. Ini tentu menjadi masalah serius bagi keberlanjutan pendidikan di Indonesia.

Selain itu, minimnya perlindungan hukum bagi guru juga menjadi tantangan besar. Banyak guru yang merasa cemas dengan ancaman pidana yang dapat muncul kapan saja. Padahal, seharusnya profesi guru diberikan perlindungan hukum agar mereka dapat mendidik siswa dengan tegas dan disiplin. 

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sekitar 70% guru merasa khawatir dengan risiko pidana yang mungkin mereka hadapi dalam menjalankan tugas. Situasi ini mencerminkan betapa profesi guru masih jauh dari kata "merdeka" dalam arti yang sesungguhnya.

Melihat berbagai permasalahan ini, pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk memastikan kesejahteraan dan keamanan para guru. Peningkatan honor bagi guru honorer, perlindungan hukum yang lebih kuat, serta apresiasi terhadap profesi guru perlu menjadi prioritas utama. 

Pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk memberikan insentif tambahan bagi guru yang mengajar di daerah terpencil, mengingat mereka menghadapi tantangan yang lebih besar.

Kurikulum Merdeka memang memberikan harapan baru dalam sistem pendidikan Indonesia, namun jika tidak disertai dengan perbaikan pada aspek kesejahteraan dan perlindungan guru, kebijakan ini hanya akan menjadi wacana semata. 

Tanpa adanya rasa aman dan penghargaan yang layak, para guru tidak akan pernah benar-benar merasa "merdeka". Mereka mungkin akan terus terjepit di antara harapan untuk mendidik dengan optimal dan ketakutan akan konsekuensi dari tugas mulia yang mereka emban. 

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin profesi guru akan menjadi profesi yang dihindari. Generasi muda yang ingin memiliki masa depan cerah mungkin akan berpikir dua kali sebelum memilih profesi ini. 

Ini adalah tanda bahwa kita perlu melakukan perubahan sistemik, agar profesi guru benar-benar menjadi profesi yang dihargai dan didukung, bukan profesi yang tertindas di antara harapan dan realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun