Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Sumpah Pemuda di Tengah Maraknya Bullying di Kalangan Pelajar

28 Oktober 2024   16:03 Diperbarui: 28 Oktober 2024   16:03 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : id.pngtree.com


Pada 28 Oktober setiap tahunnya, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai tonggak penting sejarah perjuangan bangsa. Pada 1928, para pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah berkumpul dan berikrar untuk bersatu di bawah naungan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Namun, di tengah peringatan ini, masih muncul pertanyaan besar tentang makna Sumpah Pemuda bagi generasi muda saat ini, khususnya Generasi Z dan Generasi Alpha. Bagaimana mereka memaknai semangat persatuan di tengah era digital yang diwarnai oleh kasus bullying yang merajalela di kalangan pelajar?

Kasus bullying di sekolah-sekolah Indonesia bukanlah hal yang baru, namun data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa pada 2022, terdapat sekitar 20% anak Indonesia yang pernah mengalami perundungan. Menurut laporan dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), kasus bullying ini terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perundungan verbal, fisik, hingga cyberbullying. Fenomena ini semakin diperparah dengan meningkatnya penggunaan media sosial di kalangan pelajar, yang sering kali menjadi medium bagi tindakan perundungan.

Ironisnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda yakni persatuan dan kesatuan tidak tercermin dalam keseharian sebagian besar pelajar kita. Bullying yang melibatkan perbedaan latar belakang, suku, hingga gaya hidup memperlihatkan bahwa tantangan persatuan bangsa di era modern ini memerlukan pendekatan yang lebih adaptif, terutama bagi Generasi Z dan Alpha yang lahir di tengah arus teknologi.

Tantangan bagi Generasi Z dan Alpha

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, serta Generasi Alpha, yang lahir setelah 2012, tumbuh di era digital yang memudahkan mereka berkomunikasi tanpa batas. Media sosial, game online, dan platform digital lainnya mempertemukan mereka dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Namun, media sosial yang seharusnya menjadi ruang untuk memperluas jaringan pertemanan dan pengertian justru sering kali menjadi medium konflik, termasuk perundungan.

Budaya kompetisi yang kuat, baik dalam kehidupan akademis maupun personal, sering kali memicu tindakan merendahkan satu sama lain demi popularitas atau pengakuan dari lingkungan sosial mereka. Dalam konteks ini, Sumpah Pemuda seharusnya mengingatkan generasi muda akan pentingnya solidaritas di atas persaingan. Semangat persatuan dari berbagai suku, ras, dan budaya yang digelorakan dalam Sumpah Pemuda bisa menjadi dasar untuk membangun rasa saling menghargai di antara sesama pelajar.
Persoalan bullying sejatinya memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan karakter menjadi elemen penting dalam menanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan kepada Generasi Z dan Alpha. Pendidikan karakter yang diterapkan sejak dini dapat membentuk sikap toleransi, empati, dan saling menghargai.

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang dikenal anak-anak memainkan peran vital dalam menanamkan nilai-nilai moral. Orang tua diharapkan tidak hanya memberikan pemahaman tentang pentingnya sikap saling menghargai, tetapi juga memberikan teladan yang baik dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketika orang tua menunjukkan sikap yang menghargai perbedaan, anak-anak pun akan meniru dan menerapkan hal yang sama dalam pergaulan mereka.

Di sisi lain, sekolah juga harus memainkan peran sebagai institusi yang tidak hanya mengutamakan prestasi akademis, tetapi juga pembentukan karakter siswa. Kurikulum pendidikan diharapkan lebih banyak memuat materi-materi yang menekankan pentingnya toleransi dan solidaritas sosial. Program anti-bullying yang melibatkan diskusi kelompok, drama, atau simulasi bisa menjadi salah satu cara efektif untuk membangun kesadaran siswa tentang pentingnya hidup dalam keberagaman. 

Memaknai Sumpah Pemuda tidak hanya dilakukan dengan sekadar mengikuti upacara atau perayaan setiap 28 Oktober. Semangat persatuan yang terkandung di dalamnya perlu diinternalisasi oleh Generasi Z dan Alpha dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu caranya adalah dengan mengubah cara pandang terhadap perbedaan. Apabila dahulu para pemuda rela berkorban demi persatuan bangsa, maka saat ini, Generasi Z dan Alpha diharapkan mampu menghargai keberagaman sebagai aset berharga dalam menjaga persatuan di era global.

Bentuk apresiasi terhadap Sumpah Pemuda juga bisa diwujudkan melalui upaya untuk menghentikan perundungan di lingkungan sekitar. Pelajar perlu didorong untuk lebih berani mengungkapkan keprihatinan terhadap tindakan bullying yang terjadi di sekitar mereka. Di sini, peran sekolah dan organisasi kepemudaan menjadi penting dalam mengarahkan generasi muda untuk berani membela kebenaran dan menghargai perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun