Matahari siang itu terasa sangat terik, menyengat kulit dan membuat napas terasa berat. Di tengah perjalanan yang penuh hiruk pikuk di kota Bandung, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Di sebuah sudut jalan yang sepi, pandanganku tertuju pada gerobak kecil berwarna biru, dihiasi tulisan tangan yang mulai memudar, “Es Doger”. Seketika itu juga, kenangan masa kecil yang telah lama terkubur bangkit ke permukaan, seolah-olah waktu berputar mundur ke masa saat aku masih duduk di bangku SD. Dulu, setiap kali lonceng sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat, aku dan teman-teman berlarian ke pedagang es Doger di dekat gerbang sekolah.
Tanpa berpikir panjang, aku mendekat ke gerobak itu. Penjualnya seorang bapak tua dengan senyum yang ramah, wajahnya dipenuhi kerut-kerut kehidupan yang telah lama dilalui. "Es Doger, Pak?" tanyaku. "Iya Neng, lima ribuan aja secangkir," jawabnya singkat. Lima ribu rupiah, sungguh harga yang tak berubah sejak dulu. Di tengah semua yang serba mahal, menemukan es Doger dengan harga yang begitu murah adalah sebuah kejutan manis yang tak terduga. Perlahan, bapak itu mulai meracik es Doger pesanan, seperti seorang seniman yang sedang meramu karya seni yang penuh warna dan rasa.
Segera saja, segelas es Doger tersaji di tanganku. Warnanya cantik, kombinasi antara putih susu kelapa yang lembut, merah muda dari tape ketan, dan semburat hijau dari kelapa muda. Di atasnya, tumpukan serutan es berkilauan seperti butiran salju kecil yang mendinginkan hawa panas kota Bandung. Dengan sentuhan terakhir, sirup manis merah dan susu kental manis dituangkan di atasnya, menciptakan harmoni warna yang menggugah selera.
Aku menyeruputnya perlahan. Satu sendok pertama langsung mengantarkanku kembali ke masa kecil, ke hari-hari yang penuh keceriaan dan kesederhanaan. Rasa manis dari tape ketan menyebar di mulut, berpadu dengan lembutnya santan yang menjadi dasar dari es ini. Serutan esnya yang dingin langsung meleleh begitu menyentuh lidah, membawa sensasi segar yang tiada duanya. Di sela-sela tekstur tape, terselip potongan kelapa muda yang renyah, menambah dimensi rasa yang kompleks namun tetap bersahaja.
Es Doger ini bukan sekadar jajanan biasa. Ia adalah simbol dari waktu yang bergerak lambat, dari kebahagiaan yang sederhana, dari kenangan yang melintas di setiap suapan. Bukan hanya perut yang terisi, tetapi juga hati yang terisi dengan rasa nostalgia yang begitu mendalam. Setiap sendokannya bagaikan melodi yang mengalun perlahan, membawa ingatan akan masa-masa kecil yang tak terbebani oleh masalah dunia dewasa yang pelik.
Es Doger ini menjadi begitu istimewa bukan hanya komposisinya, tetapi juga keseimbangan rasa yang dimilikinya. Santan yang gurih berbaur sempurna dengan manisnya tape ketan dan sirup merah, memberikan harmoni rasa yang tak pernah berubah dari masa ke masa. Tekstur tape yang kenyal dan kelapa muda yang segar menciptakan kontras dengan es serut yang dingin dan meleleh di mulut, seperti perpaduan musim panas dan musim dingin dalam satu gelas.
Kehangatan siang itu perlahan terkikis oleh dinginnya es Doger. Meski matahari masih terik, aku merasa seperti berada di oasis kecil di tengah kota Bandung yang semakin hari kian padat.
Namun, di balik kesegaran dan kenikmatan yang ditawarkan, ada rasa sedih yang muncul di hatiku. Es Doger, jajanan yang dulu begitu populer, kini semakin langka ditemukan. Di era modern ini, di mana segala sesuatu serba instan dan cepat, es Doger tampaknya telah tergeser oleh minuman-minuman baru yang datang dengan berbagai kemasan menarik dan cita rasa kekinian. Padahal, es Doger memiliki nilai lebih dari sekadar rasa. Ia membawa cerita, membawa tradisi, membawa kenangan yang seharusnya tetap dilestarikan.
Aku merasa beruntung masih bisa menemukan gerobak es Doger di siang yang terik ini, di tengah kota Bandung yang terus berkembang dan berubah. Lima ribu rupiah mungkin tak ada artinya bagi sebagian orang, tetapi bagi aku, es Doger ini adalah harta karun. Sebuah kenikmatan sederhana yang melampaui harga dan waktu.
Setelah habis secangkir es Doger, aku pamit pada si bapak penjual. "Terima kasih, Pak," ucapku dengan senyum yang tulus. Bapak itu hanya mengangguk sambil tersenyum, seolah tahu betapa dalam arti dari jajanan ini bagiku. Aku melangkah pergi dengan hati yang hangat, meski udara di luar masih terasa panas. Sesederhana itu, es Doger telah berhasil mengubah siang yang terik menjadi momen yang penuh kenangan manis.