Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Jiwel si Manis yang Terlupakan

22 Oktober 2024   18:34 Diperbarui: 22 Oktober 2024   18:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah pagi yang masih beraroma embun, aku menapaki jalan berliku menuju Punclut, kawasan di utara Bandung yang terkenal dengan pasar  kagetnya setiap minggu. Udara dingin mengelus wajah, menyapa setiap pori kulit, seperti ingin mengingatkan bahwa hari baru selalu membawa petualangan yang tak terduga. 

Matahari baru mulai merayap di balik bukit, sinarnya malu-malu menyapa deretan pedagang yang sudah sibuk menata dagangan mereka.

Pasar Minggu Punclut, sebuah oasis bagi para pencinta kuliner tradisional. Suasana ramai para penjual dan pembeli, diselingi aroma masakan yang mengepul dari setiap sudut lapak, membuat suasana pagi ini seolah merayakan keragaman cita rasa Nusantara. 

Di sini, di tengah-tengah rimba rasa yang beraneka ragam, aku memulai perburuan kulinerku. Bukan untuk sembarang makanan, tapi untuk sebuah kenangan yang tersimpan dalam gigitan kecil manis bernama, jiwel.

Jiwel, sebuah nama yang mungkin tak lagi akrab di telinga generasi sekarang. Namun bagiku, jiwel adalah fragmen masa lalu yang tak lekang oleh waktu. Setiap kali menyebutnya, ingatan tentang masa kecil terlintas, saat aku berlarian di antara keramaian pasar, menggenggam koin pemberian ibu, hanya untuk membeli sepotong jiwel yang legit dan menggoda. 

Sudah lama aku tak merasakan manisnya, seperti mencari bayangan di antara keriuhan modernitas.

Langkahku terasa ringan namun penuh harapan, mencari jajanan itu di pasar Minggu Punclut. Suasana di sini begitu ramai, seperti simfoni kehidupan yang tak pernah berhenti. Setiap sudut pasar menawarkan sensasi yang berbeda, wangi bakso kuah panas, suara gemericik gorengan batagor di minyak yang mendidih, dan penjual yang dengan riang menawarkan daganganya.

 Tapi hatiku tetap tertuju pada satu pencarian, jajanan kecil yang dulu begitu memanjakan lidah.

Setelah berjalan di antara lorong-lorong pasar yang penuh sesak, mataku menangkap sesuatu yang familiar, lapak sederhana di pojok pasar, dengan kain penutup yang sudah mulai pudar. 

Di situ, berjejer manis jajanan tradisional yang seolah berdiri menantang zaman. Di antara lemper, nagasari, dan klepon, aku menemukannya jiwel. Bentuknya masih sama, bulat kecil dengan baluran kelapa parut di atasnya. 

Seperti bertemu dengan teman lama yang telah lama hilang, hati ini berdebar-debar, penuh rasa ingin tahu, apakah rasa itu masih seperti dulu?

Tanpa banyak pikir, aku langsung membelinya. Penjualnya, seorang ibu paruh baya dengan senyum hangat, mengangguk paham saat aku menyebutkan nama jiwel. "Sudah jarang yang cari ini, Nak. Tapi rasanya, masih sama seperti dulu," katanya dengan nada penuh kepercayaan.

Aku menggigit jiwel perlahan. Manisnya meledak di mulut, legitnya mengalir lembut, membawa ingatanku kembali pada masa kecil yang tak pernah terlupakan. Rasa ini, bukan hanya sekadar rasa gula merah yang legit atau kelapa yang gurih. 

Ini adalah rasa nostalgia, rasa kenangan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Seperti saat kita mendengar lagu lama yang membawa kita kembali ke momen-momen yang hangat, jiwel ini membawa semua itu ke dalam satu gigitan sederhana.

"Aku menemukanmu kembali," bisikku dalam hati. Jiwel yang kunikmati pagi ini bukan sekadar makanan, tapi semacam jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Di tengah arus modernitas yang begitu deras, rasanya seperti menemukan harta karun yang telah lama terkubur.

Pasar Punclut pagi itu seolah menjadi saksi bisu bagaimana sepotong jiwel mampu menghadirkan begitu banyak kenangan. Aku tak hanya merasakan aroma gula dan taburan kelapa, tapi juga kasih sayang ibu yang dulu mengantarku ke pasar, suasana hangat keluarga yang selalu menyertai setiap gigitan kecil di masa kecilku.

Setelah selesai, aku tersenyum puas. Bukan karena perut yang kenyang, tapi karena hati ini terasa penuh. Jiwel bukan sekadar jajanan, ia adalah saksi perjalanan waktu, simbol dari masa yang tak bisa diputar ulang, namun bisa dikenang lewat rasa. 

Di pagi yang dingin ini, di tengah keramaian pasar tradisional yang penuh warna, aku berhasil menemukan potongan kecil dari masa lalu yang begitu manis dan tak tergantikan.

Pagi ini, aku membawa pulang lebih dari sekadar jiwel. Aku membawa pulang nostalgia, rasa rindu yang akhirnya terpuaskan, dan kebahagiaan yang sederhana yang mungkin, hanya bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional seperti ini.

Nantikan kembali perburuan kulinerku Selanjutnya ya!

@ririe_aiko okt 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun