Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Sejauh Mana Orangtua Harus Terlibat dengan Lingkungan Anak di Sekolah?

13 September 2024   10:19 Diperbarui: 18 September 2024   12:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : halodoc.co.id 

Sejauh mana orangtua harus terlibat dengan lingkungan pergaulan anak di sekolah?

Sebenernya pertanyaan ini juga cukup membuat saya pribadi sebagai orangtua sekaligus pengajar kesulitan untuk menjawabnya. Di satu sisi sebagai orangtua kita harus tetap bisa memantau bagaimana pergaulan anak di sekolah! Jangan sampai kita lepas kendali dan tidak tahu bagaimana anak kita bersikap pada teman-temannya, apakah ia tumbuh menjadi pembully? Atau sebaliknya apakah anak kita justru sedang mengalami pembullyan? 

Di sisi lain, sebagai seseorang yang berprofesi sebagai pengajar, saya paham betul bahwa anak sedang dalam proses pembelajaran dan ia perlu belajar menjadi dewasa dan menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, tanpa orangtua terlibat terlalu jauh.

Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana cara kita sebagai orangtua untuk bisa menanamkan mental kuat dan survive agar anak siap mengatasi berbagai karakter manusia yang pasti ia temukan dimasa depan. 

Pada proses pembelajaran itu, terkadang sebagai orangtua kita juga bisa lebih lepas kendali. Contohnya saat terjadi sesuatu pada anak di sekolah, misalnya anak mengalami kekerasan verbal atau non verbal. 

Hal tersebut sangatlah wajar, karena sejatinya setiap orangtua dimanapun pasti tidak akan terima anaknya diperlakukan tidak baik. Apalagi konteksnya sebagai ibu yang punya kedekatan emosional dengan anak yang sulit dijelaskan secara teoritis. 

"Seorang ibu itu sekalipun anaknya sendiri kadang suka ia tegur dan ia marahi, tapi tetap saja tidak akan terima jika anaknya sendiri di perlakukan semena-mena oleh orang lain! Entah itu oleh teman-temannya atau bahkan ayahnya sendiri."

Teori dan logika tidak akan bekerja pada seorang ibu ketika anaknya disakiti, mengapa? Karena bagi seorang ibu anak itu lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Untuk melahirkan seorang anak, seorang ibu rela mempertaruhkan nyawanya, karena itu bagi ibu anak sangatlah berharga! 

Tapi kendati besarnya rasa sayang kita pada anak, hendaknya kita tetap bisa berpikiran lebih terbuka, tidak subjektif dan rasionalitas, saat menghadapi segala masalah yang terjadi pada anak. 

Adakalanya kita harus terlibat jika sudah menyangkut fisik dan mental, ada kalanya kita juga tidak perlu terlibat terlalu banyak dan biarkan ia mengatasi setiap masalah dengan pola pikiran positif yang kita tanamkan. 

Sumber ilustrasi : halodoc.co.id 
Sumber ilustrasi : halodoc.co.id 

Anak juga perlu diberi banyak pemahaman tentang bagaimana ia harus bersikap di lingkungan sekolahnya, sebagai upaya ia bersosialisasi dengan baik di masa depan. 

Jangan biarkan anak bermental lemah, dengan gampang dibully dan dirundung oleh teman-temannya, sebaliknya jangan juga biarkan anak bersikap provokatif dan suka memicu permusuhan apalagi saling membully antar teman-temannya. Tanamkan moral, cara bicara dan bersikap yang baik pada anak sejak dini. 

Point terpenting lainnya, jangan juga menganggap cerita anak kita seratus persen betul, sehingga kita beranggapan subjektif dan berpikir anak kita tidak pernah melakukan kesalahan. 

Terkadang kita justru harus lebih berlapang dada dan menerima masukan secara lebih terbuka. jika anak kita berbuat kesalahan maka sebagai orangtua jangan bersikap defensif, dengan menyimpulkan secara sepihak bahwa anaknya selau korban dari para trouble maker. Coba analisis dan terima masukan dari lingkungan sekitar. 

Jika ternyata memang terbukti anak kita berbuat salah, ajarkan ia untuk meminta maaf, mendisiplinkan sesuai porsinya, dan berupaya mengajarinya untuk tidak mengulangi kesalahannya. Anak harus diberi pemahaman bahwa setiap kesalahan yang dia buat, akan selalu ada konsekuensi sangsi sosial dalam lingkungan. 

Sebaliknya jika anak jelas berbuat salah, dan orangtuanya justru ikut membela habis-habisan dengan bersikap defensif, maka anak akan tumbuh menjadi karakter yang sulit menerima perbaikan dan cenderung mengulang kesalahannya. 

Menjadi orangtua memang bukanlah hal yang mudah. Tapi jika bukan kita para orangtua yang mengarahkan anak-anak menjadi lebih baik, lalu siapa lagi yang akan mendidik generasi bangsa agar memiliki moral yang baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun