Mohon tunggu...
Erik Kurniawan
Erik Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aktivis Pergerakan Pemuda

Sekretaris di Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor di Ponorogo. Hobi Menulis, Berfikir Besar, Kemudian Bertindak. Murid Ideologis Tan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasionalitas Substantif Genduren Warga Nahdliyin

2 Maret 2023   23:33 Diperbarui: 2 Maret 2023   23:38 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEJARAH GENDUREN DAN KELESTARIANNYA

Genduren atau kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri atau yang lebih dikenal dengan sebutan selamatan, brokohan atau istilah lain yang semakna telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke Nusantara.

Pasca Islam masuk ke tanah Jawa pada masa Walisongo, tradisi kenduri diramu sedemikian rupa dalam dakwah hingga menjadi produk hasil akulturasi budaya. Perpaduan budaya lokal dengan nilai-nilai agama dan dzikir dalam agama Islam, sehingga melahirkan sebuah corak keislaman baru. Akulturasi budaya seperti inilah yang melatarbelakangi agama Islam mudah diterima masyarakat pribumi dan dalam waktu singkat islam mampu tersebar di seluruh tanah jawa bahkan ke berbagai pelosok nusantara. Selanjutnya konteks corak keislaman tersebut kemudian diterjemahkan dan dilestarikan oleh Nahdlatul Ulama, dan hari ini familiar disebut sebagai Islam Nusantara.

Budaya genduren sama sekali tidak asing di telinga warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin). Berbagai amaliyah tradisi keagamaan di lingkup Nahdliyin sering menggunakan konsep genduren dalam prakteknya. Bahkan terkadang di "plesetkan" dengan istilah "acara inti makan-makan". Tengok saja mulai kirim doa (tahlilan), selamatan bayi, pengajian (majelis ta'lim), manaqiban, tasyakuran (walimah), mendirikan rumah, dan berbagai acara keagamaan maupun acara hasil akulturasi budaya akan dipungkasi dengan acara makan-makan.

Sereceh pemahaman penulis di tahun 90an dulu, genduren adalah sebuah acara yang diadakan karena ahlul bait (tuan rumah) sedang punya suatu hajat tertentu. Apapun padanan katanya, masa itu bahkan mungkin sampai hari ini istilah genduren lebih familiar disebut dengan "amin-amin". Dan sudah barang tentu even ini akan disambut dengan penuh antusias oleh semua kalangan ekonomi bawah. Waktu itu berkat genduren adalah hal yang paling ditunggu oleh anak-anak di era 90an. Alasannya adalah lauk nasi berkat genduren pasti tergolong mewah, minimal telor separo atau jika beruntung malah lauk daging ayam / sapi.

Bergeser sampai hari ini, rasa enak berkat genduren tentu tak lagi senikmat masa itu. Pasalnya, menu istimewa menjadi menu biasa seiring dengan pertumbuhan status ekonomi dan sosial masyarakat secara umum. Satu hal yang tetap sama, budaya genduren tetap ada bahkan dengan intensitas yang terkadang terlampau sering.

GENDUREN DAN RASIONALITAS SUBSTANSINYA

Budaya genduren dengan berbagai variannya yang hingga kini masih dilestarikan di berbagai belahan bumi Nusantara, dari daerah perkotaan hingga pelosok pedesaan secara langsung dan tidak langsung ternyata sangat membantu negara dalam membentuk jaring perlindungan sosial, kesehatan masyarakat, hingga perekonomian negara.

Bagaimana tidak, implikasi dari budaya genduren di masyarakat tidak sesederhana yang bisa dibayangkan. Di bidang perekonomian saja, genduren mampu menggerakkan perekonomian masyarakat desa dan perkotaan. Mulai dari hal sederhana seperti munculnya penjual daun salam dan laos, pedagang bumbu dapur skala menengah hingga besar, toko plastik yang menjual atribut bungkus berkat genduren, pedagang sembako, pedagang tikar-karpet, dan pedagang lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan acara genduren. 

Rantai perekonomian diatas masih bisa kita monitor melalui pasar-pasar tradisional hingga swalayan besar. Belum lagi perusahaan yang bergerak di bidang logistik, perusahaan pembuat bumbu dapur instan, dan perusahaan dan industri yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan rantai perekonomian ini. Sampai disini bayangkan saja, berapa banyak tangan manusia yang terlibat hanya untuk sebuah acara genduren? Berapa banyak manusia yang ter-cover dalam jaring perlindungan sosial hanya karena sebuah budaya genduren? Belum lagi, genduren juga mampu menjamin asupan nutrisi jutaan masyarakat di negara ini.

KAMPANYE PURIFIKASI ISLAM DAN BAHAYANYA

Belakangan, pernah muncul gerakan atas nama pemurnian ajaran Islam (purifikasi). Dengan jumawa mereka mengkampanyekan ajakan untuk kembali ke Al Qur'an dan Sunnah, memurnikan ajaran Islam dari TBC (Tahayyul, Bid'ah dan Churafat), berislam secara kaffah (menyeluruh). Tahlilan atau budaya genduren yang mengakar di masyarakat, tak luput dicap sebagai bid'ah dan ajaran sesat sinkretisme agama. Beruntungnya hal ini tidak berlangsung lama, NU dengan segala sumber daya keilmuan mendalam dan hujjah kuatnya, melawan habis-habisan kampanye purifikasi Islam tersebut.

Hal ini dilakukan demi agar Indonesia tidak mengalami masa transisi yang merupakan efek kriminalisasi adat atas nama agama. Membela genduren bukan hanya berarti membela amaliyah tradisi yang telah tumbuh dan mengakar, membela genduren juga berarti membela nasib jutaan masyarakat kecil yang menggantungkan kebutuhan perutnya pada mata rantai perekonomian yang terkait dengan genduren. Membela genduren bukan tentang sereceh perdebatan khilafiyah keagamaan, namun juga terkait dengan budaya yang sudah menjelma menjadi jaring perlindungan sosial masyarakat kecil. 

Nahdlatul ulama dengan kearifan dan keluhurannya, terbukti mampu menjadi problem solver atas situasi dan kondisi masyarakat kecil, mampu menjaga nilai-nilai budaya adiluhung bangsa Indonesia, mampu merawat jagat dan membangun peradaban dunia.

Genduren adalah salah satu contoh dimana hal yang dianggap sepele bahkan mungkin tidak terfikirkan oleh generasi masa kini, punya rasionalitas substantif maha dahsyat bagi kaum yang mau berfikir. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun