Belakangan, pernah muncul gerakan atas nama pemurnian ajaran Islam (purifikasi). Dengan jumawa mereka mengkampanyekan ajakan untuk kembali ke Al Qur'an dan Sunnah, memurnikan ajaran Islam dari TBC (Tahayyul, Bid'ah dan Churafat), berislam secara kaffah (menyeluruh). Tahlilan atau budaya genduren yang mengakar di masyarakat, tak luput dicap sebagai bid'ah dan ajaran sesat sinkretisme agama. Beruntungnya hal ini tidak berlangsung lama, NU dengan segala sumber daya keilmuan mendalam dan hujjah kuatnya, melawan habis-habisan kampanye purifikasi Islam tersebut.
Hal ini dilakukan demi agar Indonesia tidak mengalami masa transisi yang merupakan efek kriminalisasi adat atas nama agama. Membela genduren bukan hanya berarti membela amaliyah tradisi yang telah tumbuh dan mengakar, membela genduren juga berarti membela nasib jutaan masyarakat kecil yang menggantungkan kebutuhan perutnya pada mata rantai perekonomian yang terkait dengan genduren. Membela genduren bukan tentang sereceh perdebatan khilafiyah keagamaan, namun juga terkait dengan budaya yang sudah menjelma menjadi jaring perlindungan sosial masyarakat kecil.Â
Nahdlatul ulama dengan kearifan dan keluhurannya, terbukti mampu menjadi problem solver atas situasi dan kondisi masyarakat kecil, mampu menjaga nilai-nilai budaya adiluhung bangsa Indonesia, mampu merawat jagat dan membangun peradaban dunia.
Genduren adalah salah satu contoh dimana hal yang dianggap sepele bahkan mungkin tidak terfikirkan oleh generasi masa kini, punya rasionalitas substantif maha dahsyat bagi kaum yang mau berfikir. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H