foto dari: https://3.bp.blogspot.com/-bCZIgG9v-_0/W-AO4OyWKTI/AAAAAAAAMDs/uHJ0C8S8kH83YHH_FnUXRR6MMPRa_JCIACLcBGAs/s1600/Screenshot_2018-11-05-17-29-58-78.png
Tulisan ini merupakan sebuah pendekatan Antropologi Budaya. Antropologi mempelajari manusia dengan segala aspeknya berperan langsung dalam memecahkan masalah-masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan; meneliti, mencari dan menemukan kebutuhan masyarakat (Raymundus I Made Sudhiarsa: 2017) . Dalam kuliah Antropologi Budaya 2 sendiri salah satu perhatian utamanya adalah mengembangkan daya sensitivitas terhadap adanya daya-daya perusak dalam budaya dan memajukan tanggung jawab manusia dalam sebagai subjek budaya dan memajukan kontribusi khas antropologi kristiani dalam kontruksi budaya yang humanis. Raymundus I Made Sudhiarsa: 2017) \
Budaya Barong Wae
Barong Wae (Petrus Janggur: 2010) merupakan salah satu ritus penting dalam budaya penti orang Manggarai. Budaya penti sendiri merupakan sebuah perayaan syukur orang Manggarai kepada leluhur dan Sang pemberi hidup yang adalah Wujud Tertinggi (Mori Kerang ata jari agu dedek). Selain itu, upaca Penti juga menandakan Celung Cekeng Wali Ntaung (pergantian tahun dan musim). Perayaan penti ini dirayakan dalam situasi formal dan dengan penuh suasana kegembiraan dan sukacita.
Perayaan ini bertitik tolak dari kesadaran orang Manggarai akan keberadaan Mori Kraeng yang selalu memberikan pelindungan, berkat bagi usaha dan kesehatan kepada mereka. Mereka menyadari bahwa keberalangsungan hidup mereka terjadi berkat penyelenggaraan Mori Kraeng, yang menjadi penguasa awang eta tana wa (langit dan bumi), termasuk hidup mereka. Kesadaran akan hal inilah mendorong orang Manggarai untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Mori Kraeng. Secara impilisit perayaan penti juga mengindikasikan adanya kesadaran orang Manggarai untuk tetap membangun relasi dengan Mori Kraeng. Selain membangun relasi dengan Mori Kraeng, dalam budaya Penti orang Manggarai juga berupaya menjaga hubungan (membangun relasi) dengan alam. Konsep relasi dengan alam sendiri tidak terlepas dari konsep relasi dengan pencipta (Mori Kraeng). Mori Kraeng adalah pencipta segala sesuatu yang dalam awang eta tana wa (langit dan bumi).
Barong Wae adalah upacara yang dilakukan di mata air, di mana warga kampung menimba air untuk minum. Tujuan dari Barong Wae ini adalah mau mengajak roh-roh penjaga air tersebut. Sehingga dalam tradisi di Manggarai sering terdengar dengan sebuah ungkapan,"mboas wae woang, kembus wae teku". Ungkapan ini merupakan harapan dari warga kampung, agar volume airnya tetap seperti biasa atau tidak mengalami surut. Inilah sebabnya mereka melakukan upacara di air minum. Mereka percaya bahwa di mata air itu pasti ada penjaganya, sehingga dalam upacara penti penjaga air itu harus diudang untuk bersama-sama merayakan pesta penti tersebut.
Disisi lain upacara Barong Wae bertujuan untuk menjaga keharmonisan relasi antara manusia dengan alam. Mereka percaya bahwa air merupakan sumber dari kehidupan segala makhluk hidup. Karena itu, agar airnya tidak surut, perlu diadakan upacara di mata air tersebut. Upacara di mata ini, bukan hanya untuk mengundang roh-roh penjaga air, tetapi juga disampaikan sykur kepada Tuhan yang telah menciptakan mata air untuk kehidupan bagi seluruh warga kampung. Hewan kurban dalam upcara Barong Wae ini adalah ayam dan telur.
Upacara Barong Wae ini sebenarnya tidak terlepas dari cerita dedek awing agu tana (kisah penciptaan Langit dan Bumi) dalam masyarakat Manggarai. Cerita ini menyiratkan relasi antara Mori Kraeng, manusia dan alam (Pius Pandor: 2015). Untuk menjaga relasi tersebut dalam diadakan acara Barong Wae yakni menyampaikan kepada roh leluhur yangmenjaga mata air desa, bahwa masyarakat akan melaksanakan upacara penti dan mengundang mereka untuk hadir, undangan ini juga merupakan bentuk ungkapan syukur atas jasa mereka dalam menjaga mata air (Sigebertus Candrakiawan Nuka: 2020).
Dimensi Ekoteologis dalam Budaya Barong Wae: Sebuah Peluang Berteologi
Istilah ekoteologi berasal dari dua istilah, yakni ekologi dan teologi. Istilah ekologi pertama kali dimunculkan oleh Ernst Haeckel, seorang murid Darwin pada tahun 1866, yang menunjuk pada keseluruhan organisme atau pola hubungan antara organisme dan lingkungannya (Robert. P. Borrong: 2004). Istilah ekologi sendiri berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu oikos dan logos. Istilah ini mula-mula diperkenalkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1869. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, yang berarti rumah dan logos, yang berarti ilmu/pengetahuan. Jadi, ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik (interaksi) antara organisme dengan alam sekitar atau lingkungannya (Djohar Maknun : 2017).
Sedangkan teologi secara etimologis berasal dari dua kata berbahasa Yunani yakni "theos" (Allah) dan "logos" (diskursus). Teologi merupakan diskursus tentang Allah. Pengertian etimologis ini sesuai dengan bagaimana teologi dimengerti sebelum ia dimengerti kemudian sebagai ilmu iman, yaitu bahwa ia merupakan diskursus tentang Allah (Xaverius Chandra). Teologi dapat dilihat sebagai diskursus tentang Allah maupun ilmu iman meski keduanya sebenarnya tidak berbeda dan berhubungan erat. Hanya saja, di sini kekayaan makna dari teologi mau ditunjukkan dengan meletakkan keduanya dalam bahasan tersendiri. Teologi sebagai diskursus akan Allah berangkat dari Allah, sedangkan teologi sebagai ilmu iman berangkat dari iman (Xaverius Chandra).
Ekoteologi secara umum dimulai dari premis mengenai hubungan antara paradigma religius atau paradigma spiritual manusia dengan lingkungan atau alam (Ezichi A. Ituma: 2013). Dalam perspektif Katolik (Peter C. Aman: 2016), ekoteologi bertitik tolak dalam Kitab Kejadian 1:28, "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambahbanyak ; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Dalam tafsiran Gereja Katolik, kata "Berkuasa" yang berasal dari berasal dari bahasa Ibrani Raddah memiliki arti (tugas untuk) memelihara dan mengurus bumi serta segala isinya (Adrianus Sunarko & A. Eddy Kristiyanto: 2008). Tugas untuk memilihara dan mengurus ini dapat dibandingkan dengan tugas seorang gembala di dunia Timur Tengah Kuno yang bertugas untuk memastikan kehidupan yang aman dan harmonis bagi anggota-anggotanya (Adrianus Sunarko & A. Eddy Kristiyanto: 2008). Dari tafsiran persepketif Katolik, hemat penulis ekoteologi berarti manusia dipanggil untuk menjaga, merawat dan memilihara bumi sebagai rumahnya (oikos). Tujuannya adalah agar rumah ini (alam) dapat menjadi tempat tinggal bersama yang nyaman dan harmonis bagi manusia itu sendiri sekaligus menemukan kehadiran Allah sang pencipta dibaliknya.
Dalam kaitannya dengan budaya Barong Wae, penulis melihat historisitas dan nilai-nilai budaya Barong Wae dapat menjadi peluang bagi Gereja untuk berteologi dan mengajak masyrakat Manggarai untuk menjaga dan merawat bumi ini. Hal ini dipertegas oleh dokumen Gereja, Gaudium et Spes:
Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang terciptadengan cara yang wajar harus mencapai semua orang berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih. .... Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian harta-benda sehingga mencukupi bagi dirinya maupun kerabatnya. (GS 69)
Lalu apa saja harta dari budaya Barong Wae tersebut? Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya, budaya Barong Wae sesungguhnya mengungkapkan relasi antara Tuhan, manusia dan alam. Tuhan menciptakan wae (air) demi kelangsungan hidup manusia. Manusia memiliki diberi kuasa untuk memelihara, merawat dan menjaga wae agar dapat menciptakan keseimbangan di alam (tana lino). Selain itu budaya Barong Wae juga dapat dilihat sebagai ungkapan tanggungjawab manusia untuk menjaga, merawat dan memilihara alam. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga keseimbangan alam.
Hemat penulis, pada titik inilah Gereja Katolik Manggarai berpeluang untuk selalu membangun kesadaran masyarakat Manggarai untuk menjaga, merawat dan memilihara alam, termasuk wae (air) agar tetap stabil. Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis temukan sebagaimana yang telah penulis uraikan dibagian pendahuluan, Gereja Katolik dapat melakukan pendekatan Antropologi budaya untuk berteologi tentang perlunya menjaga dan merawat alam (tana lino).
Landasan teologisnya adalah pertama-tama (Raymundus I Made Sudhiarsa:2018 ) Kristus adalah Penebus dan pembaharu budaya yang diurapi Tuhan. Budaya, kepercayaan, nilai, dan kesetiaannya, telah diberikan oleh Tuhan. Namun para dewa di dunia ini menggantikan Tuhan. Akibatnya dosa telah merajalela. Penyuapan dan korupsi, pemerkosaan dan pembunuhan, sensualitas dan pergaulan bebas, kekerasan dan kebencian telah menjadi institusional dan ditemukan di semua lapisan masyarakat dan budaya. Manusia terasing merasakan beban dosa dan ketegangan keterasingan dari diri sendiri, dari orang lain orang, dari penciptaan, dan terutama dari Tuhan. Dalam konteks inilah Gereja (dan teologinya) mewartakan Kristus sebagai penebus dan pembaharu budaya demi kehidupan manusia dan kemulian Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H