Ekoteologi secara umum dimulai dari premis mengenai hubungan antara paradigma religius atau paradigma spiritual manusia dengan lingkungan atau alam (Ezichi A. Ituma: 2013). Â Dalam perspektif Katolik (Peter C. Aman: 2016), ekoteologi bertitik tolak dalam Kitab Kejadian 1:28, "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambahbanyak ; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Dalam tafsiran Gereja Katolik, kata "Berkuasa" yang berasal dari berasal dari bahasa Ibrani Raddah memiliki arti (tugas untuk) memelihara dan mengurus bumi serta segala isinya (Adrianus Sunarko & A. Eddy Kristiyanto: 2008). Tugas untuk memilihara dan mengurus ini dapat dibandingkan dengan tugas seorang gembala di dunia Timur Tengah Kuno yang bertugas untuk memastikan kehidupan yang aman dan harmonis bagi anggota-anggotanya (Adrianus Sunarko & A. Eddy Kristiyanto: 2008). Dari tafsiran persepketif Katolik, hemat penulis ekoteologi berarti manusia dipanggil untuk menjaga, merawat dan memilihara bumi sebagai rumahnya (oikos). Tujuannya adalah agar rumah ini (alam) dapat menjadi tempat tinggal bersama yang nyaman dan harmonis bagi manusia itu sendiri sekaligus menemukan kehadiran Allah sang pencipta dibaliknya.
Dalam kaitannya dengan budaya Barong Wae, penulis melihat historisitas dan nilai-nilai budaya Barong Wae dapat menjadi peluang bagi Gereja untuk berteologi dan mengajak masyrakat Manggarai untuk menjaga dan merawat bumi ini. Hal ini dipertegas oleh dokumen Gereja, Gaudium et Spes:
Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang terciptadengan cara yang wajar harus mencapai semua orang berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih. .... Tetapi semua orang berhak memiliki  sebagian  harta-benda  sehingga  mencukupi  bagi  dirinya maupun kerabatnya. (GS 69)
Lalu apa saja harta dari budaya Barong Wae tersebut? Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya, budaya Barong Wae sesungguhnya mengungkapkan relasi antara Tuhan, manusia dan alam. Tuhan menciptakan wae (air) demi kelangsungan hidup manusia. Manusia memiliki diberi kuasa untuk memelihara, merawat dan menjaga wae agar dapat menciptakan keseimbangan di alam (tana lino). Selain itu budaya Barong Wae juga dapat dilihat sebagai ungkapan tanggungjawab manusia untuk menjaga, merawat dan memilihara alam. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga keseimbangan alam.
Hemat penulis, pada titik inilah Gereja Katolik Manggarai berpeluang untuk selalu membangun kesadaran masyarakat Manggarai untuk menjaga, merawat dan memilihara alam, termasuk wae (air) agar tetap stabil. Dalam kaitannya dengan kasus yang penulis temukan sebagaimana yang telah penulis uraikan dibagian pendahuluan, Gereja Katolik dapat melakukan pendekatan Antropologi budaya untuk berteologi tentang perlunya menjaga dan merawat alam (tana lino).
Landasan teologisnya adalah pertama-tama (Raymundus I Made Sudhiarsa:2018 ) Kristus adalah Penebus dan pembaharu budaya yang diurapi Tuhan. Budaya, Â kepercayaan, nilai, dan kesetiaannya, telah diberikan oleh Tuhan. Namun para dewa di dunia ini menggantikan Tuhan. Akibatnya dosa telah merajalela. Penyuapan dan korupsi, pemerkosaan dan pembunuhan, sensualitas dan pergaulan bebas, kekerasan dan kebencian telah menjadi institusional dan ditemukan di semua lapisan masyarakat dan budaya. Manusia terasing merasakan beban dosa dan ketegangan keterasingan dari diri sendiri, dari orang lain orang, dari penciptaan, dan terutama dari Tuhan. Dalam konteks inilah Gereja (dan teologinya) mewartakan Kristus sebagai penebus dan pembaharu budaya demi kehidupan manusia dan kemulian Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H