PendahuluanÂ
Identitas sebuah suku terletak pada kekhasan dan keunikan dari kebudayaannya. Kebudayaan dalam setiap suku dalam hal ini merupakan ungkapan atau cetusan dari eksistensi masyarakat atau anggota suku tertentu. Cetusan atau ungkapan itu lahir dari relasi anggota suku dengan yang lain di sekitarnya. Yang lain yang saya maksud di sini bukan hanya sesama manusia tetapi juga segenap apa yang ada dan sejauh ada di muka bumi ini.Â
Relasi dengan demikian mengandaikan adanya perjumpaan. Sebagai produk dari relasi yang mengandaikan adanya perjumpaan kebudayaan dalam hal ini dapat diartikan sebagai produk dari beberapa pengalaman manusia. Di sini saya tidak bermaksud membuat definisi dari kebudayaan (secara etimologis) melainkan mencoba merefleksikannya dengan melihat proses munculnya suatu budaya.
Dalam tulisan ini, penulis hendak merefleksikan makna religius dari tradisi torok dalam masyarakat Manggarai. Tradisi torok dalam masyarakat Manggarai sebenarnya dilakukan pada pada beberapa kesempatan dan karenanya memiliki beberapa nama, misalnya pada saat teing hang (memberi persembahan kepada leluhur), sebelum ako woja (sebelum mengetam padi), buka lingko (membuka ladang) dan weri wini (menanam benih) serta dalam perayaan ekaristi. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis hanya membahas tradisi torok yang sering dilakukan dalam perayaan Ekaristi.
Pengertian Torok
Berikut ini penulis akan mengutip sebuah pengalaman yang diungkapkan dalam sastra orang Manggarai akan adanya yang tertinggi yang dirangkum oleh Jilis A.J. Verheijen sebagaimana yang dikutip oleh Pius Pandor; Â "ho'op tara pecing lite te mangan Mori Kraeng ta, kelaeng, ai tenang one mai rud ho'op itey-e. Kirang ngance wi te wuli walit ite ho'o, eme toe manga Mori Kraeng ko?. Liong tara manga hul naid ite, eme toe manga Mori Kraeng?. Liong kali dedek ite, eme toe le morin? Liong kali tinud ite eme toe le morin?.. Itu tara nggo'on tenang nai dite: toe te toe manga motin, manga!" (inilah sebabnya kita mengetahui bahwa ada Mori Kraeng, hai anakku, karena dari diri kita sendiri dapat kita memikirkannya. Dapatkah kiranya kita bergerak di sini (ke mana-mana) andaikan tidak ada Mori Kraeng?. Dengan kuasa siapakah kiranya kita dapat bernapas, seandainya tidak ada Mori Kraeng?. Oleh siapakah gerangan kita dibentuk (diciptakan) kalau tidak ada Mori Kraeng? Oleh siapakah hidup kita terselenggara, kalau bukan oleh Morin? Oleh siapakah kiranya segala makhluk (hewan) memperoleh hidup kalau bukan oleh Morin?. Maka oleh karena itu tidak boleh tidak, Morin itu ada, dia memang ada).
Ungkapan tersebut merupakan sebuah pengakuan dan kesadaran akan adanya yang tertinggi, yang disebut Mori Kraeng. Dari pengakuan tersebut dapat ditemukan bahwa bagi orang Manggarai Mori Kraeng merupakan pencipta, pemberi kehidupan, pemberi napas, pengatur gerak, pemelihara alam.( Pius Pandor 2015: 96-97).Â
kesadaran akan adanya Mori Kraeng sebagai pencipta, pemberi kehidupan, pemberi napas, pengatur gerak, pemelihara alam mendorong orang Manggarai untuk selalu menyampaikan terima kasih, syukur kepada Mori Kraeng.
Ungkapan terima kasih dan syukur itu biasanya disebut torok,yaitu ungkapan terima kasih dan syukur tersusun dalam syair-syair indah untuk menyatakan maksud-maksud tertentu dan ditujukan kepada wujud tertinggi (Kanisius Teobaldus Deki, , 2011: 183). Torok juga dapat berisi doa-doa permohonan, misalnya mohon berkat untuk usaha, kebun baru dan kesehatan.
Torok selalu disampaikan dalam konteks upacara adat, suasana sakral dan penutur merupakan repersentan dari yang hadir. (Kanisius Teobaldus Deki, Â 2011: 183). Kenyataan ini kemudian membuat torok bisa diterima dalam liturgi gereja. Dalam perayaan Ekaristi biasanya torok disampaikan ketika membawa persembahan, yakni sebelum persembahan itu diserahkan kepada imam.