Mereka semua yang menjadi penghianat ini adalah para anggota Parlemen New Guinea dan Komite Nasional Papua yang terlibat langsung dalam persiapan pembentukan negara Papua Barat. Jadi, suatu penghianatan itu terjadi dalam struktur inti parlemen dan Komite Nasional, karena mereka diindokrinasi dengan janji-janji palsu oleh para migran dan infitran atau penyusup Indonesia tersebut.
Sebagai hadiah perjuangan mereka membantu aneksasi Papua, mereka diangkat sebagai pahlawan Nasional Indonesia khususnya Silas Papare, Marthen Indey dan Frans Kaisiepo. Mengabadikan perjuangan mereka, gambar Frans Kaisiepo dimunculkan dalam pecahan uang rupiah, di mana gambar ini dipicu dengan reaksi yang berbeda.
Salah seorang Indonesia dalam alamat facebooknya identikan gambar ini dengan gambar seekor kera yang memicu reaksi keras dari pihak orang Papua. Jasa baik mereka itu dibalas dengan direndahkan martabat dengan pandangan rasisme, di mana seorang pahlawan Papua untuk Indonesia disamakan dengan kera, seekor binatang.
Hal ini melukiskan sebaik apa pun orang Papua lakukan untuk Indonesia tidak ada tempat yang baik untuk orang Papua di Indonesia. Posisi apa pun orang Papua di Indonesia, Indonesa melihat orang Papua tetap sebagai sub-kelompok manusia lebih rendah dan disamakan dengan binatang atau hewan.
Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Selain dilakukan pemilihan Parlemen Papua, partai politik dan lambang-lambang negara ditetapkan, satu perangkat negara paling penting adalah pertahanan dan keamanan nasional. Karena itu, pada tahun 1960 dibentuk sebuah Batalyon Sukarelawan Papua yang diberi nama “Papua Vrijwilligers Korps” berkedudukan di Arfai Manokwari. Batalyon sukarelawan ini diharapkan akan menjadi tentara nasional setelah Papua mencapai kemerdekaan. Di mana saat ini dikenal dengan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang ditransformasi dalam beberapa faksi militer.
Batalyon ini pun terlibat langsung dalam berbagai kegiatan di sekitar tahun 1960 sampai 1963 termasuk dalam upacara deklarasi kemerdekaan 1 Desember 1961 di Manokwari. Setelah Indonesia invasi untuk aneksasi Papua, Batalyon ini menjadi satu kekuatan utama yang melakukan perlawanan yang dimulai di Manokwari dan menyebar di seluruh tanah Papua. Setelah invansi Indonesia, perjuangan pertama dimulai oleh Aser Demotekay, seorang mantan kepala distrik Demta di wilayah Tanah Merah. Pemberontakan ini disebut “Gerakan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”.
(Baca ini: Sejarah OPM - Organisasi Papua Merdeka)
Pada tahun 1964 di Manokwari bangkit suatu gerakan politik baru disebut “Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Belakangan organisasi perjuangan bangsa Papua itu disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi ini dipimpin oleh Terianus Aronggear dan panglima Perang adalah Permennas Ferry Awom.
Organisasi Papua Merdeka adalah organisasi politik, dan sayap militer Papua Vrijwilligers Korps dihidupkan kembali, di mana Ferry Awom sebagai panglima operasi. Serangan pertama pada tanggal 26 Juli 1965 yang dipimpin oleh Johannis Djambuani seorang anggota bekas kepolisian. Pada tanggal 28 Juli 1965, serangan pajar dilancarkan di asrama Jonif 641 Cenderawasih di Arfai, Manokwari, dipimpin panglima Ferry Awom sendiri. Serangan berikutnya terhadap pos Jonif 641 Cenderawasih di Warmare dan beberapa pos lain di daerah Manokwari.
Pada tahun 1967 Ferry Awom mendapat dukungan dari Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan dengan kekuatan 14.000 orang suku Arfak. Pada tanggal 21 Januari 1968 serang pos Makbon, tanggal 2 Februari 1968 serang pos PUTERPRA dipimpin oleh Daniel Wanma. Pada tanggal 2 Februari 1968 diserang pos Sausapor dengan kekuatan 200 orang dibawah pimpinan Julianus Wanma dan David Brawar.