Mohon tunggu...
E
E Mohon Tunggu... Editor - Aku Papua

I'm Papuan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

ULMWP, Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

22 Juni 2018   10:07 Diperbarui: 25 Juni 2018   17:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 10 February kami meninggalkan pantai dan meninggalkan Jayapura. Kami meninggalkan Arnold C. Ap dibelakang kami. Kami meninggalkan relasi keluarga dibelakang kami dan mengakhiri hubungan dengan anggota-anggota kerabat, keluarga, teman dan kenalan kami. Kami meninggalkan apa saja yang kami miliki, kami kehilangan dengan kesedihan dan perasaan-perasaan yang jauh.

Jauh karena semua hal yang kami lakukan tidak mengerti sekarang. Apa yang akan terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Semuanya menjadi gelap untuk saya. Tetapi sedih, mengapa saya mengambil keputusan ini sekarang. Kami mau pergi. Kami sedang berdiri dalam resiko, barangkali sesuatu dapat terjadi dan menghentikan kami. Kami meningalkan dengan sebuah perahu ke Vanimo, di Papua New Guinea.

Di Papua New Guinea mereka tinggal selama enam bulan di camp Black Wara, di Vanimo. Di tempat ini mereka menerima berita bahwa Arnold C. Ap dan Edward Mofu dibunuh oleh Kopasus kemudian jasad mereka dimakamkan di kuburan umum Tanah Hitam, di dekat Abepura. Setelah Arnold C. Ap dibunuh, kemudian lahir anak ke empat di camp pengungsian itu pada tanggal 13 Austus 1984.

Di tempat ini kemudian dikunjungi Komisi Tinggi Pengungsi UN dan atas bantuan mereka dikirim ke Belanda. Di mana saat ini mereka tinggal dan melanjutkan perjuangan Arnold C. Ap untuk kemerdakaan dan kedaulatan bansga Papua dari pendudukan bangsa asing.   

Negara Federasi Melanesia Barat

Telah disinggung di awal tulisan ini bahwa pasca perang dunia dua, enam negara sekutu telah disepakati untuk memberikan kemerdekaan di kawasan Pasifik, di mana di Melenesia direncanakan untuk dibentuk Negara Federasi Melanesia. Hal itu disepakati dalam sebuah perjanjian di Cambera Australia, disebut Camberra Agremment.

Perjanjian ini ditanda tangani pada tanggal 14 February 1947 dan negara-negara yang menandatangani perjanjian ini adalah Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Selandia Baru. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa wilayah Melanesia, Polinesia dan Mikronesia diberikan kemerdekaan untuk mengantur diri mereka.

Untuk mewujudkan perjanjian itu, Dr. Thomas Wanggai setelah kembali dari studinya di Amerika dan Jepang diproklamasikan Negara Federasi Melanesia Barat di Lapangen sepak Bola Mandala, di Jayapura. Upacara proklamasi kemerdekaan dipimpin secara langsung Dr. Thomas Wanggai dan dihadiri sekitar 100 orang. Lambang-lambang dan jati diri negara Federasi Melenesia Barat yang dideklerasikan di sini berbeda dari lambang-lambang negara pada tanggal 1 Desember 1961 dan 1 Juli 1971 tersebut di atas.

Di mana Bendera nasional negara Federasi Melanesia Barat dengan empat belas salib dan warna hitam, Putih Merah. Bendera ini dikibarkan dan diiringi dengan lagu kebangsaan nasional yang diciptakan oleh Dr. Thomas Wanggai sendiri dan wilayah mencakup seluruh Melanesia Barat. Proklamasi di Lapangan Mandala, pusat kota Jayapura ini merupakan suatu keberanian luar biasa oleh tuan Wanggai dan teman-temannya, di mana resim militer Suharto dikenal dengan tangan besi dan militeristik itu masih berkuasa.

Dr. Thomas Wanggai kemudian ditangkap dan dihukum penjara selama 20 tahun di lembaga pemasyarakatan Jayapura, dan kemudian dipindahkan di Cipinang di Jakarta. Istrinya Teruko Kohara Wanggai yang menjahit bendera tersebut dijatuhi hukum 8 tahun penjara, Dr. Jacob Rumbiak seorang akademisi dari Universitas Cenderawasih yang mengkoordinir kegiatan tersebut juga dijatuhi hukuman 17 tahun penjara. Pendeta Edison Waromi dan tuan Kailele juga dihukum 17 tahun penjara dan termasuk sejumlah aktivis lainnya.

Pada tanggal 13 Maret 1996 Dr. Thomas Wanggai dibunuh dengan cara diracuni di penjara Cipinang Jakarta. Kematian Dr. Thomas Wanggai bersamaan dengan peristiwa penyenderaan Tim Lorenz di bawah pimpin Daniel Yudas Kogoya dan jenderal Kellik Kwalik di Mapenduma tahun 1996. Di mana salah satu tuntutan jenderal Kelly Kwalyk adakah para sandera ditukar dengan dibebaskan Dr. Thomas Wanggai.

Ketika itu penulis masih di Sekolah Menengah Umum (SMU) dan di asrama setiap sore kami duduk di depan televisi untuk mengikuti berita mengenai penyenderaan itu. Berita-berita itu membangkitkan semangat dan spirit kami dan bila berita yang disiarkan adalah pembunuhan anggota TPN atau masyarakat, kami merasa sedih dan menangis. Kadang teman-teman memukul tembok dan kursi-kursi di ruang televisi.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun