Mohon tunggu...
E
E Mohon Tunggu... Editor - Aku Papua

I'm Papuan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

ULMWP, Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua

22 Juni 2018   10:07 Diperbarui: 25 Juni 2018   17:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ibrahim Peyon)*

Pengantar

Dalam artikel ini saya ingin menulis kembali sejarah perjuangan panjang bangsa Papua yang sudah mencapi usia 58 tahun lebih ini. Usia lebih dari setengah abad ini disebabkan oleh banyak faktor sebagai penghambat atau berpanjang penderitaan bangsa Papua selama ini. Ada beberapa hal perlu dievaluasi atau direfleksi kembali antara lain:

  1. Egoisme dan ambisi para pejuang; 
  2. Primordialisme dan dikotomisasi; 
  3. Partenalisme dan oportunisme; 
  4. Infitrasi dan penyusupan dalam struktur organisasi. 

Karakteristik mentalitas pejuang macam ini yang menghancurkan persatuan dan agenda dalam organisasi perjuangan selama ini dan hal ini pula yang diperpanjang penderitaan rakyat Papua selama ini.

Dalam artikel ini digambarkan secara ringkas fase-fase perjuangan dan kegagalan yang telah dialami selama ini. Berbasis dari itu United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) dibentuk sebagai jawaban dari itu dan bersatu dalam satu organisasi yang representasi. Karena itu, badan politik ini diakui secara luas oleh rakyat Papua dan dunia internasional. Maka itu kita wajib melindungi dan memperkuat organisasi ini sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua.

Tetapi empat bulan terakhir ini dimunculkan potensi perpecahan lembaga representatif ini karena struktur mentalitas tersebut dan mencoba untuk dikembalikan ke titik nol atau mengulangi sejarah tersebut. Karena itu, dalam tulisan ini akan digambarkan penghambat, perpecahan, strategi dan aktor-aktor yang terlibat dalam keterpecahan dan kegagalan itu. Di harapkan hal ini menjadi refleksi dan evaluasi para aktivis, pejuang dan diplomat untuk memenangkan perjuangan ini.

Mesianik dan Nasionalisme

Mesianik atau kargo kult adalah suatu gerakan keyakinan terhadap keselamatan, tokoh pembebas, gerakan revitalisasi identitas, gerakan untuk masa kebebasan, kebahagian dan kelimpahan. Gerakan ini ada di mana-mana di Melanesia, asia dan Amerika. Gerakan mesionik muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh dan pendudukan asing, misalnya misionarisasi dan melawan pendudukan asing.

Sedang nasionalisme ialah gerakan kesadaran terhadap kebangsaan, identitas, revitalisasi, kesediaan  pada kebangsaan dari penindasan, pendudukan dan kolonialisme. Jadi, mesianik dan nasionalisme adalah revitalisasi dan kesadaran kebangsaan dan identitas diri untuk melawan pendudukan dan pengaruh budaya asing. Mesianik sebenarnya adalah basis yang melahirkan suatu nasionalime kebangsaan yang dapat diperjuangan dalam bentuk gerakan politik untuk memerdekakan dari pendudukan dan kolonialisme.

Di Papua gerakan ini sudah muncul sejak pendudukan Belanda, di mana para misionaris, antropolog dan pemerintah kolonial Belanda dikategorikan sebagai gerakan mesionik. Gerakan-gerakan itu sebenarnya adalah melawan pengaruh sivilisasi dan pendudukan mereka. Mereka merasa malu diakui sebagai perlawanan politik dan nasionalisme kebangsaan maka secara sadar diklasifikasi sebagai gerakan mesionik.

Banyak bukti tertulis menyatakan, gerakan-gerekan ini lebih mengarah kepada gerakan nasionalisme. Mereka melawan pendudukan asing dan menginginkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan secara politik. Para Misionaris dan pemerintah sudah tahu bahwa gerakan itu adalah embrio gerakan nasionalime, karena itu para tokoh-tokoh ini dipenjarahkan dan dihukum mati.

Berdasarkan catatan sejarah, misionaris dan antropologi, kesadaran ideologi nasionalsime Papua dimulai pada tahun 1835, di mana orang Papua menghancurkan benteng Fort du Bus di teluk Triton. Gerakan mesianik pertama yang melawan intervensi asing dimulai sekitar tahun 1855 di pulau Biak-Numfor. Esensinya konoor dalam gerakan ini akan membebaskan rakyat Biak-Numfor dari penindasan dan penjajahan Sultan Tidore, dan mereka tidak perlu lagi membayar upeti.

Gerakan perlawanan ini terus berlanjut di mana-mana misalnya di Pulau Yapen tahun 1925, di Raja Ampat tahun 1931, di pulau Waigeo tahun 1932, di pulau Batatan tahun 1934, di pulau Bam tahun 1936, gerakan Pamai Jagadewa di Ormu dan Simson Solmena di tanah merah sekitar tahun 1940, gerakan koreri tahun 1938-1943. di Teluk Arguni tahun 1935, gerakan Jawme di Mamberamo tahun 1955.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun