Mohon tunggu...
Eric Valega P
Eric Valega P Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salah satu siswa di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, sejak 4 Agustus 2014. Masih tetap mencari identitas diri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Muda: Tak Hanya Jago Rusuh!

4 April 2012   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:02 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak muda jago kisruh? Sudah biasa kita perhatikan. Contohnya, di mana-mana sering ada aksi demonstrasi yang berujung anarkis. Di Madiun, setiap ada konvoi paguyuban bela diri, usaha-usaha kecil sering tutup, karena takut konvoi berujung anarkis. Apakah semua seperti itu? Tentu saja tidak, bahkan kebalikannya pun sering ditemui. Prestasi tinggi juga sering diraih oleh anak-anak muda yang luar biasa.

Saya kebetulan tinggal di kota menengah, sehingga kerusuhan bisa dibilang hampir nihil. Di sekolah tempat saya belajar, cukup sering ditemui adanya berbagai prestasi dari siswa, yang (walaupun) kebanyakan lomba non-akademik. Meski lomba "cuma" non-akademik, hal itu sudah menunjukkan betapa hebatnya prestasi anak muda kita.

Dalam hal akademik pun juga tak kalah bagusnya. Kota Madiun mengirimkan 4 siswa untuk seleksi OSN tingkat nasional tahun 2010 (2 tingkat SMP, 2 tingkat SMA) (maaf belum punya data untuk 2011), salah satunya dari SMA saya sekarang, dan ada pula dari SMP saya dulu (saya juga ikut). Dapat mengikutinya saja sudah merupakan hal yang dianggap cukup baik, apalagi bila sukses membawa pulang medali (tidak ada yang membawa medali untuk SMP). Masih kurang? Indonesia sukses membawa medali dari IMO (International Mathematical Olympiad, bukan merek HP), walaupun belum pernah mendapatkan medali emas.

Apa masalahnya? Ada dua masalah terkait prestasi anak muda, yaitu dukungan yang tidak kontinual dan sifat dasar media mainstream modern. Dukungan yang tidak kontinual sudah sering ditemui, misalnya berbagai acara perlombaan bersponsor. Setelah lomba diadakan, urusan selesai, waktunya sponsor mencari laba. Maksudnya? Lomba lebih dijadikan wahana mencari ketenaran sponsor, bukan semata CSR. CSR tanpa "bumbu" marketing terselubung sudah sangat langka (atau tiada) ditemui. Setelah ia tenar dan CSR selesai, tinggal menunggu pendapatan. Terkait sifat dasar media mainstream modern, sesuatu ditampilkan menonjol bila terkait kepentingan pemilik atau isu sangat panas. Apakah mereka mau menampilkan prestasi kalau mengorbankan isu penggulingan lawan pemilik media? Saya rasa tidak. Prestasi yang jarang tampil juga mempengaruhi motivasi untuk bisa juga berprestasi.

Jadi, saya mengajak Anda untuk menyadari potensi anak muda tak sebatas potensi pembuat kisruh, namun juga potensi prestasi, asalkan dikelola dengan benar dan juga memberi dukungan secara terus menerus bagi anak muda.

Selamat malam.
Eric

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun