BAB 3: Ajakan Bertindak
Aditya Wirawan duduk sendirian di sudut sepi apartemen sederhana miliknya, di mana dengungan lembut detak jantung kota terdengar samar-samar bergema di balik dinding. Dia menatap ke luar jendela, pemandangan cakrawala yang indah kabur menjadi permadani monokrom dari beton dan baja yang tidak lagi menimbulkan rasa kagum tetapi menimbulkan rasa terkurung. Matanya menunjukkan kegelisahan, kegelisahan yang muncul bukan karena kurang tidur, melainkan karena rasa haus yang tak terpuaskan akan makna.
"Apakah ini semuanya?" dia bergumam pada dirinya sendiri, menelusuri tepi cangkir kopi kosong dengan jarinya.
Apartemennya merupakan bukti sifatnya yang menyendiri dan teliti -- segala sesuatu ada tempatnya, namun tatanannya tidak memberikan banyak kenyamanan. Buku-buku di rak disejajarkan dengan sempurna, duri-durinya menunjukkan tingkat keausan, menandai berlalunya waktu. Saat ia berdiri, tubuh ramping Aditya bergerak dengan penuh tekad, otot-otot di bawah kulitnya melingkar seperti pegas yang siap terlepas.
"Mungkin sudah waktunya," bisiknya, tekad mengeras dalam dirinya saat dia memikirkan perjalanan ke depan. "Saatnya menemukan apa yang menggugah jiwa."
Aditya berjalan ke meja kecil yang penuh dengan catatan dan pena, satu-satunya kekacauan yang diperbolehkan dalam hidupnya. Dia mulai memilah-milah kertas, masing-masing merupakan sisa ide dan impian yang belum terwujud. Dia berhenti sejenak, memandangi catatan tertentu yang berisi pertanyaan yang bergema di benaknya: "Apa yang ada di balik cakrawala duniawi?"
Pertanyaan itu terus berlanjut, dan Aditya memejamkan mata, membiarkan rasa penasarannya melukiskan gambaran tentang negeri yang jauh dan hasrat yang belum ditemukan. Dia melihat dirinya mengembara melintasi ladang pengetahuan, setiap helai rumput merupakan pelajaran yang menunggu untuk diserap. Dengan setiap tarikan napas, ia merasakan udara kepuasan yang pengap digantikan oleh angin segar petualangan.
"Cukup berdiri diam," dia memutuskan, suaranya bercampur antara kegembiraan dan rasa gentar. Membuka matanya, dia mengeluarkan laptopnya dan mulai mengetik dengan sungguh-sungguh, setiap klik merupakan langkah menuju hal yang tidak diketahui. Layar menyinari wajahnya di ruangan yang remang-remang, memunculkan bayangan yang memengaruhi ekspresi kontemplatifnya.
"Di mana aku harus mulai?" dia merenung, kursornya berkedip penuh harap. Dia bersandar di kursinya, menyisir rambut hitam pendeknya dengan tangan sambil mempertimbangkan banyak sekali jalan di depannya. Yang ia cari bukanlah kekayaan atau ketenaran, melainkan sesuatu yang jauh lebih sulit dipahami -- inti dari kehidupan yang dijalani dengan baik.
"Penemuan jati diri," dia mengetik, kata-katanya muncul seperti proklamasi di layar. "Sebuah perjalanan menuju jantung keberadaan." Jantung Aditya berpacu dengan prospek untuk menempuh jalan ini, mengetahui bahwa langkah pertama sering kali merupakan langkah tersulit sekaligus paling membebaskan.