Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #1

12 Januari 2024   12:18 Diperbarui: 12 Januari 2024   15:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAF5o8WFmSM/2ar4O4cUkENGIkdogVw7QA/edit?ui=eyJHIjp7fX0&continue_in_browser=true

BAB 1: Pendahuluan

Pandangan Raden Aditya Wirawan terpaku pada uap tipis yang naik dari cangkir keramik yang dipegangnya. Kedai kopi bergetar dengan energi yang terpendam, sebuah simfoni dari sentuhan cangkir yang bersentuhan dan percakapan berbisik, namun bagi Aditya, semuanya memudar menjadi dengungan lembut di tengah latar belakang minuman pilihan yang dihargainya.

"Kamu selalu terlihat sangat serius saat meminum kopimu," Lilis Sulastri mengamati dari seberang meja, senyum hangatnya mencapai matanya. "Seolah-olah kamu sedang menemukan jawaban hidup di dalamnya."

Aditya tertawa lembut, menghargai ejekan lembutnya. Dia mengangkat cangkir, membiarkan aroma kaya biji kopi melibatkannya; tanah, kuat, dengan sentuhan cokelat hitam. "Mungkin aku hanya mencari ketenangan," jawabnya, sebelum mengambil tegukan hati-hati, merasakan kehangatan merambat melalui tubuhnya.

"Terkadang, nak," Hendrik Wijaya menyela, muncul di samping Aditya seperti bayangan, "kopi lebih tentang perjalanan daripada tujuan." Ucapannya yang samar bergelayut di udara, bercampur dengan aroma biji kopi yang dipanggang.

"Perjalanan, ya?" gumam Aditya, tertarik meski tidak sadar. Dia menyaksikan Hendrik mundur ke sudut, di mana pria misterius itu duduk sendiri, terpaku dalam dunianya sendiri.

Aditya mengambil tegukan lagi, kali ini lebih lambat, membiarkan pahit melintasi lidahnya dan melunak menjadi manis. Itu seperti pantulan ujian dan hadiah kehidupan. Seberapa sering dia mengabaikan kenikmatan sederhana?

Kakaknya, Dinda Pramesti, pasti akan mencemoohnya atas renungannya semacam itu. "Kamu perlu berpikir lebih besar, Adit. Kamu tidak bisa membiarkan hidup berlalu begitu saja saat kamu sibuk merenungkan secangkir kopi," begitu katanya. Dia hampir bisa mendengar suaranya, mendorongnya ke jalan yang berbeda, yang dihiasi dengan ambisi dan kesuksesan.

Tapi saat dia duduk di sana, merasakan beratnya cangkir itu di telapak tangannya, Aditya menyadari bahwa momen refleksi ini bukan hanya kegiatan sia-sia. Mereka adalah jeda yang diperlukan, jangkar kecil di tengah laut kekacauan.

"Kopi ini benar-benar istimewa, Lilis," ucap Aditya dengan tulus. "Seperti... setiap cangkir memiliki ceritanya sendiri."

"Dan setiap cerita membawa pelajarannya masing-masing," tambah Siti Aisyah dengan lembut, mendekati meja dengan langkah ringan, senyum hangat mengerutkan sudut matanya. Kehadirannya seperti balsem menenangkan, menenangkan energi frenetik yang sering melintas di kedai kopi.

"Benar sekali, Mbah Siti," balas Aditya, mengakui kebijaksanaannya dengan anggukan hormat. "Setiap cerita mengajarkan kita sesuatu yang baru."

Dia melihat sekeliling kafe, mengamati wajah-wajah akrab. Ada Fajar Kusuma, rekan kerjanya, dengan gigih mengetik di laptopnya, kerutan di dahinya saat dia berjuang dengan tantangan yang tak terlihat. Agnes Ratna Dewi duduk di seberang ruangan, bukunya terbuka di depannya, tangannya bergerak dengan keyakinan saat dia menghidupkan garis dan bayangan. Begitu berbeda, namun keduanya tenggelam dalam pencarian mereka sendiri, menemukan makna dalam pekerjaan mereka.

"Terkadang, aku iri pada mereka," Akui Aditya pelan pada Siti Aisyah. "Mereka sepertinya tahu persis apa yang mereka cari."

"Dan kamu, Adit? Apa yang sedang kamu cari?" tanya wanita tua itu, suaranya dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tulus.

"Aku tidak yakin," akunya, mengaduk-aduk kopi di cangkirnya, menonton cairan gelap itu berputar. "Aku pikir aku tahu, tapi sekarang... semuanya terasa lebih kompleks."

"Kehidupan memang kompleks, tapi sepertinya kau sedang belajar sesuatu yang penting," ucapnya dengan tatapan penuh pengertian.

"Belajar dari nikmatnya secangkir kopi?" dia mencoba, setengah bercanda namun mencari konfirmasi.

"Ya, dari secangkir kopi," dia mengkonfirmasi, tawanya lembut dan merdu. "Dan dari setiap orang yang kau temui, setiap pengalaman yang kau alami."

Aditya merenungkan kata-katanya, merasakan kejelasan mulai terbentuk di tengah kebingungan pikirannya. Setiap orang di sini memiliki sesuatu yang bisa ditawarkan, sebuah pelajaran yang teranyam dalam jalinan hidup mereka. Rizky Maulana, dengan akumen bisnis tajamnya, mendorongnya untuk menentukan batas-batasnya. Bahkan Hendrik Wijaya, dengan kisah-kisahnya yang samar, menantangnya untuk melihat melampaui permukaan.

"Kekayaan kehidupan ada pada keragamannya, Adit," Lilis ikut campur, telah mendengar sebagian pembicaraan mereka sambil mengisi ulang cangkir mereka. "Setiap rasa, setiap aroma menambah kedalaman."

"Seperti lapisan dalam kopi ini," renung Aditya, mengangkat cangkirnya sejajar dengan mata, menghargai nuansa yang menyatu dengan sempurna.

"Tepat sekali," Lilis setuju dengan senyum. "Jadi, apa yang akan kamu ambil dari cangkir hari ini?"

Aditya menutup mata, menghirup dalam-dalam, membiarkan aroma merayapinya. Dia mencari jawaban

 di dalam kehangatan yang nyaman yang merambat melalui tangannya, nada-nada halus yang menari di lidahnya, dan kebijaksanaan diam dibagi antara teman lama dan baru.

"Kesabaran," akhirnya katanya, membuka mata untuk bertemu pandangan Lilis. "Dan pemahaman bahwa terkadang, tidak apa-apa tidak memiliki semua jawaban."

"Selamat atas pelajaranmu hari ini," ucap Siti Aisyah dengan hangat, meletakkan tangan berkerut di atasnya.

"Terima kasih," bisik Aditya, merasakan perasaan ketenangan yang tak terduga menyelimutinya. Dia tahu bahwa jalan ke depan akan penuh ketidakpastian dan tantangan, tapi untuk saat ini, dia memiliki kopi, teman-temannya, dan penghargaan baru terhadap pelajaran yang tersembunyi dalam kenikmatan sederhana kehidupan.

Bersambung ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun