Agar membaca buku menjadi tren dan bukan imajinasi atau tahayul belaka, semua pihak harus bersinergi dalam mempopulerkan kebiasaan membaca buku. Pemerintah tentu punya peran penting menerapkan kebijakan agar masyarakat merasa penting untuk membaca buku. Jadikan patokan baca buku sebagai standar kelulusan murid dan mahasiwa, bukan hafalan akan pelajaran melulu. Buatlah iklim yang kondusif mengenai budaya membaca buku.
Pihak Swasta pun punya peran penting dalam membantu industri buku dan penerbitan agar menjadi bergairah kembali. Cobalah berikan insentif kepada karyawan yang teratur membeli dan membaca buku. Pada akhirnya juga karyawan yang wawasannya baik tentu akan semakin produktif dalam bekerja. Dan untuk masyarakat, secara pribadi saya melihat influencer dan youtuber punya peran penting dan krusial dalam membangun kebiasaan mulia membaca buku bagi generasi muda kini. Saya mengapresiasi beberapa tokoh publik yang berani menggelorakan pentingnya dan betapa menariknya membaca buku melalui konten-kontennya.
Pada akhirnya, kitalah yang akan menentukan masa depan bangsa kita. Sudah saatnya di era normal baru, kebiasaan membaca buku hadir menjadi tren baru kita semua. Sehingga sudah jadi kebiasaan yang tidak aneh saat mendengar teman kita menanyakan, “hei, buku apa yang kamu baca hari ini?”
Catatan:
1 Jika benar budaya kita adalah budaya lisan, bagaimana bisa suku-suku kita mewarisi sastra tulisan/aksara yang orisinal? Karya La Galigo dari suku Bugis, misalnya, malah dikenal sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Mari kita cermati fakta ini dan berani menerobos tahayul budaya kita adalah budaya lisan. Tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa berbudaya yang punya tradisi tulisan dan bacaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H