Refleksi eksistensial manusia, sebagai pengingat akan kodrat atau kelas kita (manusia) yang hidup dengan berbagai makhluk hidup baik fisik maupun metafisik (abstrak). Kodrat manusia pada dasarnya, agaknya "sama" dengan organisme lain yang tidak berakal dan berbudi, kodrat yang "sama" disini dalam arti bahwa sistem dari alam "yang bersifat dingin" Â yang selalu mencari keseimbangan tanpa melihat resiko daripada dampak pencarian keseimbangan tadi.
Keseimbangan dalam alam diibaratkan seperti suatu wujud yang mencari jalan tengah di antara baik dan jahat (seperti yang dicari oleh Taoisme, akan keseimbangan baik dan jahat dengan mengambil jalan tengah). Maka kita akan bertanya, apakah hubungannya dengan refleksi eksistensi tadi yang disebutkan di awal? Â
Hubungan refleksi eksistensi dengan sistem alam yang bersifat dinamis, pengambil jalan tengah, dan pencari keseimbangan adalah adanya suatu kesadaran dari si manusia akan dirinya dan daya guna bagi sistem alam ini apa.Â
Sederhananya, manusia dikatakan sebagai manusia apabila hasil dari manusia akan berdampak baik bagi alam di sekitar, dengan timbal balik manusia diayomi oleh alam. Walaupun timbal balik tidak secara langsung begitu saja, tetapi kita sebagai manusia yang ikut dalam suatu relasi organik dengan alam, dapat merasakan manifestasi kecintaan alam kepada manusia.Â
Tidak hanya bersifat argumen atau opini saja yang selalu didengungkan untuk menanggulangi kerusakan alam dimana-mana, jadi tidak hanya mandek di "potensi" saja tetapi adanya aksi nyata (aktualisasi) dari manusia itu sendiri. Nampaknya, manusia kembali merekonstruksi alam karena adanya perasaan salah dan kepedulian kepada alam yang digambarkan selalu mengambil sikap Tao.
Interpretasi alam mengenai rasa dan seni dalam merekonstruksikan alam inilah yang menurut saya seharusnya dicoba untuk diarahkan ke arah yang semakin membangun.Â
Selama ini, alam hanya digambarkan sebagai salah satu wahana permainan yang dimana terdapat manusia-manusia yang "bermain" (dalam arti mengunjungi dan mendatangi wahana permainan tersebut) bersama yang sifat menjaga, menyimpan, sabar itu sudah mulai pudar, apalagi diwarnai dengan ideologi Kapitalisme yang semakin marak akhir-akhir ini (namun tidak terlepas daripada naluri ingin menguasai), dimana uang kertas yang semakin harum dan seksi kian membentuk para hamba uang, rakus, pemuasan diri lewat materi.Â
Kerakusan manusia yang diawali dari pemenuhan maksimal dari pemuasan naluri menguasai manusia, pemuasan naluri lahiriah manusia agaknya dapat dialihkan menjadi hal-hal yang mungkin lebih positif manifestasinya.
Penenggelaman usaha penguasaan alam dengan lebih ekstensif ke berbagai lahan, atau rumah bagi sistem alam yang dinamis. Rangkaian daripada alam yang berjalan seakan mengalir dan meniup bagaikan angin, berjalan sesuai dengan "naluri" alam yang datang dengan segala kesempitan kekacauan penderitaan dan kekejaman kehidupan manusia.
Eksistensi yang seakan bangkit kembali dari tanah dan meninggalkan zona nyaman nya, mencoba meneriakkan refleksi akan eksistensi untuk manusia yang semakin lama , semakin pudar di makan oleh waktu dan peradaban. Kekaburan makna / pandangan akan hak serta kewajiban dan tujuan asli absolut dan konkret yang sudah digantikan makhluk asing yang tidak ada korelasinya dengan sistem semesta.Â
Tidak berhubungan dengan sistem rangkaian semesta, seakan menantang hukum alam semesta, dan jika mengingat sedikit manusia hanyalah "penumpang" saja, tidak menetap secara permanen (karena afterlife ke sebuah ruang lingkup abstrak menemui Sang Tak Terbatas).
Kenyataan atau realita seakan seperti hanya sebuah memoar semata akan suatu refleksi daripada kehidupan di waktu sebelumnya. Seakan menari -- nari riang di dalam sebuah kayangan nan baka, tetapi lupa akan asal nya yang lahir dari bumi atau dunia yang fana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H