Monoton. Begitu terus berulang. Bahkan jadi terkesan hanya mencontek. Tidak ada perubahan setiap masa tahun ajaran.
Itulah Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP).
Alih-alih diharapkan untuk memenuhi standar proses pendidikan, yang muncul jadi pengulangan terus. Guru pun terhambat kretivitasnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarin (sudah saatnya) mengubah mekanisme RPP.
Dengan begitu: Guru pun punya ruang akselerasi. Jadi Guru Penggerak. Seperti kenginan Menteri Nadiem.
Guru tidak lagi membuat RPP berpuluh lembar dan berhari-hari. Hanya terfokus ke situ, lalu melupakan tugas utamanya: mencerdaskan anak bangsa.
Guru 'terikat'. Hanya mengerjakan pengulangan setiap tahun ajaran. Tidak ada perubahan sesuai apa yang diinginkannya untuk membentuk kualitas murid.
Padahal: belum tentu apa susunan RPP yang dibuat Guru (mengulang) setiap tahunnya masih relevan dengan semangat pergerakan zaman.
Perangkat pendukung/media belajar-mengajar; sumber belajar-mengajar; alokasi waktu; materi belajar-mengajar; kegiatan inti belajar-mengajar; indikator belajar-mengajar; dan lainnya lagi.
Guru 'terpasung' aturan baku yang sama. Susunan sama. Akhirnya pengisiannya sama.
Kini: Menteri Nadiem harus ubah RPP.
Menyesuaikan dengan prinsip serta filosofi pendidikan yang sangat sederhana: yang ingin dicapai (tujuan belajar-mengajar); upaya untuk mencapai tujuan itu (aktivitas belajar-mengajar; dan evaluasi (asesmen belajar-mengajar).
Itulah pendidikan. Tidak rumit sebenarnya hakikat pendidikan itu. Biarkan selanjutnya Guru berakselarasi dan berinovasi apa ingin dilakukannya terhadap 3 aspek itu.
Menteri Nadiem juga harus mengubah sistem zonasi sekolah. Agar tak rigid. Lebih lentur.
Jangan kaku. Murid 'dipatok' menyasar sekolah radius terdekat. Sekolah dibebankan kuota 90% wajib menerima murid (dengan jarak terdekat).
Kemudian: si murid tak lolos kualifikasi di sekolah itu.
Murid akhirnya harus mencari lagi sekolah yang masih bisa menerimanya. Dan kuotanya masih cukup.
Ujungnya; sekolah berjarak jauh lagi dan kuota "wajib" 90% ke sekolah juga tidak ideal.
Akurasi lokasi juga merupakan kendala. Kadang: dianggap masih masuk zonasi, nyatanya pihak sekolah berpendapat bukan.
Belum lagi berpotensi melahirkan 'kecemburuan pendidikan'. Saat ada murid yang nilainya lebih tinggi gagal diterima di sekolah favoritnya. Gara-gara bukan wilayah terdekat rumahnya.
Namun: temannya yang bernilai rendah justru diterima. Sebab rumahnya di samping sekolah. Dan aturan kuota 90% kewajiban sekolah menerima murid.
Polemik lagi.
Kini: waktunya Menteri Nadiem mengubah 'cara main' RPP dan zonasi sekolah.
Supaya pendidikan dinamis. Bukan tersekat kekakuan dan polemik.*