Mohon tunggu...
Erick Mubarok
Erick Mubarok Mohon Tunggu... Petani - Penulis

Petani yang sedang belajar komunikasi | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Superhero Bernama Jak Lingko

31 Oktober 2019   12:18 Diperbarui: 1 November 2019   10:57 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar Jakarta untuk pertama kali, pastinya sebagian besar dari kita akan terasosiasi pada kemacetan dan kesemrawutan jalanan. Hampir seisi penjuru kota tak lekang oleh klakson yang saling beradu karena masing-masing merasa paling buru-buru.

Saya adalah seorang mahasiswa semester lima di sebuah kampus bilangan Salemba. Setiap hari, aktivitas menuju kampus dari rumah di kawasan padat penduduk Jembatan Lima, Tambora Jakarta Barat, tak pernah berganti dengan transportasi lain selain kendaraan umum. 

Sejak pagi, kala pasar Jembatan Lima masih menyeruak oleh sisa-sisa aktivitas pedagang sayur yang tumpah ruah di sepanjang jalan membuat kemacetan panjang hingga simpang empat flyover Stasiun Kota-Pasar Asemka. 

Ah, rasanya, ini tak pernah berakhir. Macet, macet dan macet.

Barangkali itu juga yang menambah komplit bobroknya transportasi umum, layanan ugal-ugalan pengemudi angkot, ongkos yang kadang seenaknya diminta ke penumpang, apalagi ketika malam sudah beranjak larut. 

Sempat beberapa kali, Saya menyaksikan kengerian ketika seorang perempuan lansia yang jadi penumpang, belum sampai badannya duduk dengan nyaman di kursi yang berbaris berhadapan, mobil sudah melaju. 

Efeknya, badannya terhentak menabrak kaca di belakangnya. Apa mau dikata, kita menegor dengan niat baik, suara pengemudi lebih lancang.

Begitulah cerita Saya di tahun 2012 lalu, lebih dari 7 tahun lalu.

Soal kendaraan umum, yang saya pahami, ada dua sisi yang saling terikat, terus meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil pribadi dari tahun ke tahun terutama di Jakarta tak lepas dari ketersediaan transportasi umum yang minim jumlah dan minim kenyamanan. 

Begitulah yang buat orang malas menidurkan kendaraannya di rumah. Transportasi umum kalah seksi dibanding kendaraan pribadi.

Saya coba mengutip data dari Statistik Transportasi DKI di tahun Jakarta 2018 (katadata.co.id), mobil penumpang mencatat pertumbuhan tertinggi 6,48% per tahun pada periode 2012-2016. Pada 2012 jumlah mobil penumpang di Jakarta sebanyak 2,74 juta unit sedangkan pada 2016 bertambah menjadi 3,52 juta unit. 

Kalau asumsinya pertumbuhan mobil penumpang masih sama, jumlah mobil penumpang di Jakarta pada 2017 mencapai 3,75 juta unit dan 2018 menjadi 3,99 juta unit.

Jumlah sepeda motor di Jakarta pada 2012 mencapai 10,82 juta unit. Angka ini terus meningkat menjadi 13,3 juta unit pada 2016. Dengan rerata pertumbuhan 5,3% per tahun, jumlah sepeda motor diperkirakan mencapai 14 juta unit pada 2017 dan 14,74 juta unit pada 2018.

Pantas Jakarta macet!

Sudah lebih dari tujuh tahun berlalu, cerita transportasi umum banyak berubah bak superhero. Semisal Transjakarta yang terus bertransformasi tidak hanya menyelesaikan dengan bus-bus berjalur khusus. 

Di tahun 2018, munculah Jak Lingko yang sebelumnya bernama OK Otrip. Prinsipnya, Jak Lingko yang notabene di bawah Transjakarta merangkul operator-operator pengelolan angkutan umum (angkot) untuk menghilamgkan kesemrawutan yang menjadi ciri khas angkutan umum dan lalu mengubahnya menjadi transportasi yang menawan.

Di bawah Transjakarta, Jak Lingko membuat suasana kerisauan para pengemudi yang awalnya setiap hari diburu oleh waktu dan setoran yang menanggak. 

Jak Lingko juga menyasar daerah-daerah perbatasan penyangga Ibu Kota, agar distribusi penumpang utamanya ke bus Transjakarta yang kebanyakan dari daerah tersebut mau dan menjadikan kendaraan umum sebagai gaya hidup.

Efeknya, semakin terlihat, layanan ugal-ugalan dan potong jalur ala angkot zaman old hampir tak terlihat lagi. Driver tidak perlu mengejar waktu, mereka fokus pada pelayanan dan bagaimana membuat penumpang nyaman berada di angkutannya.

Seperti halnya laki-laki paruh baya bernama Budi, ia adalah pengemudi Jak 07 jurusan Tanah Abang-Tawakal, Grogol.

Mengakui dirinya merasa nyaman dengan Jak Lingko, pendapatan yang tetap menjadi alasan. Budi pun tak menaruh gelisah dengan kijang besinya yang terjamin perawatan karena fasilitas yang diberikan Jak Lingko. 

Yang biasanya, Budi setidaknya menghabiskan waktu dari subuh hingga malam. Dengan bergabung bersama Jak Lingko, dirinya hanya bekerja 8 jam sehari. Nilai yang banyak disyukuri oleh Budi, sehingga ia tak kekurangan waktu menyeruput kopi bersama keluarganya di rumah.

Perubahan berkelas yang dilakukan Transjakarta lewat Jak Lingko, menimbulkan harapan besar lima hingga sepuluh tahun kedepan Jakarta jadi kota penuh pesona. 

Orang-orang riang berjalan kaki di selasar trotoar Ibu Kota, beberapa kelompok pesepeda senyum merekah sehalus ban sepedanya. 

Dan sayapun, semakin cinta transportasinya, duduk menikmati aktivitas pagi Jakarta dari balik jendela bus berbaju oranye, tak ada lagi klakson yang berbunyi mengaum, hanya ada alunan lagu-lagu akustik mengalun di halte Transjakarta.  **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun