Pada suatu kesempatan, usai shalat Jum’at, beberapa jamaah masih khusyu mendawamkan dzikirnya, beberapa lain sudah ganti posisi tegak lurus menghadap langit, lain lagi yang dipelataran dan parkiran hingga gerbang, ramai oleh jamaah dan antrian kaum dhuafa dan fakir miskin. Mereka antri dengan mangkuk atau bekas kemasan makanan di tangan dengan harapan rasa iba dan sisihan uang jajan jamaah. Semoga saja ini hanya terjadi di satu Masjid.
Saya melihat ada kontradiksi yang saling bertentangan meskipun sebenarnya tidak berada pada pengelompokkan yang setara. Masjid yang megah rupanya belum mampu menjadikan kaum dhuafa dan fakir miskin sejahtera. Kemegahan itu terbendung dan dipagari oleh dinding-dinding bangunan dan dentang suara pengajian, belum mampu menembus tetangga sebelah yang lusuh. Atau bisa jadi masalahnya bukan di Masjid, ini urusan mental yang tak selesai oleh khutbah dan ceramah ulama.
Ini adalah kritik atas kecintaan kepada Masjid dan ajaran Islam. Hingga batas akhir, keadaan ini akan tetap sama persis, meskipun teknologi sudah berada pada byte tak terbatas. Jika kita lupakan sejarah islam dan menganggap Muhammad Saw dan Islam hanya berada pada teks-teks Al-Quran. Penafsiran Al-Quran hanya dijadikan sebagai ajang debat, bukan untuk mentadzaburi.
Dan bahkan, Masjid-pun lupa bahwa iya pernah melahirkan Sultan Mehmed II, Imam Syafi’i, Ibn Sina, Al-Khawarizmi, dan generasi Islam yang cemerlang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H