Mohon tunggu...
Erick Iskandar
Erick Iskandar Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer I Coach I

Helping People Flourish. Founder of Lighthouse Training. https://lighthousetraining.org

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Belajar "Melepaskan"

11 Juni 2021   06:00 Diperbarui: 11 Juni 2021   09:57 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi well being in the office (melindasleadership.com)

Jika kita hanya melakukan “let work” tanpa melakukan “let go”, maka kita masih terikat dengan emosi negatif yang menyertai peristiwa yang tidak kita inginkan tersebut. Jika Toni dalam kisah diatas tidak melakukan “let go”, maka ia akan melampiaskan kekesalannya tersebut pada orang lain dan menyalahkan manager sebelumnya yang telah memilih venue tempat outdoor acara.


Lakukan "detachment" pada peristiwa

Attachment adalah keterikatan kita pada suatu hal. Detachment adalah tindakan untuk membebaskan keterikatan kita tersebut. Sebagai manusia modern, kita selalu menenteng smartphone kita kemana-mana. Bahkan saat bangun pagi pun, hal pertama yang kita lakukan adalah mengecek pesan whatsapp, membaca berita, timeline facebook, Instagram, ataupun media sosial yang lain. Bahkan saat bertemu orang maupun melakukan meeting, kita masih bersibuk ria dengan smartphone kita. Betapa kita telah sangat “attach” dengan smartphone kita.

Bisakah kita menjalani hidup satu minggu tanpa memegang smartphone sama sekali? Tampaknya sulit sekali. Jangankan satu minggu, satu hari saja kita sudah gelisah jika tidak memegang smartphone. Bahkan satu jam pun tanpa mengecek pesan whatsapp dan social media, kita sudah resah gelisah. Coba pikirkan ini: kita perlu sesekali melakukan “detachment” terhadap smartphone kita untuk membuktikan bahwa kita bisa tidak tergantung padanya dan membuktikan bahwa hidup kita punya prioritas penting lain selain social media.

Dalam kehidupan professional, kita pasti pernah melakukan kesalahan dimana kita mendapatkan pelajaran berharga darinya. Terhadap kesalahan ini, kita perlu melakukan “detachment” terhadap peristiwa-nya tanpa melupakan pelajaran berharganya. Dengan melakukan “detachment” terhadap peristiwa yang membawa rasa sakit, maka kita akan mampu melepas emosi negatif yang dulu terasosiasikan dengan peristiwa tersebut dan dapat terus move on.

Begitu pula dengan kesuksesan / keberhasilan. Saat kita meraih keberhasilan / kesuksesan, rayakanlah dan bergembiralah dan kemudian tetap move on. Jika kita tidak melakukan “detachment” pada kesuksesan di masa lalu, kita masih menganggap bahwa cara kita mencapai kesuksesan tersebut adalah cara yang paling benar dan bisa terjebak pada nostalgia masa lalu. Akibatnya, kita menjadi orang yang sering mengumbar kesuksesan masa lalu pada orang lain yang bahkan tidak terlalu peduli karena memang ia tidak terlibat pada kesuksesan tersebut. Akibat lain adalah kita menjadi sering memaksakan diri menggunakan cara-cara sukses lama yang sudah usang. Padahal dalam dunia kompetitif saat ini, apa yang membuat kita dulu mencapai kesuksesan bisa jadi tidak berlaku untuk mencapai kesuksesan di masa kini. Seperti yang disampaikan Marshall Goldsmith : “what gets you here, won’t get you there”.

Stop, pause, and relax

Penelitian menunjukkan bahwa tekanan pekerjaan dan tuntutan target di organisasi berdampak langsung pada peningkatan hormon Cortisol pada diri diri kita. Hormon Cortisol sering juga disebut sebagai hormon stress karena berhubungan langsung dengan stress yang kita alami. Pernahkah anda mengalami otot yang semakin menguat, detak jantung yang berdegup semakin kencang saat anda menghadapi suatu peristiwa? Itu adalah ciri saat hormon cortisol meningkat. Penelitian juga menunjukkan bahwa stress yang dialami di tempat kerja berdampak langsung pada metabolisme kesehatan tubuh kita. Ia menimbulkan rasa lelah secara fisik, beban pikiran, lelah secara psikologis, sulit tidur, dan perasaan tidak berdaya.

Kita bisa mengontrol hormon cortisol ini dengan menumbuhkan sikap “melepas” dan relaks. Di tengah gegap gempita kesibukan keseharian professional kita, ambillah waktu untuk berhenti sejenak, relaks dan mengambil jarak. Penting bagi kita untuk mengambil jeda dan melihat diri serta berbagai peristiwa yang terjadi dengan kacamata yang lebih jernih, pemaknaan yang lebih mendalam, pikiran yang lebih tenang, dan perasaan yang lebih damai.

Bawalah diri kita pada kesadaran bahwa keinginan untuk “mengendalikan” semuanya hanya akan semakin memperburuk keadaan dan penting untuk menumbuhkembangkan kemampuan “melepas” terhadap peristiwa dan hal-hal dalam hidup yang diijinkan terjadi pada kita agar kita mampu memetik pelajaran berharga darinya.

Pada akhirnya, semoga kita lebih tenang untuk menerima hal-hal yang tidak mampu kita ubah, lebih berani untuk mengubah hal-hal yang mampu kita ubah, dan lebih bijak untuk mengetahui perbedaan diantara keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun