Mohon tunggu...
Eric Keroncong
Eric Keroncong Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku yah.. orangnya pendiam...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melukis Indahnya Kanvas di Atas Kasihku

8 November 2011   16:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:54 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melukis Indahnya Kanvas Diatas Kasihku

Karya : Eric Keroncong

Andai aku boleh katakan, aku tidak akan bermain-main dengan sebuah nama yakni “CINTA”. Dan akan aku ulang sekali lagi, andai aku boleh memilih sebuah jalan hidup baru, maka akan aku teriakkan serta mengibarkan bendera kedamaian untuk orang yang aku kasihani.

Bila aku tidak mampu memejamkan mata ini, maka akan aku petik gugusan bintang perdamaian malam ini. Bila semua hanya mimpi, akan aku ungkapan sebait doa untukmu disana. Dan bila aku bertemu denganmu, akan aku peluk erat tubuhmu yang berlumur darah. Darah merah yang segar akan aku raih dengan dua telapak tangan kosong ini. Mampukah diriku?

Sayangnya aku tidak bisa berbuat banyak untuknya, untuk dirinya, untukmu, serta untuk semua orang yang menderita. Maka akan aku tancapkan bambu rucing ini kearah tubuh lawanku yang kekar. Akan aku hunuskan puluhan serta ribuan tusukanruncingan bambu ini padamu. Dan aku akan tersenyum, sebelum mentari akan tenggelam diufuk timur.

“Nak, sudah pagi...” Mamaku membangunkanku dalam mimpi burukku. Aku mengucek kelopak mata kantukku dengan segera. Membasuh muka di dalam kamar mandi. Mamaku sibuk membersihkan tempat tidurku. Inilah kebiasaanku menjelang libur panjang sekolah. Aku akan bangun setelah mentari yang terbit dengan terang berderang.

“Ma, kan hari ini hari libur sekolah.” Jawabku dengan malasnya.

“Mau ikut liburan tidak hari ini?” ujar Mama dengan nada rendahnya.

“Liburan kemana?”

“Ke Bali, Nak.” Tiba-tiba suara Papa bergema disudut kamarku.

“Papa yang benar, Nih?” aku meyakinkan ucapan yang terlontar berapa detik barusan.

Papa menganggukkan kepalanya,”Iya. Papa dan Mama sengaja cuti kerja selama sepekan untuk mengajak anak Papa liburan ke Bali.”

“Bali?” aku kaget ketika nama seribu Pura itu kudengar. Baru pertama ini kedua kakiku akan menginjak pulau Dewata. Pulau yang eksotik untuk dikunjungi. Dalam lamunanku, aku berlari di atas pasir putih pantai Kuta. Aku akan bermain selancar dengan ketinggi ombak yang menggulung tinggi dengan gagahnya. Berpose ria bersama turis-turis yang berjemur menghitamkan tubuh mereka. Danyang belum aku saksikan adalah panorama Sunset. Melihat mentari tenggelam di perairan pantai Kuta dengan bulatan besaritu tiba-tiba tenggelam perlahan-lahan. Asyiknya. Aku akan berkunjung mengelilingi Bali seperti pantai Kuta, Sanur, Bedugul, Kintami, Tanah Lot, dan tempat wisata lainnya di Bali.

“Rifki, kok malah bengong,” goda Mama sambil mencubit kedua pahaku.

“Aw...awww...sakit, Ma.”

“Hayo...memikirkan Bali seperti apa ya?” Papa meletakkan korannya diatas meja belajarku.

Aku tersipu malu.

“Kok diam lagi, sih? Mau ikut tidak ke Balinya?” Papa berbalik kanan.

“Pa..Pa..Papa...jadilah. Kalau begitu aku mau mandi dulu, Pa. Tunggu ya...” aku meraih handuk yang di jemur.

“Iya...Papa dan Mama tunggu di ruang makan, Nak.”

“Baiklah, Ma...”

***

Tiga puluh menit, persiapan untuk berlibur ke Bali sudah siap. Mobil sudah di cek kondisinya oleh Pak Amin, sopir pribadi di dalam keluargaku. Sudah berapa tahun lamanya, Pak Amin mengabdi di keluargaku. Untk itulah beliau sudah dianggap bagian dari keluargaku sendiri.

Wanita berbadan bongsor dengan wajah imut-imutnya ialah Mbak Jijah. Meskipun usianya kepala tiga, Mbak Jijah masih single loh. Saat Papa mengajak Mbak Jijah untuk bergabung serta mendapat tiket berlibur ke Bali, wajahnya sumringah tanpa henti-hentinya. Mbak Jijah orang kedua yang bersemangat menyambut keberangkatan ke pulau Dewata kali ini.

“Tuan, Nyonya, tidak berkata bohong mengajak saya ikut ke Bali?”

“Ngapain harus bohong,”

“Wah...mimpi apa saya semalam, Nyonya?”

Mamaku hanya mengangkat kedua bahunya,”Mimpi kodok tidak ada ekornya.”

“Dari dulu kan kodok tidak ada ekornya, Nyonya...”

Tawa pun meledak saat pemberangkatan menuju Bali.”Sudah siap!” teriak Pak Amin penuh semangat.

“Siap!!” teriak kami serentak.

***

Mobil yang dikendarai oleh Pak Amin sudah melewati Singosari-Malang. Sebentar lagi, mobil ini akan meninggalkan Bhumi Arema, julukan kota Malang. Aku menempelkan kelima jemari tangan kananku di kaca mobil. Aku gerakkan kearah kanan kemudian kearah kiri. Melambaikan perlahan tangan kananku,”Selamat jalan Bhumi Arema...I’m comming Bali Island....

Suasana didalam mobil begitu gaduh. Aku tidak bisa menyembunyikan keceriaan yang terpancar dari wajah Mbak Jijah. Berulang kali Mbak Jijah mengatakan,”Hal yang pertama kali saya lakukan saat tiba di Bali adalah saya akan berpose dengan bule.”

“Bule?”

“Iya. Akan aku tunjukkan pada orang kampung, Ijah Sutijah Binti Achmad bisa berpose dengan bule, loh!”

***

Sembilan jam perjalanan dari kota Malang ke Bali, akhirnya setelah mobil menyebrang di pelabuhan Ketapang-Banyuwangi, maka Pak Amin yang sedari tadi kelelahan kini kembali menginjakkan gas mobil saat membaca tulisan,”WELCOME TO BALI.”

“Tuan, Rifki....ini Bali ya?” Mbak Ijah tanpa hentinya terlihat kagum.

“Iya, Mbak Ijah.”

“Wah...kok tidak ada bulenya, sih?”

“Ini kan belum nyampai obyek wisatanya, Mbak Ijah.”

Mbak Ijah menganggukkan kepala,”Kalau sudah sampai Kuta, pasti bulenya banyak ya?”

“Iya...”

***

Aku akan berlibur dua pekan lamanya di Bali. Papa sudah resevarsi di hotel berbintang di kawasan Legian Kuta. Kebetulan, Papa tidak asing lagi untuk berkunjung ke Bali. Selama Papa bekerja di perusahan asing termuka di kota kelahiranku, setiap kali ada meeting penting dengan kedutaan negara-negara asing termuka, beliau akan selalu menghabiskan untuk menghadiri meeting penting di Bali.

Kenapa aku dan Mbak Ijah begitu semangat pertama kali mendapat tiket liburan gratis ke Bali? Jawabannya ada pada Papa. Begini, ceritanya. Setiap Papa pulang dari meeting di Bali. Beliau selalu bercerita tentang budaya Bali. Dimana masyarakat Bali begitu baik dan ramah saat ada tamu luar negeri yang datang ingin menikmati panorama Bali. Menghabiskan liburan sepajang musim kali ini. Untuk itulah, saat liburan, ribuan orang dari penujuru dunia akan berkunjung dengan wajah gembira.

Cinderamata yang khas dan unik itulah yang selalu Papa bawa pulang untuk hadiahku di rumah. Berapa banyaknya koleksi benda-benda unik yang dihasilkan oleh perajin atau seniman terkenal di Bali. Papa pernah membawa lukisan gambar seorang anak yang sedang di gendong oleh ibunya dengan selendang bercorak motif Bali. Papa membeli lukisan termahal dalam sejarah hidupnya. Beliau tidak segan-segannya merogok uang berjuta-juta untuk membeli lukisan yang penuh makna itu. Kini, lukisan itu Papa taruh di ruang keluarga dan dirawatnya. Papa mewanti-wanti pada Mbak Ijah agar lukisan itu tidak berdebu.

Pernah suatu hari, Mbak Ijah lupa untuk membersihkan lukisan mahal itu. Abu tebal menempel di lukisan yang dibeli oleh Papa.Puncak emosi Papa tidak bisa dibendung lagi. Seolah-olah, di kepala Papa ada dua tanduk merah. Papa marah besar. Aku hanya bisa diam di dalam kamar tidak bersua sedikitpun.

“Bali itu pantas dikunjungi oleh semua orang di muka Bali.” Ujar Papa.

“Kenapa?” tanyaku penuh penasaran.

“Karena Bali tempat yang paling tepat untuk berlibur bersama keluarga.”

“Terus?”

“Sudah saat pasti Papa akan membawa kamu, Rifki...”

“Oh, ya? Kemana?”

“Bali.”

“Papa tidak bohong?”

“Buat apa Papa harus berbohong?”

Saat perbincangan kecil di ruang keluarga di malam hari, saat itulah hatiku tidak bisa terbendung lagi ingin segera terbang ke Bali. Berulang kalinya aku meminta pada Papa agar beliau memberikan ijin padaku untuk membawa diri ini berlibur ke Bali. Menikmati keindahan Bali sesungguhnya bukan cerita yang sering diceritakan Papa sepulang dari meeting di Bali.

“Papa janji ya?”

“Iya. Papa janji bila kamu rangking di kelas.”

“Baiklah.”

Nah, saat itulah aku sungguh-sungguh untuk meraih peringkat di kelas. Aku sungguh-sungguh untuk belajar sampai titik darah penghabisan. Aku bercermin pada sosok pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia yang ingin segera merdeka dari jajahan Belanda.

Aku sempat membaca sejarah, bagaimana arek Suroboyo menyobek bendera milik penjajah kalah itu di depan hotel. Arek-arek Suroboyo ingin sang Merah Putih berkibar di langit cerah. Untuk itulah, semangatku kian menggebu-gebu dalam relung jiwaku terdalam. Aku bisa membuktikan pada Papa, bahwa aku bisa meraih peringkat kelas. Dan akan aku rebut tiket emasku menuju Bali. Oh, Bali....sungguh impianku bisa bersua padamu kelak!

***

Welcome to Beach Hotel, Mr. Handoko.” Ujar Mbak Resepsionis Beach Hotel.”Ada yang bisa saya bantu, Bapak Handoko?”

“Saya pesan dua kamar, Mbak.” Ujar Papa.

“Baik. Ditunggu sebentar, Pak. Maaf, bisa tunjukkan kartu indentitas Bapak Handoko?”

Papa mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk di dalam dompet yang terbuat dari kulit asli. Setelah Mbak Resepsionis mencatat di guest list, data-data yang dibutuhkan oleh pihak hotel sudah lengkap, transaksi pembayaran sudah dilakukan Papa, maka Mbak Ayu memberikan master key.

“Ini master key,”

“Terima kasih, Mbak Ayu.”

“Sama-sama Bapak Handoko. Selamat berlibur dan selamat menikmati fasilitas Beach hotel.”

Bell Boy akan mengangkat barang bawaan kami semua menuju kamar yang sudah dibooking oleh Papa. Setelah memberikan uang tip ke Bell Boy itu, kami semua beristirahat sejenak melepas rasa capek perjalanan dari kota Malang menuju Bali yang memakan waktu sembilan jam perjalanan.

***

Hari ini adalah jadwal dimana aku dan keluarga besarku mengunjungi tempat rekreasi ke Tanah Lot dilanjutkan ke Bedugul, rasa capek perlahan nan pasti hinggap di pelupuk mata indahku. Walau sehari merasakan keindahan bersama keluarga tercinta. Aku tidak bisa memungkiri rasa lelah selalu menjadi momok perjalanan kali ini.

Berusaha untuk mengusir rasa lelah berkepanjangan, aku keluar dari kamar hotel. Untuk mengetahui dunia luar di hotel berlantai dua itu. Setelah mendapat kantong ijin untuk jalan seorang diri, langkahku kian mantap menyusuri jalan Poppies. Tidak lupa peta Bali aku genggam setelah aku bertanya pada tourisme infomation yang tidak jauh dari hotel dimana diriku menghinap. Setelah mendapat penjelasan dari guide setempat, aku berkenalan dengan Bli Made. Mas Made.

“Engken, Bli? Ada apa, Mas? Bisa saya bantu?” tanya Bli Made.

Penjelasan Bli Made begitu detail atas info-info obyek wisata. Aku diajak untuk berkunjung ke rumah Bli Made di jalan Mandala. Jalan Mandala yang berada dibelakang airport international Bali.Airport Ngurah Rai.

“Ini rumah mungil saya, Mas.” Bli Made dengan ramahnya mempersilahkan aku masuk.

Matur sukseme, Bli. Terima kasih, Mas.”

“Mas, Rifki bisa bahasa Bali, ya?”

Aku tersenyum kearahnya,”Iyalah.”

Bli Made seniman ya?” lanjutku sambil bertanya saat Bli Made menunjukkan ruang kerjanya.

“Seniman kacangan, Mas.”

“Sudah lamakah Bli Made menggeluti seni lukis?”

Bli made menggelengkan kepala,”Baru tiga bulan yang lalu. Saat saudara kita di Palestina menderita.”

“Maaf, Bli Made seorang muslim?”

Untuk kedua kalinya Bli Made menggelengkan kepala.

“Maaf....ya, Bli.”

Sing Ken-ken. Tidak apa-apa, “

“Saya beragama Hindu. Oh, ya besok ada pameran seni lukis loh. Datang ya?” ajaknya.

“Dimana?” tanyaku.

“Di Sesetan.”

“Aku tidak tahu daerah Sesetan, Bli.”

“Ya, sudah. Besok aku tunggu jam delapan pagi, Mas.”

“Baiklah.”

Bli Made mengajari teknik melukis. Seharian aku menghabiskan untuk mencoba melukis. Kata Bli Made, aku ada bakat melukis. Aku mencoba melukis wajah saudaraku di Palestina. Aku mencoba melukis, seorang perempuan menggendong buah hatinya sedang memegang bambu rucing dan di ujung bambu runcing ada bendera kecil negara Palestina.

Sejam aku dibiarkan berkreasi oleh Bli Made.”Ini lukisan Mas Rifki ya?” tanya Bli Made dengan wajah kagum.

“Iya. Lukisannya jelek, Bli.”

“Saya tidak ngomong begitu, lho. Pasti harga lukisan Mas Rifki laku mahal di pameran lukisan besok.”

“Aku tidak ingin menjualnya, Bli.”

“Sayang, yah?”

“Kenapa?”

“Ah, sudahlah jangan dipikirkan. Besok jadi kan ikut ke pameran lukisan, Mas Rifki?”

“Iya.” Ujarku sambil naik keatas motor buntut Bli Made. Dan dia mengantarkanku kembali ke hotel sebab aku tidak tahu jalan menuju ke hotel. Pasti Papa dan Mama begitu mencemaskanku.

***

Bli Made mengenalkanku pada seniman se-Bali di kawasan Sesetan. Tanpa sepengetahuanku, lukisan yang aku lukis seadanya itu diikutsertakan dalam lomba lukisan se-Indonesia oleh Bli Made. Bli Made mendaftarkan lukisanku di meja panitia.

Aku berjalan menyusuri pameran lukisan yang penuh arti mendalam serta aku sulit membaca arti sesungguhnya pada lukisan yang di lukis oleh sang empunya. Lukisan itu beraneka ragam jenis lukisan. Mataku tak bisa menghafal, deretan mana lukisan yang menurutku paling bagus. Rata-rata lukisan itu bermakna dalam.

“Bagaimana Mas Rifki setelah melihat lukisan kali ini?” tanya Bli Made.

“Aku kagum, Bli. Untungnya Bli Made tidak memajang lukisanku di deretan seniman lukis kali ini.”

Bli Made tersenyum sambil mengajakku makan siang di warung lesehan. Di warung lesehan, aku banyak mendapat ilmu secara tidak langsung oleh Bli Made. Saat itu aku hanya bisa menjadi pendengar setianya saat Bli Made menjelma menjadi seorang guru seniman lukisan profesional siang itu.

Akhirnya kami kembali kembali ke pameran lukisan,”Sebentar lagi pengumuman lomba lukisan, lho.”

“Oh, ya?”

“Iya, Mas.”

“Wah, pasti juaranya memang seniman sejati.”

“Belum tentu, Mas Rifki.”

“Tahun lalu, juara pertama disambet seniman lukis yang baru terjun ke dunia seniman lukis.”

“Hem....”

Akhirnya, pengumuman dibacakan oleh juri diatas stage. Lampu mirip Diskotik beraneka ragam itu menyorot wajah juri yang membacakan juara harapan hingga juara ke dua. Aku tetap duduk berpaku. Memandangi wajah Bli Made yang terlihat panik. Kemungkinan besar, Bli Made cemas sebab namanya belum keluar sebagai juara.

Bli, yang sabar ya?” aku menepuk pundak Bli Made perlahan.”Kalah menang sudah hal biasa dikompetisi bergengsi. Aku sering ikut lomba menulis selalu gagal. Dan kegagalan itulah aku mencoba untuk mengetahui sejauh mana tulisanku mendapat kritikan tajam.”

“Oh, ya?” jawab Bli Made dengan mataterbinar-binar. Aku menjelaskan kepada Bli Made bahwa aku lebih suka di dunia menulis dari pada dunia melukis. Untuk itulah, saat aku diperkenalkan kembali pada kanvas serta kuas oleh Bli Made, aku ingin mencoba melukiskan rasa kesedihanku teramat dalam.

Dan akhir-akhir ini, aku sering menyaksikan pemberitaan ataupun penderitaan saudara muslimku di Palestina sana. Ribuan mayat tidak berdosa bergelimpah bersimbah darah. Tunggu! Kenapa aku kemarin menggambarkan lukisan seorang ibu menggendong buah hati bersama bambu runcingnya? Persis didalam mimpiku berapa waktu lalu. Padahal, selama ini aku selalu berdebat sama Papa didepan layar televisi. Aku yang tidak hobi menonton dunia dalam berita, marah besar setiap kali aku menyaksikan drama sintetron tiap malam itu.

“Kapan kamu pandai, Rifki? Tontonan tidak mendidik yang kamu tonton tiap malam.” Ujar Papa mengganti channel televisi.

Maka, dunia dalam berita atau dunia mancanegara tidak luput Papa poloti. Bila Papa sudah berada didepan televisi, terpaksa penghuni rumah bisa diam.

“Rifki Pratama,seniman berasal dari Jawa Timur anda layak menjadi juara tahun ini.”

Riuh sorak pengunjung pameran lukisan begitu riuh. Aku tetap melamun. Dalam hatiku, aku akan melihat nama sang juara lukisan tahun ini yang diadalan di pulau Bali.

“Ananda Rifki Pratama dimohon untuk naik keatas stage sekarang,”

“Mas, naik keatas stage sana.” Perintah Bli Made.

“Naik keatas stage, Bli?” tanyaku merasa heran.

“Iya.”

“Lukisan seorang ibu menggendong buah hati dan memegang bambu rucing serta bendera negera Palestina berhak menyandang juara satu kali ini,”

“Aku?” tunjuk jemariku kearah diri ini yang merasa kebingungan.

“Iya. Nama Mas kan Rifki Pratama, bukan?”

“Iya.”

“Mas berasal dariJawa Timur bukan?”

“Iya.”

“Lukisan seorang ibu menggendong buah hati dan memegang bambu rucing serta bendera negera Palestina berhak menyandang juara satu kali ini,” ujar Bli Made menirukan pembicaraan juri yang sedang mengumumkan juara satu lukisan tahun ini.

“Aku kan tidak merasa mengikuti lomba, Bli?”

“Lukisan Mas Rifki yang kemarin di lukis di ruang kerja saya, tanpa sepengetahuan Mas Rifki, saya mengirimkannya sebagai salah satu peserta lomba.” Bli Made menarik tanganku menuju stage.

Aku pun naik keatas stage dengan wajah kebingungan. Ucapan selamat bertubi-tubi menghampiriku. Aku mencoba untuk rileks diatas stage saat pembagian hadiah dilakukan oleh Bapak Gubenur .

***

“Rifki...” peluk Mama dikediaman Bli Made.

“Loh, Mama kok mengetahui aku berada di rumah Bli Made?” tanyaku sambil melepas pelukkan Mama.

“Selamat ya, Rifki...” ujar Papa memberikan ucapan selamat.

“Tuan Rifki jago melukis. Saat pulang ke rumah, Mas Rifki bisa melukis wajah Mbak Jijah yang cantik ini ya?”

“Selamat ya Tuan Rifki...” ujar Pak Amin.

“Mama tahu atas pemberitaan kamu di televisi.”

“Wah...anak Papa sekarang jadi pelukis, nih?”

“Pa, Ma, Mbak Jijah, Pak Amin, aku kaget saat namaku menjadi pemenang lukisan tahun ini yang diadakan di Bali. Padahal, niatan aku pergi ke pameran lukisan karena diajak Bli Made. Beliaulah yang mendaftarkan lukisanku tanpa sepengetahuan. Oh, ya, ini Bli Made.”

“Kasihku di atas kanvas kali ini akan aku sumbangkan untuk saudara kita di Palestina,” lanjutku.

“Hadiah uang tunai akan kamu sumbangkan ke Palestina, Nak?” ujar Mama mengelus rambut hitamku.

“Iya, Ma. Setelah berunding dengan Bli Made, beliau tidak keberatan hadiah uang tunainya akan aku sumbangkan.”

“Subhannallah, Nak...”

Suasana haru terukir di teras rumah Bli Made. Aku bak artis kondang diliput oleh stasiun televisi lokal dan luar negeri. Kali ini, liburanku diisi oleh kegembiraan. Allah telah mempertemukanku dengan Bli Made secara singkat. Melukis indahnya kanvas diatas kasihku yang benar-benar membutuhkannya. Meski aku tidak menyumbangkan tenaga untuk membela saudaraku, namun hanya sebait doa yang akan aku sumbangkan untukmu, saudara-saudaraku nan jauh disana.

***

Biodata Penulis :

Eric Keroncong adalah nama pena dari Eric Shandy Admadinata yang lahir di Probolinggo, 31 Agustus 1987 ini mempunyai hobi di dunia menulis. Beberapa karya yang telah dibukukan bersama teman di Facebook antara lain : Ibuku adalah, writer4 Indonesia, Para Guru Kehidupan, Bayi Sehat, Curahan Hati Untuk Tuhan, dll.

Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mulatno. SH dan Ibu Sri Hariyati Spd, selain hobi menulis sejak duduk dibangku sekolah hingga sekarang memiliki hobi yakni memelihara bintang di rumahnya. Penulis berzodiak Virgo juga menerbitak Kumcer”Cinta Pedas ( Hasfa-Arias Publishing ), dan novel perdananya “Dokter Sampah ( Leutika Prio ) dan berharap suatu saat ada tulisannya terbit secara manjor bukan indie. Bagi teman-teman yang ingin bersua dengan penulis bisa mengirimkan kealamat rumah di jalan raya Paiton no 170 Rt 33 Rw 09 Sumberanyar Paiton Probolinggo serta alamat mail di :esa_cutez@yahoo.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun