Kedua, pengembangan profesi hijau menjadi angin segar bagi 140 juta angkatan kerja di Indonesia.
Beberapa penstudi dan masyarakat memang skeptis dengan potensi profesi hijau. Mereka menilai bahwa ekonomi hijau tidak akan mampu menciptakan pasar tenaga kerja baru untuk mengakomodasi dampak dari hilangnya lapangan kerja di sektor industri fosil.
Namun demikian, merujuk pada artikel “Looking for green jobs: the impact of green growth on employment” oleh Bowen & Kuralbayeva (Maret 2015), analisis dampak jangka panjang ekonomi hijau menampilkan hasil yang positif bagi pengadaan lapangan kerja melalui pengembangan teknologi dan investasi.
Lagi pula, cakupan profesi hijau cukup luas. Lapangan kerja baru dapat diciptakan untuk mengganti pekerjaan yang hilang.
Misalnya, peralihan profesi dari industri bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, dari kendaraan bermotor menjadi kendaraan listrik, atau dari pembakaran sampah menjadi daur ulang limbah.
Selain itu, profesi hijau juga mencakup beragam profesi yang telah ada – seperti buruh konstruksi, tenaga pengajar, arsitek, dan sebagainya – tetapi profesi ini “dihijaukan.”
Tidak kalah penting, profesi hijau memastikan pekerjaan yang layak dengan penawaran upah yang memadai, kondisi kerja yang aman, prospek karir yang wajar, dan hak-hak pekerja yang terjamin.
Unsur “layak” ini sangat krusial guna menghindari profesi ramah lingkungan yang kotor, berbahaya, dan bergaji rendah, sebagaimana kondisi terkini para pengangkut sampah, pemulung, dan sebagainya.
Merumuskan Strategi Awal Indonesia
Keuntungan profesi hijau memang terbukti dapat didayagunakan untuk membidik tiga target nasional di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun, pemerintah, kelompok bisnis, dan akademisi di Indonesia harus menyusun terlebih dahulu strategi bersama sebagai langkah awal yang perlu digiatkan.