Mohon tunggu...
Erick Hilaluddin
Erick Hilaluddin Mohon Tunggu... -

Peminat masalah pendidikan, sosial, politik, dan pemikiran keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Esensi Berhijrah

22 Oktober 2014   18:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi umat Islam akan memperingati Tahun Hijriyyah, tahun yang oleh sebagian kaum muslimin diidentikkan dengan tahun baru Islam. Disebut tahun Hijriyyah, karena peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah sekitar 15 abad lalu menandai awal penanggalan tahun tersebut. Selama kurun 13 tahun dakwah beliau di Kota Makkah tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan. Yang justru beliau hadapi adalah cercaan, hinaan, dan intimidasi dari kaum musyrikin dan kuffar Quraisy. Akibatnya,  perkembangan Islam di Makkah sangat lambat.

Oleh karena itu, Nabi diperintahkan oleh Allah meninggalkan kota kelahirannya Makkah dan hijrah ke Madinah yang kemudian dikenal dengan  Madinah al-Munawwarah (kota yang disinari cahaya keislaman). Di kota inilah Nabi dan para sahabat Muhajirin  mendapat sambutan yang hangat dari penduduk asli Madinah (sahabat Anshar). Di kota ini pula Nabi berhasil membangun masyarakat madani (civil society), yaitu sebuah potret masyarakat ideal (khaira ummah).

Kemudian, dari Kota Madinah ini juga, Nabi bersama para sahabatnya (Muhajirin dan Anshar) bangkit melakukan dakwah menyebarkan Islam. Akhirnya, dalam waktu yang relatif singkat, agama Islam berkembang secara meluas ke seluruh Jazirah Arab, serta mampu menembus berbagai pelosok dunia. Dengan demikian, maka peristiwa hijrah merupakan salah satu tonggak penting bagi perkembangan Islam. Oleh karena itu,  tidak mengherankan manakala Khalifah Umar menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan tahun baru Hijriyyah.

Esensi Hijrah adalah adanya keinginan kuat Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya untuk berubah; berubah dari masyarakat yang selalu ditindas, dizalimi, dan dianiaya, menjadi masyarakat yang bebas dan merdeka menjalankan ajaran agama yang mereka yakini tanpa penindasan, intimidasi, teror, dan beragam ancaman lainnya dari musyrikin Quraisy saat itu.

Peristiwa tersebut mengajarkan kita untuk tidak diam dan berhenti dalam kondisi yang sama sekali tidak memberikan peluang kepada kita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Nabi Muhammad saw. yakin betul kalau penolakan yang dilakukan oleh "borjuis" Quraisy pada waktu itu tidak akan menguntungkan masa depan dakwahnya. Maka Nabi pun mengambil inisiatif (tentu saja dibimbing oleh wahyu) untuk mengalihkan medan perjuangan dari Makkah ke Madinah.

Muhamad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan, dalam magnum opus-nya yang terkenal, Reconstruction of Religious Thought in Islam, pernah berkata bahwa hidup ini seluruhnya berisi perubahan. Tesis Iqbal ini senada dengan apa yang diungkapkan kiai mbeling, Emha Ainun Nadjib, dengan redaksi bahasa yang agak berbeda. Ia mengatakan bahwa esensi kehidupan adalah hijrah (perpindahan).

Dengan demikian, hijrah merupakan gerakan dan loncatan besar manusia yang meniupkan semangat perubahan dalam pandangan masyarakat. Pada gilirannya hijrah menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku (jumud) menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan.

Kalau kita sepakat dengan tesis kedua tokoh tersebutbahwa seluruh isi dunia adalah perubahan, maka yang kini kecil bisa menjadi besar. Yang sekarang kuat bisa menjadi lemah. Yang sekarang berkuasa akan menjadi yang dikuasai. Yang sekarang miskin bisa menjadi kaya. Yang sekarang pahlawan bisa menjadi "bajingan". Yang sekarang cantik bisa menjadi jelek. Dan masih banyak fenomena perubahan yang terjadi pada pelbagai aspek kehidupan yang tidak mungkin terekam di kertas yang kecil ini.

Karena dunia ini berisi perubahan, maka kehidupan dunia adalah kehidupan yang selalu bergerak dalam proses; "proses menjadi". Oleh karena itu, apa yang sudah ada di masa lalu sama sekali tidak berarti, dan bisa musnah oleh sesuatu yang kita lakukan saat ini. Dan apa yang kita lakukan saat ini juga tidak berarti apa-apa, jika esok kita melakuakan sesuatu yang bisa menghapuskan apa yang kita amalkan hari ini. Itu sebabnya, al-Quran tidak menyuruh kita untuk melihat ke belakang, tetapi menganjurkan agar pandangan kita senantiasa diarahkan ke masa depan. Adapun apa yang telah terjadi di masa lalu harus dijadikan pijakan untuk malngkah di masa yang akan datang. Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allahdan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang akan dilakukan untuk hari esok(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Al Hasyar[59]:18).

Jadi, kalau memang seseorang terus menerus bergerak dalam proses, maka apa yang dimiliki dan amalkan hari ini tidak bisa dijadikan ukuran bagi baik atau tidaknya kehidupan seseorang. Penentuannya adalah akhir kehidupan (maut) yang dengan itu tidak ada lagi yang disebut hari esok.

Agaknya pertandingan sepakbola sangat tepat untuk menggambarkan proses perubahan yang terjadi pada manusia. Satu tim belum bisa dikatakan memenangi pertandingan dan tim yang lain belum bisa divonis kalah, sebelum wasit yang memimpin pertandingan meniupkan peluit tanda pertandingan berakhir. Itu sebabnya, Islam melarang seseorang bersikap takabur dan menyombongkan diri dengan apa yang sekarang dimiliki dan diamalkan. Sebab jika kehidupannya belum berakhir, maka semua itu tidak bisa dijadikan penentu apa-apa. Sebaliknya Islam pun mengutuk sikap putus asa dan pesimistis karena hal tersebut merupakan wujud ketidakpercayaan terhadap perubahan yang sudah menjadi sunnatullah.

Jadi, yang terpenting dan paling menentukan seseorang pada kehidupan yang datang adalah titik akhir kehidupan yang dalam istilah keagamaan disebut husnul khatimah (baik akhirnya) dan su-ul khatimah (buruk akhirnya). Karena semua orang tidak tahu batas akhir kehidupannya, maka ia mesti berhati-hati menjaga amal baik yang telah dilakukannya selama ini agar tidak menjadi “hangus”. Dan bagi yang selama ini masih merasa berlumuran dosa, hendaknya ia bersegera bertobat sebab siapa tahu ia akan segera berpindah menuju alam selanjutnya.

Pertannyaannya adalah dari mana perubahan itu mesti dimulai? Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk melakukan perubahan, selama perubahan yang kita lakukan bisa dipertanggungjawabkan dan tidak keluar dari pakem yang telah ditetapkan Allah swt. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (Q.S.ar-Ra’d [13]:11).

Bukan rahasia umum, kalau Indonesia saat ini sedang berada dalam keterpurukan. Dan kondisi ini tidak akan berubah ke arah yang lebih baik apabila individu, sebagai elemen terkecil dari negara tidak berinisiatif untuk terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri.Wallahu a’lam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun