Mohon tunggu...
Eric Brandie
Eric Brandie Mohon Tunggu... Penulis - Sosiolog

Kajian realitas dan dimensi sosial Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Realitas Vs Golput

6 Desember 2022   16:13 Diperbarui: 6 Desember 2022   17:39 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegalauan langganan Partai Politik edisi 5 tahunan:

Bagaimana cara meraih suara lebih banyak lagi dari rakyat.

Muaranya:

Senantiasa berlomba-lomba peras otak dan strategi untuk meyakinkan para golputer yang notabene jumlahnya cukup besar di negara ini bahwa partai tersebut sangatlah layak untuk dititipi kepercayaan amanat rakyat.

Kelihaian mengemas kecap edisi 5 tahunan pun sepertinya sudah menjadi agenda tetap.

Menjadi kontradiksi ketika kesan yang sekian lama tampak adalah partai justru tampaknya minim kepekaan, kalah sensitif terhadap kegalauan yang menghinggapi kalangan golputer.

Selalu saja melalaikan evaluasi/introspeksi, bahwa sesungguhnya sikap golput menyeruak akibat pertunjukan perilaku-perilaku anomali tak kenal malu dari eksistensi para kader partai selama ini, tontonan terbuka bagi masyarakat di era virtual ini.

Sebut saja; Perilaku-perilaku korup para oknum kader yang tersebar di seluruh institusi negara, tak kalah mengejutkan pula wajah Parlemen yang jadi terkesan kebal malu dengan menolak tegas RUU Pemiskinan aset koruptor. 

Sikap-sikap yang akhirnya berbenturan keras dengan harapan besar yang dititipkan rakyat terkait penindakan tegas-keras terhadap para perampas hak-hak kesejahteraan rakyat.

Kian diperparah lagi oleh beberapa parpol beserta politisi-politisinya, dalam rangka meraup dukungan suara secara terang-terangan memainkan siasat picik kotor berupa politik identitas, tanpa sungkan mengusung isu-isu fanatisme keagamaan, menciptakan gap perpecahan bangsa.

Akhirnya tidak lagi mengherankan sikap acuh tak acuh parlemen terhadap problematika laten sosial memuakkan seperti aksi-aksi intoleransi yang tampak terus leluasa oleh para oknum tokoh dan ormas di berbagai tempat di tengah masyarakat plural kita.

Muakkah kita?

Wajar, telah sampai ke level ekstra muak malah.

Amat berkontradiksi jika sejenak kita mereview sejenak jauh ke belakang, yakni pada Desember 1912 di Bandung, 

berdirinya partai politik pioner di tanah air bernama Indische Partij oleh tiga orang tokoh nasionalisme tulen bangsa:

Ernest Douwes Dekker (Setia Budi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat.

Berdiri atas misi utama:

Mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang kala itu masih dalam penjajahan Belanda.

Senantiasa menggugah rasa patriotisme bagi semua golongan rakyat bangsa kita terhadap tanah air kita. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat berbagai bentuk upaya kongkrit yang dilakukan oleh Indische Partij, yaitu:

  • Memberantas agitasi kebencian antar agama
  • Meningkatkan pengaruh pro tanah air di pemerintahan
  • Memperjuangkan hak pribumi, dan memberantas kesombongan sosial

Tanpa mengurangi rasa hormat, tampak jelas perbedaan signifikan dari nilai-nilai perjuangan yang ingin dicapai oleh Indische Partij jika dibandingkan dengan eksistensi notabene parpol saat ini.

Mereka sungguh berasal dari semesta rakyat yang bermanifestasi dalam sebuah parpol, sungguh-sungguh mengupayakan perjuangan kongkrit demi kemaslahatan semesta rakyat serta bangsa Indonesia pada era hampir mustahil kala itu yakni era penjajahan Belanda.

Bukan demi jabatan-jabatan empuk di berbagai sektor pemerintahan yang kala itu sangat bisa mereka dapatkan jika saja bersedia berkompromi dengan penjajah saat itu. Tidak pula bagi misi kesejahteraan eksklusif primodialisme kalangan partai mereka semata.

Melongok ke masa kini,

ketika citra dan performa parpol masa kini masih saja tampak buram di mata rakyat, maka pada akhirnya bujukan-bujukan rutin 5 tahunan parpol tak ubahnya ibarat ajakan membangun istana pasir di tengah badai topan belaka.

Muaranya, sikap Golput memang bukanlah sikap frustasi kebuntuan atau melalaikan partisipasi pesta politik 5 tahunan,

melainkan konsekwensi logis dari rentetan panjang kekecewaan, melahirkan kritisme masyarakat dalam situasi dan kondisi yang semakin lama dipecundangi kian dewasa dan mawas dengan sendirinya.

Lalu kemana gerangan bangsa ini akan dibawa jika di alam Demokrasi tanah air kita lagi-lagi hanya didominasi oleh misi-misi eksklusif para parpol dan ambisi sepihak politisi-politisi semata?

Sebagai catatan,

Pemilu di negara kita telah berlangsung 12 kali dalam rentang selama 68 tahun yakni pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Dan kita sebagai masyarakat yang melek konstitusi juga paham bahwa secara de facto eksistensi parpol di negara ini terbilang ekstra signifikan, selain melalui parlemen turut serta juga melalui kader-kader yang bertengger di hampir seluruh lini institusi negara kita.

Tak terpungkiri, mulai dari senator-senator parlemen pusat/daerah, kepala-kepala daerah, pembuatan undang-undang negara, Anggaran Negara, pembangunan-pembangunan di berbagai daerah, hingga di level tertinggi yakni kepala negara semuanya merupakan domain mutlak partai politik.

Maka kembali mari kita pertanyakan lagi, mari kita review ulang kembali secara jujur dan konsekwen:

Selama rentang 68 tahun ini apakah sumbangsih signifikan parpol-parpol terkait perolehan kemajuan bangsa kita?

Betul bahwa secara eksplisit Politik itu tujuannya untuk meraih kekuasaan, namun yang akhirnya keliru adalah:

tujuan tersebut terhenti hanya cukup sampai di "meraih kekuasaan" saja.

Sebab sesungguhnya di dalam konteks Demokrasi, kekuasaan yang telah diraih tersebut WAJIB untuk dilanjutkan kepada tahapan berikutnya yakni "akselerasi" memajukan taraf kehidupan rakyat, mencipatakan "civil society" secara kongkrit dan nyata.

Tampaknya masih cukup banyak di antara para politisi parpol yang lupa atau bahkan lalai bahwa Demokrasi yang kerap digumamkan itu makna kesejatiannya adalah dari Rakyat, oleh Rakyat, untuk Rakyat.
Tidak terhenti cukup pada "diberikan kepercayaan" lalu stop memikul "oleh" dan "untuk rakyat" tesebut. Kurang peka, kurang kapasitas diri atau bahkan sibuk cari pulang modal dsb.

Maka tak heran persepsi yang justru dilihat/dirasakan oleh rakyat saat ini justru:

Dari rakyat, oleh rakyat untuk parpol.

Tentu semuanya ada sebab, premis tersebut tidak muncul dadakan atau liar begitu saja.

Sebagai contoh yang paling mudah sekali dilihat dan dirasakan:

Sudah menjadi rahasia umum di berbagai instansi negara umumnya profesional independen cukup mustahil jika harus bersaing peluang karir dengan profesional background partai di negara kita.

Sebab berjuang sendiri melawan primodialisme adalah mustahil.

Sehatkah iklim kompetisi seperti ini?

Membahas lebih lanjut tentang partai politik memang takkan pernah lepas dari fungsi dan tujuan utama kepartaian berdiri di tanah air kita.

Tidak akan pernah jauh-jauh dari seberapa sering parpol berkampanye atas nama rakyat dan seberapa besar bukti kongkritnya kemudian.

Atau tidak ada salahnya mari kita komparasi bersama dengan visi/misi Indische Partij yang notabene cukup sederhana itu:

Indische Partij

1. Memberantas sikap kebencian antar agama

2. Meningkatkan pengaruh pro tanah air di pemerintahan

3. Memperjuangkan hak pribumi, dan memberantas kesombongan

    sosial.

Notabene parpol-parpol saat ini:

1. Memberantas agitasi kebencian antar agama

    Terkesan masa bodo terhadap rasa kebencian antar agama.
    Terbukti, masyarakat Internasionalpun menyimpulkan bahwa

    aksi-aksi intoleransi bertajuk fanatisme keagamaan masih cukup

    rentan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

    Berimbas retaknya rasa persatuan-kesatuan di tengah semesta

    rakyat plural bangsa kita.

    Serta berdampak jelas pula terhadap iklim investasi dan usaha

    dalam negeri terkait rasa nyaman dan aman eksistensi perusahaan

    asing.

2. Pro tanah air atau Rasa cinta, bangga terhadap tanah air

    Tampaknya juga tidak terlalu diambil pusing oleh parpol-parpol saat     ini.

    Terbukti di tengah masyarakat kita justru cukup marak perilaku

    Memuja budaya negara asing entah dengan dalih apapun itu.

Sudah sewajibnyalah parpol-parpol tanah air secara sadar bahkan masif bersedia mengkampanyekan terus rasa bangga dan cinta tanah air kita sendiri Indonesia Raya ke tengah masyarakat luas NKRI.

Bukankah di Ibu Pertiwi ini terkandung ratusan budaya dan tradisi asli kita sendiri yang tak kalah menawan dibandingkan budaya timur tengah ataupun barat sana. Kemana perginya rasa pro dan cinta tanah air itu?

3. Memperjuangkan hak pribumi, dan memberantas kesombongan Sosial

Biarkan data dan realita yang berbicara.

Hotel Prodeo KPK, Kejaksaan RI marak dihuni oleh siapa saja?

Apakah oleh rakyat yang tengah kelaparan?

Apakah oleh rakyat yang tengah panik untuk membayar biaya sekolah?

Apakah oleh rakyat yang tengah meregang nyawa di rumah akibat tak mampu bayar rumah sakit?

Apakah oleh rakyat yang tengah kebingungan mencari pekerjaan layak seusai kuliah yang melelahkan?

Apakah oleh rakyat yang frustasi diganjal birokrasi sana-sini oleh karena minim koneksi dan tak mampu turut serta budaya

suap-menyuap?

Merenungi seluruh perjalan panjang bangsa kita, bersedia berkaca dari seluruh fakta dan realitas kehidupan semesta rakyat kita,

Tidaklah ada salahnya bagi parpol-parpol tanah air untuk bersedia sejenak berkontemplasi, evaluasi makna eksistensi secara tulus dan  legawa 

 

Sebelum lebih jauh sebagai disclaimer, tulisan ini bukanlah bertujuan membangun persepsi antipati terhadap parpol tanah air manapun juga, namun secara lugas ingin mengajak kita untuk sungguh-sungguh bersedia evaluasi, memikirkan kemaslahatan hidup rakyat, wibawa dan martabat bangsa besar kita.

Sebab episode drama-drama manipulasi atas nama kepentingan rakyat, kamuflase atas nama kepentingan bangsa rasanya sudah telalu panjang dan melelahkan, hingga bahkan sudah sampai kepada fase abnormal; jauh dari ambang batas kewajaran.

Data yang dihimpun dari KPU berikut adalah persentase partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu, mulai masa Orde Lama tahun 1955, Orde Baru tahun 1971 hingga 1997, dan era Reformasi dari 1999 sampai 2014:

1. Pemilu 1955 punya tingkat partisipasi pemilih 91,4% (golput 8,6%)
2. Pemilu 1971 punya tingkat partisipasi pemilih 96,6% (golput 3,4%)
3. Pemilu 1977 punya tingkat partisipasi pemilih 96,5% (golput 3,5%)
4. Pemilu 1982 punya tingkat partisipasi pemilih 96,5% (golput 3,5%)
5. Pemilu 1987 punya tingkat partisipasi pemilih 96,4% (golput 3,6%)
6. Pemilu 1992 punya tingkat partisipasi pemilih 95,1% (golput 4,9%)
7. Pemilu 1997 punya tingkat partisipasi pemilih 93,6% (golput 6,4%)
8. Pemilu 1999 punya tingkat partisipasi pemilih 92,6% (golput 7,3%)

9. Pileg 2004 punya tingkat partisipasi pemilih 84,1% (golput 15,9%)
Pilpres I punya tingkat partisipasi pemilih 78,2% (golput 21,8%)
Pillpres II punya tingkat partisipasi pemilih 76,6% (golput 23,4%)
10. Pileg 2009 punya tingkat partisipasi pemilih 70,99% (golput 29,01%)
Pilpres punya tingkat partisipasi pemillih 71,17% (golput 28,83%)
11. Pileg 2014 punya tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,11% (golput 24,89%)
Pilpres punya tingkat partisipasi pemilih mencapai 69,58% (golput 30,42%)

12. Sementara hasil hitung cepat LSI menemukan jumlah golput di pemilihan legislatif (pileg) 2019 jumlahnya lebih besar dari pilpres, yakni 29,68%.


Angka partisipasi tinggi oleh rakyat menunjukkan bahwa pemimpin atau wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu benar-benar hasil suara rakyat. Secara sadar dan rela Rakyat berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi dengan memberikan suara sebagai bentuk kepercayaan amanat.

Pembuktian nyata bahwa parpol sungguhlah jelmaan rakyat dan teruntuk bagi kebaikan semesta rakyat, bukan semata para paguyuban pemburu hasrat bertopeng rakyat, sejatinya adalah jawaban yang lama dinantikan rakyat utamanya kalangan golongan putih tanah air.

Maka niscayalah kepercayaan publik akan tumbuh kembali, bergandengan mesra dengan parpol-parpol tanah air membangun negeri, bersinergi mewujudkan Indonesia Raya yang nyata makmur penuh kedamaian, sebagaimana di negara-negara maju lainnya secara pro aktif penuh kesadaran sendiri rakyatnya bersinergi epik terhadap partai politik di negara mereka.

Eric Brandie

(Sosiolog)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun