Mohon tunggu...
Erick Sowong
Erick Sowong Mohon Tunggu... -

Pekerja di bidang Komunikasi Pemasaran, dan memiliki perhatian yang tinggi akan sejarah, politik, serta pemasaran secara umum. Dan karena menyadari bahwa setiap manusia diciptakan untuk memuliakan Pencipta-NYA, ia pun berusaha melaksanakan tujuan penciptaan dirinya tersebut dengan usaha yang keras.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dan Hewan

11 Juli 2010   17:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:56 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tahu arti kata hewan? Pernah memperhatikan hewan? Mungkin kucing atau anjing. Kedua hewan ini buang hajat sembarangan, kencing sembarangan, reproduksi di sembarang tempat dan sembarangan lawan jenis. Hewan ini melakukan hal-hal demikian karena menuruti hasrat dagingnya. Kalo lapar ya makan, kalo kebelet buang hajat segera dilakukan.

Mengapa? Karena hewan tidak mempunyai akal budi seperti manusia. Dengan akal budi yang diberikan TUHAN, seharusnya manusia dapat menundukkan hasrat dagingnya dengan berpikir jernih menggunakan akal budi. Berbeda dengan hewan, karena tidak memiliki akal budi, hewan segera meresponi stimulus hasrat dirinya dengan tindakan; tanpa menundanya atau menahan diri. Karena hewan tidak memiliki akal budi.

Sebenarnya jika kita dalam melakukan suatu tindakan karena bersumber dari stimulus hasrat daging, kita tidak berbeda dengan hewan. Parahnya banyak manusia yang hidupnya setiap hari memuaskan hasrat dagingnya yang tiada habisnya ini tidak sadar dengan keadaan dirinya. Mungkin karena dibalut dengan sederet gelar kehormatan atau bertumpuk-tumpuk deposito dan surat-surat berharga. Atau mungkin juga karena terlalu putus asa akan pemenuhan 3 hal pokok jasmani (sandang, papan, pangan), yang kerap kali sukar didapat, sehingga menjadi pembenaran untuk melakukan apa pun demi hal ini. Nah situasi menghamba pada keinginan daging dan hasrat diri ini jika tidak disadari, maka akan menuju kondisi matinya akal budi.

Jadi, dengan modal yang diberikan TUHAN ini, seharusnya kita menjadi bijaksana dalam menjalani hidup. Masalahnya adalah bagaimana mendayagunakan akal budi ini semaksimal mungkin. Satu-satunya cara agar akal budi kita bekerja maksimal adalah dengan memburu pengenalan dan pemahaman yang benar akan TUHAN, Sang Sumber Kebijaksanaan. Itu hal pertama yang harus menjadi keinginan kita.

Sumber artikel: http://belajarngobrol.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun