"Lima pagi menanti, namun Ucok tak kunjung menghampiri. Barista berdarah Thailand itu bertanya-tanya dalam hati, kemana gerangan pelanggan favoritnya itu. Rutinitasnya, ketika melihat wajah Ucok dari balik jendela kaca, ia bergegas membuat "skinny latte no sugar". (kedai kopi di sisi Collins st)
Melbourne boleh dibilang memiliki "nilai merah" dalam menghadapi pandemi dibandingkan kota-kota lain di Australia. Konsekuensinya, Melbourne memiliki hari lockdown terlama di Australia. Tentu ini memberi dampak negatif bagi tatanan sosial mantan kota ternyaman sedunia itu.
Saat dunia malam Wuhan sudah mulai gemerlap, Melbourne masih gelap. Melbourne bahkan punya jam malam, jam dimana orang-orang tidak boleh keluar rumah kecuali untuk hal essential (ke dokter, bekerja). Ada denda besar yang siap menanti bagi penduduk yang tak tahan aturan. Melburnian, begitu sapaan akrab warga Melbourne.
Kehidupan Pelajar Indonesia selama pandemi
Setiap tahunnya ada sekitar 8500 pelajar Indonesia yang belajar di Australia. Pelajar Indonesia yang belajar di Australia bahkan lebih banyak daripada yang belajar di Eropa. Mungkin karena jarak Indonesia-Australia yang tidak terlalu jauh jadi salah satu alasannya.
Tidak semua pelajar Indonesia datang dari kalangan atas, beberapa diantaranya membiayai sekolahnya sendiri. Pemerintah Australia memang mengizinkan pelajar internasional untuk bekerja paruh waktu 20 jam tiap minggunya untuk men-support kehidupan mereka selama belajar di Australia.
Pandemi memang jahat, ia memisahkan manusia dari hakikatnya. Social distancing jadi gaya hidup masa kini, namun itu bukan bagian dari budaya kami. Kami terbiasa jabat tangan, bahkan berpelukan ketika bertemu satu sama lain.
Ia juga bertanggung jawab atas banyaknya industri yang tutup saat ini, atas orang-orang yang kehilangan pekerjaan, atas pelajar internasional yang mungkin sudah kembali ke negri karena tak mampu membiayai diri di kala pandemi.
Sebut saja Lale, pelajar asal Menado yang sekolah jurusan Commercial Cookery di Melbourne. Sebelum sekolah, ia ke Australia dengan Working and Holiday Visa (WHV). Semasa WHV, ia mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk sekolah ketika visa WHV-nya habis.
Kini ia sekolah dan bekerja sebagai part time chef salah satu restoran beken di South Yarra. Semenjak pandemi, jam kerjanya berkurang jauh di banding biasanya, sudah 5 bulan ia bangun siang nyaris tak ada kerjaan, sekolahnya pun terpaksa tutup sementara. Miserable mungkin kata yang pas untuk menggambarkan kondisi pelajar Indonesia yang terdampak saat pendemi.
Hikmah di Balik Pandemi
Mungkin sebagian dari kita terlalu sibuk mengejar dunia. Pandemi ini momennya berhenti dari hiruk pikuk duniawi, menggali diri, melihat potensi diri. Kita tidak akan pernah tau seberapa capable diri kita melakukan sesuatu jika tidak pernah memberi waktu untuk itu.
Pandemi juga berhasil membuat kita lebih peduli terhadap sesama. Setidaknya itu yang terlihat di Melbourne. Bantuan bahan makanan dari KJRI, skema bantuan dana dari pemerintah Victoria, dari organisasi Australian Red Cross, bahkan bantuan keringanan biaya rent. Semua ini membuat kita merasa tak sendiri dalam menghadapi pandemi.
Kita butuh paling tidak satu teman untuk membuat diri tak kesepian. Telepon teman lamamu, tanya apakah dia baik-baik saja, bagaimana keluarganya. Saling menguatkan, semoga pandemi cepat berlalu dan kita makin kuat.Â
Melbourne, 250920
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H