"Pemetik tomat bergaji 60 juta"
Demikian kira-kira bunyi headline yang mewarnai dunia daring Indonesia beberapa pekan terakhir. Netizen dibuat penasaran dengan pernyataan barusan, saudara saya asal Medan sampai membagikan tautan berita dari media "televisi masa kini".Â
Sebagai syarat 2nd year visa (subclass 462)
Tiap tahunnya ada ribuan backpacker bermigrasi ke Northern, Australia, untuk tinggal dan bekerja di beberapa bidang pekerjaan tertentu sebagai syarat 2nd year visa. Salah satu bidang yang banyak diminati para backpacker adalah farming alias bertani. Pemerintah Australia memberi syarat kepada para backpacker untuk tinggal setidak-tidaknya 88 hari di daerah pelosok Australia, daerah dengan sedikit ketersediaan transportasi publik, daerah dengan pemandangan hutan dan kebun, lokasi paling indah untuk mengamati terbitnya matahari, daerah tempat bintang tak sungkan menampilkan kemolekannya tiap malam, daerah yang jauh dari ingar-bingar kehidupan kota besar nan membosankan.Â
Bener-bener, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa nantinya saya akan bekerja sebagai petani di negeri orang. Hal ini mengingatkan saya kepada mendiang Opung yang bekerja sebagai petani, ternyata seru juga ya pung!
Kebun sebagai ruang kerja
Tiap pagi, alarm bertugas membangunkan kami tepat pukul 4.30 pagi. Tak jarang, saya mendahului alarm. malah kadang-kadang sengaja bangun untuk menekan tombol snooze dan menyetingnya selama 120 menit! Menyiapkan segala keperluan untuk bekerja sudah menjadi rutinitas setiap pagi, mulai dari lunch box, minuman dingin, topi, sarung tangan, seragam lengan panjang, sunblock juga perintilan-perintilan pendukung pekerjaan.Â
Semua siap, tinggal menunggu jemputan di depan rumah, tiap hari ada antar jemput untuk para pekerja dengan tarif $5 pulang-pergi. Waktu menunjukkan pukul 5 lebih sedikit, jemputan saya datang. Ketika membuka pintu mobil, bau minyak kayu putih menghampiri hidung. Penggunanya bernama Gisella, ia pemegang Working Holiday Visa asal Jakarta. Dialah yang setia menjemput setiap pagi.Â
Perjalanan dari rumah ke tempat kerja memakan waktu sekitar 30 menit, tidak ada transportasi publik yang mengarah ke farm, oleh karena itu mobil menjadi kebutuhan bagi kami. Sesampainya di TKP, kami langsung mengambil posisi, farm yang berlokasi di Bowen, Queensland, ini menggunakan big machine untuk memanen tomat, cara kerjanya sederhana, para pemetik duduk di sebelah kiri dan kanan sambil memanen tomat sembari mesin berjalan menyusuri baris-baris kebun.Â
Mesin dikemudikan oleh satu orang driver, di atas mesin juga ada petugas yang bertugas untuk menyortir tomat. Tomat yang terlalu matang atau busuk dibuang, sementara yang bagus diteruskan ke dalam penampungan tomat di dalam mesin.Â
Aktivitas ini terus kami lakukan hingga penampungan penuh. Jika penampungan sudah terisi penuh, maka saatnya untuk memindahkan muatan tomat ke dalam bin dan dibawa ke shed untuk packing serta didistribusikan ke konsumen. Sementara big machine memindahkan muatan, pekerja bisa beristirahat sejenak untuk sekedar mengendurkan otot sebelum kembali mengisi muatan mesin.
Sejujurnya, memetik menggunakan mesin tidaklah terlalu capek secara fisik, malah berasa naik odong-odong, atau naik wahana di dunia fantasi. Namun tantangannya, ketika pohon tomat terlalu lebat dan buahnya banyak banget, pemetik harus secepat mungkin membuka semak-semak dan menjangkau tomat sebanyak mungkin, karena kerjaan ini dibayar dengan sistem kontrak. Jika tidak cekatan, pendapatan kita akan minim!
Ada perasaan puas ketika kami bisa menjangkau semua tomat yang terlihat tapi ada kalanya pas lagi asik-asiknya metik, gak taunya tomat busuk yang dipetik. Jam 11 tiba, berarti waktunya makan siang, coca-cola dingin dan bekel makan siang siap disikat! Memang paling enak minum soft drink dingin pas matahari lagi tinggi-tingginya.
Duh, waktu makan siang abis, waktunya kembali ke kenyataan bahwa kami harus memetik ketika matahari tepat di atas kepala dan serius memaparkan panasnya. Tiba-tiba terdengar alunan musik dangdut dari bangku sebelah, dan yang nyetel bukan orang Indonesia. Wow, ini di Aussie apa di Pantura dah?! Kadang kala memang ada yang membawa bluetooth speaker dan menyalakan musik agar tidak terlalu sumpek ketika kerja.
Tak teras (padahal berasa banget), matahari sudah turun, waktunya pulang. Perkerjaan di farm memang terbilang berat, terutama bagi mereka yang belum pernah bekerja fisik sebelumnya. Terakhir, biasanya musim panen berakhir dalam waktu lebih kurang 3 bulan.
Meski didominasi oleh orang Indonesia, ada juga yang berasal dari Malaysia, Korea, Jepang, China, Chile, Swedia, Jerman, Itali, Inggris, Prancis dan juga penduduk asli Australia.
Dibayar dengan sistem "borongan" (contract)
Singkatnya, dalam satu hari tiap orang bisa mengantongi rata-rata $80 - $180 atau $700-$900 seminggu atau $3600 dalam sebulan. Kalo dollar Australia dipukul rata Rp 10.000 per $1 maka para pemetik bisa mendapatkan Rp 36.000.000/ bulan.Â
Untuk ukuran gaji Indonesia ini sih udah gede banget cuy! Tentu ini merupakan hitungan kasar berdasarkan informasi dari teman-teman yang bekerja lama di tomat. Pengalaman yang saya tulis ini hanya bersifat sharing bukan untuk menyalahkan berita yang beredar di luar sana.
(Melbourne, 11012018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H