Merasakan kearifan lokal yang sarat akan budaya Jawa merupakan kesan pertama yang saya rasakan seraya menginjakkan kaki di Desa Wisata Penting Sari. Desa yang akrab disapa Dewi Peri ini terletak di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada lawatan terakhir, saya bertemu Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Lereng Merapi yang juga merupakan Ketua Dewi Peri, Ir. Doto. Dalam pertemuan kali ini saya bermaksud untuk mengumpulkan informasi tentang latar belakang berdirinya Dewi Peri untuk keperluan penulisan artikel mengenai Dewi Peri sebagai bentuk apresiasi saya akan desa ini. Maka pada 4 Maret 2016, pukul 08.57 di depan kediaman Ir. Doto, beliau menuturkan perjalanan panjang sang Dewi Peri.
Sekilas tentang Dewi Peri
Desa Wisata Penting Sari adalah desa biasa yang diubah sedemikian rupa hingga menjadi desa wisata. Dewi Peri menawarkan atraksi wisata yang berbasis pada kehidupan masyarakat desa sehari-hari. Menjadi desa wisata artinya menggunakan sebagian atau seluruh desa untuk dikelola secara komersial dan profesional untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Dewi Peri hadir pada April 2008 dan mulai dikelola secara profesional dan komersial pada tahun 2009, setelah gelar Desa Wisata disandang desa ini maka masyarakat pun cepat belajar dan mempersiapkan diri, dukungan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam bentuk pembinaan-pembinaan juga diberikan.
Damainya berada di Dewi Peri
Hamparan pepohonan hijau nan rindang adalah pemandangan yang disuguhkan ketika pertama kali memasuki lokasi Dewi Peri, Desa yang terletak dibawah kaki Merapi memiliki suhu yang sejuk dan segar dengan tanah yang subur dan tanaman yang tumbuh subur sebagai ciri khas dataran tinggi. Wisatawan yang datang akan disambut dengan tarian “Sugeng rawuh” yakni, tarian penyambutan yang ditampilkan oleh Punokawan ketika ada wisatawan yang datang dan akan menjadi bagian dari desa meski hanya beberapa hari saja. Wisatawan yang datang dan ingin menginap di desa akan dititipkan oleh “induk semang” dan diizinkan untuk tinggal di rumahnya sesuai dengan waktu yang diinginkan.
“ Semua ini dikerjakan oleh warga, mereka harus berperan sesuai dengan kemampuan masing-masing, saya bisa menyediakan fasilitas rumah saya menjadi homestay, saya punya keterampilan bermain kesenian, saya punya keahlian memasak, saya punya sawah, semua itu kami jadikan aset bersama, sehingga yang merencanakan mereka, yang melakukan mereka dan hasilnya juga untuk mereka.”Ungkap Ir. Doto. Konsep berdiri dikaki sendiri (berdikari) dan gotong royong diusung oleh masyarakat desa, sungguh menarik.
Untuk menjalani aktivitas di desa, kami dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok akan di pisah untuk melakukan aktivitas tertentu, pembagian aktivitas akan dilakukan oleh pemandu lokal, contoh: kelompok A akan belajar membatik sementara kelompok B akan belajar bermain gamelan, setelah selesai kelompok ini akan bergantian, begitu seterusnya.
Setiap aktivitas yang dilakukan di desa akan memberikan kesan tersendiri bagi kami yang merasakan. Pasalnya, aktivitas semacam ini jarang bahkan hampir tidak pernah kami lakukan, khususnya mereka yang lahir dan besar di kota. Aktivitas ini cocok untuk semua umur, bagi anak-anak yang belum pernah merasakan asik nya bermain lumpur, main di sawah dan mandi di kali yang airnya jernih, maka inilah saatnya, bagi orang tua aktivitas ini ternyata menjadi sarana nostalgia kehidupan kecil mereka, bagi beberapa diantaranya menjadi pengalaman baru yang berharga.
Berwisata di Dewi Peri tergolong sebagai wisata alternatif, biasanya orang cenderung melakukan wisata statis yakni, melihat, menonton dan mengapresiasi. Wisata alternatif berarti melakukan atau terjun langsung pada atraksi wisata seperti: bertani, beternak, membatik, bermain gamelan dsb. yang akan membuat kehidupan sosial lebih menarik. Hal ini juga yang membuat wisatawan yang datang terkesan sehingga ada kesan bahwa wisatawan betah dan hendak kembali lagi.