Budaya membaca di Indonesi sangat rendah mulai dari kalangan siswa hingga mahasiswa. Mereka seringkali menelan informasi mentah yang tidak dikaji lebih lanjut. Krisis ini sudah ditinjau dari berbagai aspek, tetapi Indonesia tetap berada di kategori rendah. Krisis budaya membaca juga dipengaruhi oleh pendidikan yang tidak merata sehingga tenaga pengajar tidak optimal, cepatnya arus globalisasi dengan penyebaran hoax yang tidak bisa dikendalikan, rendahnya minat baca, rendahnya tingkat kesadaran ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Pada masa era globalisasi menguasai teknologi informasi adalah suatu keharusan mendasar untuk membentuk perilaku manusia. Selaras dengan jurnal (Saepudin, 2015) bahwa minat membaca adalah faktor yang penting agar seseorang tertarik membaca bahkan dapat memperluas ilmu pengetahuan. Jika motivasinya sudah maksimal tetapi minat baca kurang, maka seseorang tidak akan tergerak untuk membaca. Seseorang yang harus terhadap bacaan serta berkeinginan kuat untuk melakukann kegiatan membaca bisanya disebut dengan minat baca.
Beberapa Study riset yang membuktikan bahwa budaya membaca di Indonesia tergolong rendah. Pertama berdasarkan PIRLS (Progress International Reading Literacy Study) pada tahun 2011 dijelaskan bahwa, Indonesia menduduki urutan ke-45 negara dari 48 negara, skor yang diperoleh Indonesia yaitu 428 dari skor rata rata 500 pada aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Kedua berdasarkan PISA (Programmme for International Student Assesment) pada tahun 2009 dijelaskan bahwa Indonesia menduduki urutan ke-57 dari 65 dengan memperoleh skor yaitu 396 dari skor rata rata 493.
Pada tahun 2012 dalam tinjauan PISA peringkat Indonesia turun menjadi ke-64 dari 65 dengan skor 396 dari skor rata rata 496. Berdasarkan data tersebut kondisi Indonesia mengenai budaya membaca sangat memprihatinkan. Hal ini akan berpengaruh kepada mutu pendidikan di Indonesia. Jika budaya membaca di Indonesia tingi maka tingkat kecerdasan juga akan meningkat. (Hidayah, 2017) Ketiga berdasarkan dari Study IEA (International Association for the Evalution of Education Achievermen) di Asia timur. Indonesia memperoleh tingkat terendah di bawah Filipina, pada kategori minat baca anak. Indonesia meraih skor 51,7 sedangkan Filipina skor 52,6. Kemampuan anak di Indonesia dalam menguasai bahan bacaan rendah yaitu hanya 30% (Setyawatira, 2009). Ke Empat berdasarkan laporan UNDP pada tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” menyatakan bahwa pada aspek pembangunan manusia di Indonesia menempati urutan 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi.
Negara maju memiliki budaya membaca yang tinggi sehingga budaya membaca menduduki posisi yang penting untuk kemajuan suatu bangsa. Negara Indonesia harus memperbaiki budaya membaca jika ingin menjadi negara yang maju. Menurut (‘JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya’, 2015) di era globalisasi negara yang maju harus menguasai IPTEK agar dapat negara dapat bersaing di ekonomi pasar bebas. Oleh karena itu pendidikan berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan (Suryana, 2020). Sehingga melahirkan generasi muda yang berpotensi untuk merealisasikan cita cita bangsa. Generasi ini nantinya di bentuk agar sadar kemajuan teknologi dan kita sebagai negara yang tertinggal harus mengejar ketertinggalan tersebut. Dalam (Suryana, 2020) menyatakan bahwa Pendidikan nantinya akan melahirkan manusia yang memiliki visi dan idealisme yang bersumber pada ideologi negara Indonesia.
Menurut (Suryana, 2020) Krisi pendidikan harus diatasi dengan upaya kinerja. Pertama pemerataan dan perluasan akses pendidikan. kedua peningkatan mutu pendidikan, relevansi, dan daya saing. Ketiga penataan tata kelola akuntabilitas serta citra publik. Keempat peningkatan pembiayaan. Sebelum pemerintah dan elemen masyarakat membentuk upaya kinerja untuk memperbaiki budaya membaca, maka perlu mengetahui sebab rendahnya minat baca di masyarakat Indonesia (‘JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya’, 2015). Memaparkan beberapa hal yang menyebabkan minat baca di indonesia tergolong rendah. Pertama guru pada elemen pemerintah dan swasta kurang memotivasi siswa untuk membaca buku. Kedua orang tua kurang memperhatikan anak serta tidak memberi dorongan agar bisa mengutamakan membeli buku dari pada mainan. Keetiga dalam hal jual beli media penerbit memberi harga tinggi kepada buku yang bermutu tinggi. Keempat pengarang, penyadar penerjemah semakin menurun karena tidak ada royality dan masih terkena PPH. Kelima perpustakaan umum terlalu rendah dan di bebrapa daerah masih belum tersedia.
Rendahnya tingkat Pendidikan di Indonesia mempengaruhi budaya membaca di masyarakat. Dalam peraturan Undang Undang Republik Indonesia Nomer 43 pada tahun 2007 tentang perpustakaan menyatakan bahwa budaya membaca dilakukan melalui keluarga, pendidikan dan masyarakat. Pemerintah juga berupaya dalam mengatasi minat baca di Indonesia karena pemerintah bertindak sebagai pihak yang utama dalam hal tanggung jawab, tidak hanya itu pustakawan harus melakukan kinerja yang maksimal (Ruslan & Wibayanti, 2019). Pernyataan rendahnya tingkat Budaya membaca juga selaras dengan data UNESCO yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia berada digolongan rendah dalam kebiasaan membaca, hampir 1:1000 masyarakat indonesia yang gemar membaca (Hidayah, 2017).
Pemerintah berupaya mengatasi krisis budaya membaca di Indonesia. Pemerintah menjadi tanggung jawab utama tidak henti hentinya membuat program yang bertujuan agar kemampuan masyarakat di Indonesia meningkat khususnya pada siswa ataupun siswi. Menurut (Suryana, 2020) dengan mengamati isi renstra depdiknas pada tahun 2005 -2009 dalam rangka komitmen global yang di arahkan guna mempercepat sasaran konveksi hak hak anak (Convention on The Rights of the Child) yang menyatakan bahwa negara di dunia wajib melindungi dan melaksanakan hak anak mengenai pendidikan dengan diharuskannya wajib belajar bagi siswa di pendidikan dasar bagi semua elemen masyarakat secara bebas dan hal ini di perkuat oleh konvensi mengenai hak asasi manusia yang biasa disebut HAM menyatakan bahwa Setiap elemen masyarakat berhak mendapatkan pendidikan berhak bebas dari biaya terutama pada pendidikan dasar, pendidikan dasar ini bersifat wajib dan juga pada pendidikan teknik, profesi serta pendidikan yang lebih tinggi wajib bersifat terbuka kepada siapapun yang ingin memasukinya berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pemerintah dalam memenuhi komitmen di bidang pendidikan, pemerintah terus melakukan gerakan yang bertujuan agar budaya membaca di Indonesia meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia mengenai krisis budaya membaca. Indonesia perlu evaluasi pada aspek pendidikan terutama di bidang minat baca masyarakat Indonesia. Indonesia harus menerapkan sistem serta program yang efisien sehingga bisa membangkitkan minat baca masyarakat. Penelitian ini menggunakan beberapa referensi jurnal yaitu 14 jurnal nasional. Jurnal yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal terbaru dari tahun 2009 hingga 2022. Penelitian ini menggunakan jenis penelitain yang memaparkan beberapa data dari study literatur. Teknik yang digunakan yaitu mengumpulkan data dari beberapa jurnal, menganalisis data dari jurnal tersebut, dan menyimpulkan data. Desain penulisan penelitian ini yaitu data data yang telah terkumpul akan ddiuraikan dengan metode kualitatif deskriptif dan tabel sehingga pembaca dapat memahami tujuan dan kesimpulan.
Krisis budaya membaca yang hingga saat ini masih tergolong tinggi. Krisis budaya ini tidak sepenuhnya berakar dari nenek moyang tetapi minat baca juga terkikis oleh globalisasi. Membaca tergantikan dengan game hingga tanyangan film. Dalam jurnal (Kasiyun, 2015) dijelaskan bahwa tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita yaitu menyimak dan membaca. Contohnya pada masyarakat dahulu, khususnya Jawa dapat tidur malam untuk menyaksikan pagelaran wayang, jika membaca masyarakat sering bosan dan tidak melanjutkan aktifitas membaca mereka. Jika dilihat lebih jauh, pada saat penjajahan hanya kalangan tertentu yang dapat menuntut ilmu.
Pada tahun 1848 setelah Politik Etisch pemerintah belanda mendirikan pendidikan formal untuk masyarakat Indonesia. Pada tahun 1960 hingga 1970 pemerintah mengadakan pemberantasan buta huruf kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia. Pada tahun 1960 minat baca pada generasi penerus lebih membaik dari pada tahun sebelumnya tetapi masih pada bacaan ringan. (Kasiyun, 2015) Bangsa maju selalu identik memiliki masyarakat yang mempunyai budaya membaca tinggi. Maka dari itu budaya membaca menjadi tolak ukur serta penunjang agar bangsa tersebut bisa maju serta dapat bersaing dengan negara lainnya (‘No Title’, 2020).
Dalam menganalisis minat baca indonesia pada penelitian ini kami menggunakan studi literatur dari beberapa jurnal. Salah satu tempat yang sangat berpengaruh pada minat baca masyarakat yaitu sekolah. Lembaga yang bertanggungjawab yang diharapkan bisa mewujudkan budaya minat baca meningkat dan memfasilitasi siswa saat belajar bisa disebut dengan sekolah (Sholihat, Halidjah and Kresnadi, 2020).
Pada jurnal (Saepudin, 2015) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung dengan metode sequential exploratory. Jurnal ini membuat suatu skala pengukuran.
Pada jurnal ini berdasarkan indikator ketersediaan fasilitas membaca, pemanfaatan bahan bacaan serta kebiasaan membaca Perhitungan minat baca di Kabupaten Bandung dengan melihat fasilitas membaca dengan skor 61 dengan pemanfaatan bacaan dengan skor 52,298 dan kebiasaan membaca dengan skor 59,77 sehingga diperoleh total 173,558 dibagi 3 maka skor indeks baca masyarakat di Kabupaten Bandung dengan skor akhir 57, 852. Hal ini menyatakan bahwa di Kabupaten Bandung termasuk kategori cukup dengan nilai 57, 852.
Pada Jurnal (Rizki Desta Utami, Dwi Cahyadi Wibowo, 2018) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 01 Belitang Purwanto dengan metode survei. Berdasarkan hasil angket ada beberapa indikator minat membaca. Pertama, perasaan senang membaca buku diperoleh hasil 88,25%. Kedua, kebutuhan terhadap buku bacaan memperoleh hasil 89%. Ketiga, ketertarikan terhadap buku memperoleh hasil 83,75%. Keempat, keinginan membaca buku memperoleh hasil 85,5%. Kelima keinginan mencari bacaan buku memperoleh hasil 81,33%. Presentase dari keseluruhan indikator siswa di Sekolah Dasar negeri 01 Belitang mempunyai minat baca yang baik.
Pada Jurnal (Ruslan & Wibayanti, 2019) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di Perpustakaan SDN 16 Pulau Rimau dengan metode kualitatif deskriptif. Hasil wawancara pengelola perpustakaan dengan Ibu Damayanti bahwa minat baca siswa masih tergolong rendah. Hal ini mengacu pada kunjungan siswa di perpustakaan SDN 16 Pulau Rimau. Perpustakaan SDN 16 Pulau Rimau harus dikelola dengan baik seperti sistem pencarian bacaan dengan komputer, memberikan suasana yang nyaman dan menarik.
Pada jurnal (Chandra et al., 2021) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan pada anak khususnya kelas dua sekolah dasar di Provinsi Sumatra Barat dengan metode kualitatif dengan pendekatan pendekatan grounded teori yaitu data collection, coding, theoretical sampling, dan theory. Ada beberapa aspek yang digunakan dalam jurnal ini yaitu Pertama membaca memperhatikan penggunaan jeda. Kedua membaca memperhatikan penggunaan tanda baca. Ketiga membaca memperhatikan keberadaan frase. Keempat membaca memperhatikan penggunaan 1intonasi. Kelima membaca memperhatikan penggunaan ekspresi.
No
Aspek
Total
Ada
%
Tidak
%
Membaca memperhatikan penggunaan
6
42,86%
8
57,14%
Membaca memperhatikan penggunaan tanda baca
9
64,29%
5
35,71%
Membaca memperhatikan keberadaan frase
4
28,57%
10
71,43%
Membaca memperhatikan penggunaan intonas
8
57,14%
6
42,86%
Membaca memperhatikan penggunaan ekspresi
1
7,14%
13
92,86%
Jumlah
28
200
42
300
Rata-rata (%)
40
60
Dalam beberapa aspek yang digunakan dalam jurnal, hasil observasinya mengatakan bahwa siswa baik dalam kemampuan membaca lancar dengan memperhatikan tanda baca dan intonasi. Hal ini menyatakan bahwa sekolah dasar di Provinsi Sumatra Barat masih perlu banyak penanganan dalam minat baca pada anak.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Peraturan Mentri nomor 23 pada tahun 2013 membuat gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan generasi penerus dengan informasi melalui buku, majalah, surat kabar serta perangkat baca lainnya (Muhammad, Rahmat and Ganeswara, 2020). Dalam gerakan ini seharusnya setiap individu juga sadar akan kebudayaan membaca karena budaya membaca menjadi point penting untuk kemajuan bangsa (‘JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya’, 2015).
Program budaya literatur sekolah. Kegiatan ini menciptakan masyarakat agar gemar membaca, menulis, menyimak, serta berpikir kritis di lingkungan sekolah rumah bahkan sosial. (Hidayah, 2017) Hal ini selaras dengan (‘JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya’, 2015) yang menyatakan bahwa Meningkatnya minat baca akan memperbaiki kualitas sumberdaya manusia. Guru dan pustakawan menjadi ujung tombak dalam meningkatkan minat baca masyarakat. Perpustakaan bukan lagi menjadi kosumsi utama bagi siswa maupun mahasiswa karena dengan adanya media sosial kita dapat mencari literatur dengan mudah dan cepat. Oleh karena itu setiap elemen bangsa harus berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan minat baca.
Pada Jurnal (Saadati and Sadli, 2019) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 01 Kauman Kota Malang dengan metode kualitatif deskriptif ada dua cara yaitu dengan pengumpulan data (observasi, wawancara dan dokumentasi) dan analisis data (Reduksi data, menyajikan data, penarikan kesimpulan dan verifikasi). Berdasarkan hasil pengamatan penelitian di Sekolah Dasar Negeri 01 Kuman Kota Malang Mereka terlihat aktif, semangat, senang serta antusias ketika mengikuti program literasi membaca.
Pada jurnal (Sholihat, Halidjah and Kresnadi, 2020) dijelaskan bahwa penelitian ini dilakukan pada siswa kelas 4 SD Negeri Kutoharjo 02 Tahun Ajaran 2019/2020 dengan populasi 28 siswa. Pada program gerakan literati sekolah yang dirancang oleh pemerintah pada jurnal ini dilakukan membaca 15 menit sebelum kegiatan dimulai. Gerakan ini membuahkan hasil yang maksimal, hal ini dapat dilihat dari antusias siswa mengunjungi perpustakaan sekolah.
Pada Jurnal (Muhammad, Rahmat and Ganeswara, 2020) dijelaskan bahwa penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pelaksanaannya dilakukan dalam wawancara kemudian pengamatan dilapangan, dan pengumpulan data. Responden dari jurnal ini dapat disimpulkan bahwa setiap hari responden meluangkan waktu untuk membaca buku sebelum pembelajaran dimulai minimal 60 menit setiap harinya. Pada program gerakan literati sekolah yang dirancang oleh pemerintah membuahkan hasil yang maksimal. Pada jurnal ini menyatakan bahwa responden bisa mengambil nilai positif dan memotivasi dalam buku yang mereka baca.
Dalam krisis minat baca dii Indonesia memiliki faktor penghambat dan pendukung. Menurut jurnal (Rizki Desta Utami, Dwi Cahyadi Wibowo, 2018) ada beberapa faktor yang menjadi penghambat serta pendukung minat baca pada siswa. Faktor penghambat yaitu guru masih kurang menguasai minat atau keinginan siswa, fasilitas sekolah kurang mendukung dan guru kurang penguasaan pada metode yang diinginkan siswa. Kemudian di pertegas oleh jurnal (Tahmidaten and Krismanto, 2020). Pertama, adanya perbedaan persepsi antara guru dan siswa. Kedua kemampuan membaca masih dipersepsikan tanggungjawab mata pelajaran. Ketiga pembelajaran belum memanfaatkan model, metode, strategi, dan media yang beragam. Keempat pada bahan bacaan masih di keterampilan berpikir tingkat rendah. Kelima sarana dan prasarana masih belum berkembang. Faktor penghambat juga dikemukakan oleh (Ruslan & Wibayanti, 2019) ada beberapa faktor yaitu foktor internal seperti perasaan, perhatian, dan motivasi siswa. Jika faktor eksternal dipengaruhi oleh guru, lingkungan, keluarga dan fasilitas.
Dalam jurnal (Rizki Desta Utami, Dwi Cahyadi Wibowo, 2018) pada faktor pendukung yaitu adanya kesadaran siswa, alat peraga serta dukungan dari lingkungan sekitar. Kemudian di pertegas oleh jurnal (Tahmidaten and Krismanto, 2020) yaitu menemukan sebab akibat mengapa minat baca di Indonesia rendah dan meluruskan bawasannya membaca tidak hanya melalui mata pelajaran.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah budaya membaca di Indonesi sangat rendah mulai dari kalangan siswa hingga mahasiswa. Rendahnya tingkat Pendidikan di Indonesia mempengaruhi budaya membaca di masyarakat. Krisis budaya ini tidak sepenuhnya berakar dari nenek moyang tetapi minat baca juga terkikis oleh globalisasi. Pemerintah berupaya mengatasi krisis budaya membaca di Indonesia. Pemerintah menjadi tanggung jawab utama tidak henti hentinya membuat program yang bertujuan agar kemampuan masyarakat di Indonesia meningkat khususnya pada siswa ataupun siswi. Tidak hanya Pemerintah semua elemen negara segera harus bergerak untuk memberikan kontribusi agar meningkat minat baca masyarakat Indonesia. Seperti pada aspek keluarga, kita bisa membelikan buku kepada anak, membuat kegiatan membaca yang nantinya akan berdampak pada pengurangan penggunaan gadget pada anak (Tahmidaten and Krismanto, 2020).
Dalam krisis minat baca di Indonesia memiliki faktor penghambat dan pendukung. Faktor penghambat yaitu guru masih kurang menguasai minat atau keinginan siswa, fasilitas sekolah kurang mendukung dan guru kurang penguasaan pada metode yang diinginkan siswa. Pada faktor pendukung yaitu adanya kesadaran siswa, alat peraga serta dukungan dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perluasan dan pemerataan pendidikan di Indonesia perlu dilakukan bukan hanya itu tetapi pendidikannya harus bermutu dan relevan sehingga lulusan pendidikan bisa menjadi pekerja produktif atau bahkan menjadi pengusaha yang nantinya akan mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Saran yang perlu dilakukan adalah kita harus menumbuhkan budaya membaca di Indonesia. Di era globalisasi ini kita harus menguasai bidang komunikasi dan informasi oleh karena itu krisis minat baca ini perlu diatasi. Ada beberapa saran yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis membaca di Indonesia. Pertama menghilangkan paradikma, bahwa membaca tidak harus melalui mata pelajaran tetapi kita juga bisa membaca novel atau buku yang lainnya. Kedua perbaikan sarana prasarana baik di perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah. Ketiga pembaharuan metode, strategi untuk mengembangkan minat baca,. Keempat adanya gerakan, program atau komunitas yang mendorong agar bisa mendorong serta meningkatkan minat baca (Tahmidaten and Krismanto, 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H