Disahkannya UU MD3 yang memuat pasal melarang mengkritik DPR bukan langkah baik. Dalam Pasal 122 huruf k UU MD3 dijelaskan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pasal tersebut dapat digunakan memidanakan pengkritik yang dianggap merendahkan kehormatan dewan. Itu juga berlaku bagi wartawan yang kerap mengkritisi anggota dewan melalui pemberitaan. Hal ini bertentangan dengan fungsi pers yang dijabarkan dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 3, yaitu media informasi, sarana pendidikan, sarana hiburan, kontrol sosial, dan lembaga ekonomi.
Melalui pers, berita terkini dari seluruh dunia dapat disebarluaskan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya beserta dengan opini-opini publik dan segala pengetahuan lainnya. Semakin hits suatu berita maka semakin laris - demikianlah orang berlomba untuk mendapatkan berita yang aktual namun tetap faktual. Sehingga, secara tidak langsung kegiatan perorangan, terutama di bidang politik diawasi oleh masyarakat.Â
Dengan disahkannya UU MD3, masyarakat tidak cukup kuat untuk melakukan kritik dan mengkritisi karena dianggap menentang pemerintah. Akibatnya, segala pemberitaan yang penting dan seharusnya diketahui oleh masyarakat. Hal ini bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik Pasal 9 yang berbunyi "wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik," karena hal yang seharusnya penting untuk diketahui publik malah tidak bisa diberitakan karena takut akan dituntut balik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H