" Jika engkau tidak bisa mencintai wanita yang sepenuh hati dan tulus mencintaimu, ibumu. Bagaimana mungkin engkau bisa menyatakan cinta terhadap wanita lain?" -Ignatius Eric Sunarto.
Hari ini aku bertengkar dengan ibuku, ini bukan yang pertama namun sepertinya akan menjadi yang terakhir. Dia mengusir, membuang semua pakaianku ke jalanan serta berteriak agar aku tidak kembali lagi kerumahnya. Tempat tinggal sempit yang berada dalam sebuah gang kecil (tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat). Permasalahan dari semua pertengkaran hampir selalu sama. Ibuku tidak setuju dengan pacarku yang sekarang. Ibu bilang pilih pacar itu harus wanita yang baik dan taat kepada agama agar bisa kelak menjagaku. Memang pacarku kenapa? Dia ada tatoo di punggung serta pinggulnya, lalu apa dengan itu dia berarti bukan wanita baik ? Ya, dia juga merokok lalu apa kaitanya rokok dengan badung atau tidak taat terhadap agama? Aku juga seorang perokok. Ya, dia juga kerapkali berkata kasar, namun apa itu yang menentukan dia baik atau tidak ? Sudahlah, aku juga sudah bosan tinggal dengan ibuku. Tidak ada yang istimewa dengan dia, hanya seorang wanita tua renta yang menjual kue untuk menghidupi aku dan adikku. Bukan seorang pengusaha sukses yang mampu menyekolahkanku keluar negeri ataupun membelikan mobil sebagai hadiah ulang tahunku. Wanita yang sangat biasa, setidaknya itu yang sekarang ada dalam pikiranku.
*********
Walaupun aku kesal dan memang sudah ingin lama keluar dari rumah itu. Aku tetap menangis, air mata ini tidak bia berhenti walau otak sudah memerintahkanya demikian. Aku memungut pakaian serta celana pendek yang sering kugunakan dan kumasukan dalam kantong yang kuminta dari warung. Kemana aku harus pergi? aku tidak pernah mempersiapkan hari ini, ibuku mengusirku pergi. Ingin makan apa aku besok? ? uang di dompetku tinggal 4ribu perak, jangankan besok pagi, ingin makan apa aku nanti malam?? ya sudahlah... Aku berjalan dengan tanpa tujuan berharap ada keajaiban telephoneku berdering dan ada yang menawarkan tempat untuku menginap. Aku terlalu egois untuk meminta maaf dan kembali ke rumah itu. Aku sudah cukup bosan 16 tahun tinggal ditempat sempit itu. Perutku keroncongan. Seharusnya sebelum aku pergi, aku ambil beberapa kue untuk cadangan makanan.
Cacing dalam perut ini tidak bisa menahan terlalu lama lagi, harus segera diisi dengan makanan sebelum mengamuk dan menggerogoti usus dalam perutku. Aku mampir warung nasi goreng di ujung gang dekat rumahku.
"Bang, berapa nasi gorengnya ?" Tanyaku. Aku tidak pernah makan diluar rumah sebelumnya. Karena ibu selalu masak setiap harinya, entah daun singkong atau sayur bayam atau sejenis sayuran lainnya.
" Biasa de. 7 ribu aja"
"Buat 4 rb aja de bang. Masih kenyang." aku berdalih menyembunyikan kondisi keuanganku.
Tidak harus menunggu lama. 1 porsi nasi goreng sudah ada dihadapanku. Aku bingung dengan nasi goreng ini. Berapa keuntungan yang dia dapat ya? 1porsi seharga 4ribu saja sudah lengkap dengan ayam, sosis, teh hangat, serta dalam porsi yang banyak. Sudahlah toh yang penting aku bisa makan enak hari ini. Air mata yang kusembunyikan jatuh lagi. Aku tidak sanggup menahan kesedihan lebih lama lagi. Cacing dalam perutku seraya sudah mati tidak lagi memberontak. Nafsuku makanku hilang tenggelam dalam tangis.
"Kenapa de? nasi gorengnya tidak enak ya ?" Tegur tukang nasi goreng itu. Mukanya tidak asing walaupun aku tidak pernah membeli nasi goreng buatanya sebelumnya. Brewok tipis serta potongan rambutnya seperti seseorang yang sering datang ketempatku. Membeli kue buatan ibuku.
"Enggak kok bang, enak rasanya pak. Ini pak uangnya, aku mau jalan dulu" Aku sudah ingin beranjak pergi walau masih bingung kemana. Mungkin tidur di emperan toko atau di post siskamling atau dimanapun tempat yang bersedia menerimaku.
"Sudah de, enggak usah dibayar. Bapak yakin uang kamu juga cuman ada 4rb kan? nasi goreng itu bapak buat spesial buat ade."
"Bapak baik ya. Bapak tidak mengenal aku tapi memberi aku makan dengan gratis bahkan spesial pula. Sedangkan ibuku, orang yang melahirkanku. Dia mengusirku dari rumahnya" Aku menjawab dan menangis, berharap stok air mata ini habis.
"De, bapak cuman memberi 1 piring nasi goreng tapi ade sudah bilang bapak baik. Sedangkan ibu ade memasak setiap hari untuk ade, mencari uang untuk ade, serta menemani ade tidur setiap harinya malah ade bilang jahat."
Kata-katanya membuatku sadar atas kesalahan yang aku perbuat. Tidak seharusnya aku menahan kata maaf dan pergi begitu saja dari rumah ibuku.
"Sekarang ade habiskan aja nasi gorengnya. Bapak buatnya capek dan khusus buat tenangin ade. Nanti malam ade menginap dirumah bapak aja. Besok pagi baru pulang kerumah, nanti bapak bilang ke ibu ade."
Aku menghabiskan nasi goreng itu dengan susah payahnya. Setiap sendok yang ku ambil seakan mempunyai bebanya tersendiri. Ternyata bapak tukang nasi goreng itu betul seorang langganan kue ibuku, dan pagi tadi ibuku sempat meminta pendapat kepadanya. Bapak itu yang menyuruh mengusirku pergi dari rumah. Agar aku sadar dengan kebaikan ibuku yang selama ini dia berikan kepadaku,
********
"Tidak ada seorangpun orangtua yang ingin melukai ataupun menyakiti anaknya" -Ignatius Eric Sunarto
Air mata menjadi teman pengiring untukku menghabiskan sepanjang waktu melewati malam hari itu. Air mata juga menjadi cermin hidayah yang menyadarkan kasih ibu itu sepanjang masa. Ayam telah berkokok panjang menandakan hari telah pagi. Sudah saatnya aku berpamitan untuk pulang kepada bapak itu dan berterima kasih telah memberi saran untuk mengusirku pergi. Di penghujung jalan, aku melihat sosok tua dengan rambut yang sebagian telah memutih. Sosok kecil renta yang sangat tidak asing bagiku, ibuku. Dilihat dari raut wajahnya, dia sama sepertiku. Menghabiskan waktu sepanjang malam tanpa bisa tertidur lelap, bahkan sungguh sulit untuk memejamkan mata dan menyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Sisa baju yang berserakan semalam telah dibereskan oleh ibuku. Dimasukan kembali kedalam lemari bajuku.
"Josh, ibu hari ini masak sayur kesukaanmu serta ayam goreng dan sambel terasi. Makan sebelum dingin ya. Ibu minta maaf karena telah mengusirmu kemarin malam."
Suara serak ibu selayak guntur siang itu, mengalahkan sinar mentari yang mulai panas sengatnya. Aku tidak akan pernah lagi melawan perintah ibuku, karena aku sadar tidak akan ada wanita yang mencintaiku lebih besar dari dia mencintaku.
******************** THE END Â Â ****************************
Dulu, kau bergulat dengan nyawa untukku
Bersimbah penuh darah demi tangis hadirku kedunia
Dulu, belasan tahun lalu kau pertaruhkan hidupmu demi hidupku
Kasihmu kepadaku 'tak terhingga
Mengalahkan murninya logam mulia
Mengalahkan indah sinar berlian
Sekarang, langkah demi langkah kau lalui demi mencari uang
Dari pintu ke pintu kau tawarkan kue buatanmu
Lalu apa yang aku lakukan??
Aku malah malu dan membenci atas apa yang kau lakukan
Aku malah marah atas nasehat yang kau berikan untuk kebaikanku
memang,,,,
Bukan mobil mewah, atau pendidikan luar negeri yang engkau berikan kepadaku
Tapi lebih ,,, Lebih,,, Lebih dari semua itu
Kasih sayang tulusmu untuku selalu
Terima kasih ibuku.
Ciakrang , 23 Desember 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H