Terkait politik dan perilaku politisi, William Penn Adair Rogers pernah berkata "Everything is changing. People are taking their comedians seriously, and the politicians as a joke, when it used to be vice versa." Lantas kalimat yang dilontarkan Aktor dan Komedian kenamaan Oklahoma, Amerika Serikat itu dimuat sebuah koran lokal, The Piqua Daily Call, (Miami Valley Today, nama sekarang) pada 23 November 1932.
Pernyataan ini meski terlontar dari Komedian namun penting untuk menjelaskan situasi politik Amerika kala itu. Perlu pula dicermati kaitannya dengan perkembangan politik pasca pilpres 2024 maupun 2019. Yang tidak ada ubahnya seperti lawakan, idealnya cukup ditertawakan dan kemudian dilupakan.
Di tahun 2019, pertarungan panas antar Jokowi dan Prabowo melahirkan pembelahan di tengah masyarakat. Ujaran kebencian, politisasi agama, hingga isu komunisme mencuat dan dialamatkan kepada Jokowi, sebagai Capres yang diusung PDIP kala itu. Pasca pilpres, Prabowo menolak hasil pemilihan dan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi serta diiringi demonstrasi besar-besaran pendukung militannya.
Masih segar diingatan publik pula bahwa setelah melalui proses panjang, pada 30 Juni 2019, KPU menetapkan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin ditetapkan sebagai pemenang Pemilu melalui rapat pleno. Dalam bayangan publik, rival politiknya, Prabowo tidak mungkin masuk dalam kekuasaan. Akan tetapi sebaliknya justru terjadi. Prabowo Subianto merelakan diri menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi, ketimbang memilih jalan oposisi.
Sikap Prabowo tersebut tentu mengundang banyak protes, terutama dari pendukung fanatiknya, seperti FPI, kelompok sipil lainnya. Mereka kecewa berat karena idolanya ternyata masuk dan menjadi bagian pemerintahan Jokowi, yang notabenenya tidak disukai dan kerap dituding islamophobia itu. Di sini satu hal yang mereka lupa, Prabowo adalah politisi tulen. Ketakutan terhadap segregasi politik pasti ada. Jika bertahan, sangat mungkin bernasib sama seperti Demokrat, Partai besutan SBY, dan sempat berkuasa 1 dekade, sebelum menjadi buih dalam percaturan politik nasional.
Realitas politik yang sama agaknya tidak akan jauh berbeda pada lima tahun mendatang. Dari keseluruhan Parpol kontestan Pemilu 14 Februari 2024, agak sulit ditebak apakah ada yang berani mengambil posisi sebagai oposisi yang seimbang bagi kekuasan atau tidak. Walaupun hasil real count KPU sementara, menunjukkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar- Mahfud tertinggal jauh dari Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Skeptisisme ini berpijak pada dalih bahwa sebenarnya yang bertarung dalam Pemilu 2024 hampir tidak ada partai oposisi, kecuali Partai Keadilan Sejahtera. Partai-partai koalisi pengusung Capres dan Cawapres nyatanya ada di dalam kekuasaan saat ini. Mereka ambil andil dalam merumuskan banyak kebijakan yang sering kali menuai protes publik, misalnya UU Cipta Kerja.
Argumentasi Darwin Darmawan yang bertajuk " UU Cipta Kerja, Kepentingan Publik atau Kartel Politik?", yang dimuat koran nasional mainstream mengkritik keras kebijakan itu. Ia berpendapat bahwa UU tersebut hanya bersifat trickle down effect atau hanya diproduksi untuk memenuhi hasrat penguasa. Jauh dari kepentingan rakyat sama sekali. Sayangnya ini telah dilupakan berjamaah oleh publik.
Hari-hari ini pun demikian faktanya, belum juga keluar hasil resmi KPU, anehnya partai pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sudah bermanuver. Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem telah bertemu empat mata dengan Jokowi. PKB pun demikian, fokus pada capaian internal partai terutama pemilihan legislatif. Sedangkan PDI-P sementara masih menggulirkan narasi Hak Angket DPR untuk mengevaluasi hasil Pemilu. Namun endingnya belum bisa diramal terlalu jauh, sebab kader-kader PDI-P masih duduk di kursi empuk Kabinet Jokowi.
Menurut penulis, sebenarnya hampir tidak ada alasan kuat untuk bertahan jika situasi politik nasional kita belum berubah. Semua sekedar berebut kekuasaan semata. Sehingga tidak perlu bertahan mati-matian membela dan menyebar hoax mengenai hasil pemilu. Toh, siapapun yang menang, asumsinya semua akan berada di kekuasaan pada akhirnya.
Untuk membongkar fenomena ini, Charles Wright Mills, Â mengulasnya dalam The Power Elite (1956). Â Ia menyimpulkan bahwa elit terkadang memang berbeda pandangan terkait soal tertentu. Akan tetapi pada dasarnya akan bersama-sama dan kompromis untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan. Langgam oportunistik tersebut lazimnya senantiasa nyata di dalam politik.