Sudah tak tahan saya. Perasaan saya sudah meluap, harus ditumpahkan. Oke. Ini reaksi saya atas drama “The Innocent Man”. Ya, drama Korea. Berkat pandemi Covid-19, saya pun terkena wabah drakor.
Ini bermula ketika saya menonton kembali drakor “perintis” di layar kaca Indonesia: “Princess Hours”, “Full House”, dan “Coffee Prince”. Ya, saya menonton itu dahulu kala. Setelah itu, tak pernah lagi saya mengikuti perkembangan drakor.
Setelah menonton kembali ketiga drakor itu, mulailah saya mengintip drakor-drakor baru yang mewabah beberapa tahun ini karena jenuh di rumah saja. Yang pertama kali menarik perhatian saya adalah “Descendants of The Sun” karena posternya sudah lama terpampang di Netflix. Hasilnya, saya suka karakter utama pria dalam drama itu dan suka juga dengan aktornya: Song Joong Ki.
Kemudian, sempat saya lihat-lihat judul beserta sinopsis drakor lain di berbagai situs drakor, tetapi ah tak cukup meyakinkan. Karena penasaran dengan Joong Ki Oppa, saya cari film dan drama lain yang dibintanginya. Nontonlah saya film “Penny Pincher”. Hasilnya, makin menarik nih Joong Ki Oppa.
Lalu, sampailah saya pada “The Innocent Man”. Hasilnya, jatuh cinta saya pada karakter pilihan Joong Ki. Baiklah, harus saya mulai dari mana ya ulasan saya tentang “The Innocent Man” ini? Secara singkat, “The Innocent Man” ini bercerita tentang balas dendam seorang pria yang dikhianati cintanya. Dalam perjalanan balas dendamnya ia menemukan cinta lain yang juga menyakitkan. Kalau Anda menonton drama ini, setiap episode diawali dengan wajah pemeran utamanya yang menyiratkan kesedihan dan kekelaman, kecuali episode terakhir.
Secara keseluruhan drama ini meninggalkan kesan yang dalam bagi saya. Saya bingung juga sih mengapa setelah menyelesaikan kedua puluh episodenya, perasaan saya campur aduk. Sampai-sampai, selang seminggu saya tonton lagi. Hahaha. Begini ini yang dinamakan menyiksa diri.
Oke. Pertama, menurut saya, para aktor dan aktris dalam drama ini dapat memainkan karakternya dengan baik. Karakter yang terkuat tentu karakter utama, yaitu Kang Maru (Song Joong Ki), Seo Eun Gi (Moon Chae Won), dan Han Jae Hee (Park Si Yeon). Dalam drama ini, melaui wajah dan bahasa tubuhnya saja, Song Joong Ki bisa menunjukkan karakternya sebagai pria yang terluka hatinya dan terpuruk hidupnya, lalu menjadi pria yang dingin, keras hati, dan tega menyakiti perasaan orang lain, tetapi akhirnya menjadi pria yang merelakan semua dan menemukan cinta kembali. Lawan mainnya, Park Si Yeon pun bisa bertransformasi dari gadis lugu menjadi wanita yang menyedihkan. Transformasi itu didukung oleh tata rias yang apik. Sementara itu, pasangan Song Joong Ki dalam drama ini, yaitu Moon Chae Won, dapat menemukan emosi yang menggetarkan saat ia beradu kata dan adegan dengan Joong Ki.
Satu hal yang saya catat dari karakter Kang Maru adalah kekonsistenannya sebagai pria yang tidak pernah berbohong ketika mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Ia mungkin tidak berterus terang, tetapi tidak akan mengatakan yang tidak ia rasakan atau tidak ia pikirkan. Ketika, akhirnya, memilih untuk berbohong, ia melakukannya untuk “menghukum” dirinya dan “melindungi” wanita yang ia cintai.
Ada juga hikmah yang saya dapatkan dari karakter Eun Gi: otak manusia itu luar biasa, ya. Otak mempunyai mekanisme pertahanan yang melindungi kita dari perasaan sakit yang luar biasa. Salah satu sistem pertahanan itu adalah amnesia. Memori yang menjadi penyebab perasaan sakit yang luar biasa itu dapat disembunyikan oleh otak kita. Hanya dengan “persetujuan” kita saja memori itu bisa terbuka kembali.
O ya, selain ketiga karakter yang sudah saya sebutkan, ada satu karakter penting dalam alur drama ini, yaitu Park Jun Ha (Lee Sang Yeob). Salut saya kepada tokoh Park Jun Ha ini. Ia memendam cintanya kepada Seo Eun Gi dan begitu sabar serta setia menjaga Eun Gi dalam “diam”.
Kedua, selain melalui kata-kata, yang beberapa di antaranya saya sukai, drama ini juga menyampaikan pesan yang kuat bagi saya melalui beberapa adegan yang dapat membekas lama dalam ingatan. Saya sudah menandai kata-kata sejak episode pertama. Dalam episode pertama ada percakapan antara Kang Maru dan Han Jae Hee yang menggugat keadilan Tuhan. Menurut Kang Maru, Tuhan memberikan nasib buruk kepadanya dan Han Jae Hee karena mereka bukanlah tipe yang disukai Tuhan. Ungkapan sinis itu hanya dapat muncul dari orang yang benar-benar merasa hidupnya merana. Kang Maru juga mengungkapkan kata-kata yang menohok ketika Han Jae Hee menginginkannya kembali. Kang Maru berujar, “Aku bisa kembali kepadamu, tetapi tinggal cangkang saja.” Kutipan lain yang terngiang adalah “Tindakan balas dendam tidak hanya melukai orang yang menjadi sasaran balas dendam, tetapi juga orang yang membalas dendam.” Itu diungkapkan Park Jun Ha, sosok “malaikat” dalam drama ini. Ada juga perkataan Kang Choco, adik Kang Maru: “Kita dapat menuliskan memori baru dengan melakukan hal-hal yang indah saja.”
Nah, kita beralih ke adegan yang menyentuh hati. Yang paling membekas dan membuat pikiran saya mencerna pelan-pelan adalah saat Seo Eun Gi, yang masih amnesia, terguncang dengan kenyataan bahwa ia tidak tahu apakah Kang Maru itu sosok yang baik atau jahat. Dalam keterguncangan emosinya, ia marah kepada Kang Maru dan menolak untuk makan. Kang Maru menyodorkannya segelas jus. Eun Gi menepiskan gelas itu hingga gelasnya jatuh dan jusnya terserak di lantai. Kang Maru mengambil segelas jus yang baru. Eun Gi kembali menepiskannya. Kang Maru mengganti jus dengan segelas susu. Eun Gi mengambil segelas susu itu, lalu melemparkannya ke lantai. Kang Maru mengambil segelas susu yang baru. Eun Gi melemparkannya lagi dengan lebih keras hingga pecahan gelasnya melukai tangannya sendiri. Dalam adegan itu, Kang Maru ingin menunjukkan bahwa sekeras apa pun ditepis, berapa kali pun ditolak, dan sesakit apa pun perasaannya dilukai Eun Gi, ia akan tetap ada di sisi Eun Gi dan merawatnya. Hal sebaliknya terjadi pada awal hubungan mereka: Kang Maru selalu menepis dan menolak Eun Gi, bahkan menyangkal perasaannya sendiri hingga hatinya luka. Namun, Eun Gi selalu kembali pada hati Kang Maru.
Adegan lainnya adalah saat Kang Maru melarikan Eun Gi dari pernikahan mereka yang digagalkan dengan sengaja oleh Eun Gi. Eun Gi melakukan itu karena ingatannya sudah kembali. Walaupun Eun Gi menutupi kepulihan ingatannya, Kang Maru menyadarinya. Terjadilah adegan yang penuh emosi antara dua orang yang saling mencintai, tetapi saling menyakiti.
Saat Eun Gi menelepon Kang Maru tanpa bicara juga membuat hati meleleh. Eun Gi menelepon Kang Maru saking rindunya, tetapi tidak mau bicara saking bencinya. Jadi, mereka di situ saling bertanya dalam hati saja. Kang Maru “menyimak” keheningan Eun Gi dan baru menutup telepon setelah Eun Gi memutus koneksinya.
Ada pula adegan yang awalnya saya benci, tetapi kok menjadi penuh arti, ya. Adegan itu adalah saat Kang Maru menumpahkan semua luka dan rasa sakit hatinya melihat apa yang telah terjadi antara ia dan Han Jae Hee dan apa yang kemudian terjadi terhadap Han Jae Hee. Dengan segala penyesalan dan pemaafan ia merangkul Han Jae Hee untuk kembali ke jalan yang benar. Bahkan, ia bersedia menerima Han Jae Hee walaupun tanpa cinta yang tersisa dalam hatinya. Adegan ini seperti sebuah pesan bahwa setiap konflik, seburuk apa pun, tetap harus diakhiri dengan damai. Dalam kenyataan mah susah sih.
Ketiga, lagu dan musik latar yang indah dalam drama ini sungguh bagaikan bumbu dasar yang menyerap ke dalam alur cerita. Pilihan XIA Junsu sebagai pembawa lagu utama drama ini harus diapresiasi. Wow, alunan vokal Junsu dalam “Love is Like A Snowflake” gemilang sih menurut saya. Liriknya pun indah. Lagu itu dan beberapa lagu lain serta musik dari drama ini sudah tersusun rapi dalam rak lagu pilhan saya. Dari lirik lagu-lagu itu pula saya mulai mempelajari kata-kata dalam bahasa Korea. Kalau membaca terjemahan liriknya dalam bahasa Inggris, saya yakin ada makna dan nuansa makna dari bahasa Korea yang sulit dialihkan ke dalam bahasa lain. Saya yakin pula bahwa dalam bahasa Korea makna liriknya pasti lebih indah.
Tak ada gading yang tak retak. Anda yang sering menonton drama Korea mungkin sudah paham bahwa untuk menikmati drama Korea, Anda harus menafikan keganjilan dalam beberapa, atau banyak, detail adegan. Kecermatan detail ini sih yang sering luput dalam drama Korea dan membuat penonton mengernyitkan dahi. Namun, dalam “The Innocent Man” ini, bagi saya, kekuatan karakter, adegan yang “berbicara”, dan lagu latar yang membius dapat menutupi beberapa detail yang mengusik.
Catatan lainnya adalah takarir (subtitles). Pilihan kata dan gaya bahasa dalam takarir ini berbeda di berbagai situs drama Korea, tergantung pada tim penerjemahnya. Ada situs drama Korea yang takarirnya mengalir dengan halus dan indah sehingga kita dapat menonton dengan nyaman. Ada (banyak) pula situs drama Korea yang takarirnya malah mengganggu keasyikan menonton. Jadi, coba saja tonton episode pertama. Kalau takarirnya tidak sreg, pindah situs saja.
Walaupun sinopsis “The Innocent Man” mungkin tidak menjanjikan dan episode pertamanya mungkin tidak terlalu meyakinkan, tahan dulu saja. Haha. Keasyikan drama ini adalah transformasi karakter utama yang mengalir seturut alur cerita. Boleh juga langsung loncat ke episode keempat belas atau ketujuh belas. Hehe. Itu episode favorit saya. Selamat meretas kejenuhan dalam dunia fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H