"Tolong ambil palet lukisnya dong!"
Hani dengan senang hati mengambilkan palet lukis yang aku minta.
Setiap Sabtu dan Minggu aku selalu meluangkan waktu untuk melakukan apa yang aku cintai. Sejak SD kelas 5 aku sudah mencintai kegiatan menggambar dan melukis. Sekarang, aku sudah beranjak di kelas 1 SMA.
Melukis mampu membuat pikiranku tenang dan tenteram. Aku bisa berimajinasi dan melukiskan hal-hal yang tidak bisa aku ciptakan di dunia nyata, setidaknya di kehidupanku sendiri.
Dua minggu lagi aku akan mengikuti kompetisi melukis nasional di Jakarta. Aku begitu antusias untuk bisa mengikuti kompetisi itu untuk menjuarainya. Aku ingin menjadi seorang pelukis terkenal seperti Affandi dan Basuki Abdullah.
Lukisan-lukisan mereka begitu indah memanjakan mataku. Aku sering melihat lukisannya di internet atau terkadang Kak Maria, kakak asuhku, sering mengajakku ke museum nasional di Jakarta untuk melihat lukisan-lukisan hasil karya maestro dunia dan Indonesia. Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh inspirasiku di luar Indonesia.
Kali ini aku sedang berlatih melukis wajah ibuku. Ibuku mempunyai wajah yang begitu cantik dan memesona. Rambutnya terurai panjang, halis matanya tebal, dan mempunyai lesung pipit yang begitu elok. Matanya percis seperti mataku dan mata ayahku.
Aku berniat melukis wajah ibu untuk dilombakan di kompetisi melukis nasional itu. Bukan hanya sekadar lukisan wajah seseorang, namun aku ingin menyampaikan pesan dalam lukisan tersebut. Aku yakin dengan melukis wajah malaikatku, aku bisa dengan setulus hati dalam menggoreskan pensil-pensil gambar ke dalam kanvasku.
Aku akan mempersembahkan lukisan sederhana ini untukmu, ibu.Â
***
Tidak terasa aku sudah 6 tahun tinggal di sebuah tempat yang mampu membangkitkan semangatku untuk tetap bertahan hidup. Aku tinggal di sebuah tempat bernama "Lentera Para Pemimpi" yang didirikan oleh pahlawan hidupku, Kak Maria.
Sejak aku ditinggalkan oleh ibuku ketika kelas 4 SD, Kak Maria dengan kebesaran hatinya langsung membawaku ke rumahnya. Di sana banyak anak-anak dengan nasib sepertiku. Kak Maria begitu mulia merawat aku dan anak-anak yang lainnya.
Ibuku meninggal karena menyerah dengan penyakit HIV/AIDS nya. Sepuluh tahun lalu ayahku meninggal dengan kasus yang sama. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah ibuku meninggal sebelum Kak Maria datang dalam hidupku.
Sebagai penderita penyakit HIV/AIDS, aku sering dikucilkan dan didiskriminasi oleh masyarakat tempat di mana aku tinggal. Ibu selalu menangis karena melihatku diperlakukan tidak adil oleh orang-orang sekitar. Aku sudah dinyatakan positif mengidap HIV sejak masih dalam kandungan.Â
Ayahku adalah mantan pecandu narkoba yang menikah dengan ibuku yang tidak mempunyai riwayat penyakit apa pun. Aku sama sekali tidak bisa memilih ingin dilahirkan di rahim siapa. Tetapi aku tidak bisa marah pada kenyataan.
Meskipun aku hidup dalam stigma negatif masyarakat, namun aku tidak ingin bersedih. Aku sungguh mencintai ibu dan ayah. Mereka adalah satu-satunya yang paling menyayangiku setulus hati di dunia ini.
Kepergian ibu sangat membuatku terpukul. Sempat terbesit dalam benakku bahwa untuk apa aku hidup di dunia ini? Kak Maria yang saat itu merangkulku terus menyemangatiku. Sambil memelukku erat, Kak Maria berkata bahwa masih ada dia dan Tuhan di hidupku. Aku masih berhak untuk hidup dan menikmati hidup ini, apa pun yang terjadi.
***
Hani, sahabatku, selalu setia menemaniku melukis. Dia juga yang selalu menilai lukisanku bagus atau tidak. Jika Hani memuji lukisanku, aku akan membelikan dia ice cream meskipun aku minta uangnya kepada Kak Maria haha. Namun jika Hani menilai lukisanku buruk aku tidak akan mau berangkat sekolah bersama dengannya. Sesederhana itu namun mampu menguatkan persahabatan kami sampai sekarang.
Hani satu umur denganku, hanya terpaut beberapa bulan. Nasibnya sama sepertiku, seseorang yang menjadi "korban" dari orang tuanya. 15 belas tahun dia hidup dengan HIV/AIDS. Ibu dan ayahnya sudah meninggal ketika dia masih balita. Nasibnya lebih buruk dariku.
Aku bersyukur karena aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu hingga aku kelas 4 SD. Hani hanya merasakan kasih sayang malaikatnya beberapa tahun saja sebelum ia diasuh oleh neneknya yang kemudian meninggal satu tahun sebelum Kak Maria mendirikan yayasan "Lentera Para Pemimpi".
Di yayasan "Lentera Para Pemimpi" aku tinggal bersama 14 anak lainnya. Dahulu kami masih berjumlah 17 anak, namun dua anak telah meninggal karena menyerah dengan penyakitnya. Di sana kami diberikan pendidikan, pakaian, dan makanan oleh Kak Maria.
Kak Maria sering mendapatkan bantuan dana ataupun jasa dari para relawan atau organisasi-organisasi sosial yang ada di Jakarta, Bandung, sampai Bogor. Teman-teman relawan Kak Maria pun cukup banyak. Relawan-relawan itu selalu ikut berkegiatan bersama kami.
Terkadang kami selalu belajar bersama di "Lentera Para Pemimpi" dan sesekali pergi berjalan-jalan keliling ibu kota. Mereka pun sering membawakan makanan-makanan enak untuk kami. Kami sangat senang dengan kegiatan-kegiatan itu, apalagi dengan jalan-jalannya hehe.
Di "Lentera Para Pemimpi", para anak mempunyai mimpinya masing-masing. Kak Maria pun menempelkan kertas-kertas impian kami di ruangan khusus, ada pula di jendela-jendela atau tembok.
Aku, sudah pasti, menuliskan impian menjadi seorang pelukis hebat. Hani bermimpi menjadi dokter. Teman-temanku yang lain ada yang menulis impiannya menjadi arsitek, guru, polisi, pilot, bahkan presiden. Tidak ada yang berhak membatasi mimpi-mimpi kami.
Kak Maria waktu itu pernah bercerita pada kami bahwa mimpinya hanya satu, Kak Maria bermimpi ingin sekali membantu mewujudkan mimpi-mimpi kami yang besar. Sebuah mimpi yang bahkan sama sekali tidak terbesit dalam benakku.
Minggu depan aku harus membuktikan pada Kak Maria bahwa aku bisa menjadi pelukis hebat. Aku harus membanggakannya.
***
Tinggal empat hari lagi waktu yang tersisa untuk aku merampungkan lukisan wajah ibu untuk dikirim ke Jakarta. Penjurian akan langsung dilaksanakan di sana oleh para maestro Indonesia sekaligus menentukan siapa pemenangnya.
"Yasha, kamu sudah makan obatnya?" tanya Kak Maria padaku.
"Sudah kak" jawabku sambil mewarnai rambut ibu.
Hidup dengan mengonsumsi obat seumur hidup memang bukanlah hal yang mudah bagiku. Setiap hari aku harus rutin meminum obat terapi rejimen anti-retroviral (ARV)[1] yang sudah aku konsumsi selama bertahun-tahun agar aku tetap dalam kondisi badan yang sehat dan stabil.
Jika terlambat saja, tubuhku akan terasa lemas dan drop. Untungnya obat itu sudah tersedia gratis di berbagai layanan kesehatan khusus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Sebelum aku mengenal obat ARV, badanku begitu kurus seperti kekurangan gizi meskipun aku tidak kekurangan makan. Berat badanku turun drastis. Namun berkat obat yang diberikan Kak Maria itu aku mampu hidup seperti orang normal kebanyakan.
"Butuh bantuanku gak?" celetuk Hani padaku yang sedang serius melukis.
Aku hanya menggelengkan kepala. Saat itu aku sedang serius dan tidak ingin diganggu karena hanya tinggal sedikit lagi aku menyelesaikan wajah ibu yang begitu cantik. Hanya tinggal dipoles saja bulu mata dan arsiran di bagian lesung pipitnya.
Tidak lupa aku berikan titik hitam kecil di pipi kanannya, di bawah kantung matanya. Ibuku mempunyai satu tahi lalat di bagian itu. Bibirnya sudah aku warnai dengan warna merah meronanya.
Sedang asyik-asyiknya memoles bulu mata ibu, terdengar suara seperti benda terjatuh di luar kamarku. Aku bergegas keluar dan ternyata Hani sudah tergeletak di lantai.Â
Aku langsung meneriaki Kak Maria yang sedang ada di luar. Kak Maria langsung bergegas menggendong Hani ke dalam angkutan umum. Aku ikut dengan Kak Maria ke rumah sakit. Semoga Hani tidak kenapa-kenapa.Â
***
"Sudah berapa jauh lukisan kamu? Kakak yakin lukisan kamu pasti bagus" sahut Kak Maria sambil merangkul pundakku.
Bukan itu yang aku ingin dengar dari Kak Maria. Aku hanya ingin tahu keadaan Hani di dalam ruangan itu.
"Hey kenapa bengong?" tanya lagi Kak Maria dengan suara yang begitu berat.
"Hani gak akan pergi kan Kak?" tanyaku sambil mengusap air mataku dengan punggung tanganku. Tidak tahu mengapa air mataku tiba-tiba saja keluar dengan sendirinya.
Kak Maria langsung memelukku erat dengan isak tangisnya. Dengan suara paraunya ia berkata padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja, kami hanya perlu mendoakan yang terbaik untuk Hani.
Jam dinding di hadapanku seakan berhenti berdetak. Pelukan Kak Maria selalu mempunyai arti tersendiri.Â
***
Aku sandingkan foto ibuku dengan lukisan wajah ibu yang aku ciptakan sendiri. Tidak jauh berbeda, namun hanya matanya saja yang menurutku kurang serupa. Sulit sekali melukiskan mata indah ibuku.
Kak Maria begitu bangga dengan hasil karyaku. Ia tidak bosan-bosannya mengabadikan lukisanku di ponselnya. Ia posting hasil lukisanku ke media sosialnya dengan caption bangganya. Tak kusangka juga banyak sekali yang menyukai lukisanku. Teman-teman Kak Maria di media sosial membanjiri komentar di postingan Kak Maria dengan berbagai pujian untuk lukisanku.
Tidak heran kalau aku berhak menjadi pemenang kompetisi melukis nasional di Jakarta satu minggu yang lalu. Aku merasa tidak percaya ketika namaku dipanggil ke atas panggung untuk menerima hadiah dan penghargaan sebagai juara pertama. Aku mengalahkan ratusan saingan yang ada di Indonesia.
Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkesempatan untuk memberikan penghargaan padaku di atas panggung. Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Di bawah panggung, Kak Maria tidak kuasa menahan tangis bahagianya melihat aku diberi penghargaan langsung oleh salah satu orang penting di Indonesia ini. Teman-teman "Lentera Para Pemimpi" pun menyaksikan kebahagiaanku.
Saat itu aku sama sekali tidak bisa membendung air mataku yang jatuh. Aku terlampau bingung harus bahagia atau merasa sedih. Tidak ada Hani di antara teman-temanku yang ada di bawah panggung.
Aku sangat menginginkan kehadiran Hani yang telah membantuku dan menyemangatiku untuk terus melukis. Namun Tuhan berkehendak lain, Tuhan telah mengambil Hani. Hani telah beristirahat untuk selama-lamanya.
Aku Yasha, penderita HIV/AIDS yang senantiasa semangat untuk dapat hidup meski terkadang stigma dari masyarakat sering membuatku terpuruk. Namun kini stigma itu tidak lagi dapat mempengaruhiku, biarkanlah mereka menilaiku semau mereka karena sama sekali tidak berpengaruh dalam hidup dan mimpiku.
Aku Yasha, penderita HIV/AIDS yang berhak mempunyai mimpi besar dan berhak pula untuk mewujudkan mimpi besarku.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H