Mohon tunggu...
erfina nagata
erfina nagata Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Legenda Desa Tunggorono

14 Februari 2016   14:24 Diperbarui: 14 Februari 2016   15:05 4421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam cerita rakyat menyebutkan bahwa desa Tunggorono di kabupaten Jombang merupakan gapura keraton Majapahit bagian barat. Sedangkan gapura sebelah selatan batas wilayah kerajaan Majapahit ada di desa Ngrimbi (sekarang menjadi kecamatan Bareng), dimana sampai sekarang masih berdiri Candi Rimbi.

Sekilas cerita:

Ada seorang lelaki bernama Subanjar sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya bernama Cahyo Tunggal pemimpin Padepokan Tunggul Wulung yang disegani masyarakat. Saudara perempuan atau adik Subanjar bernama Sekar Dinulih. Subanjar terkenal bersifat brutal, suka berkelahi, menggoda wanita atau bahkan memperkosa dan membunuh tanpa merasa berdosa. Keluarga Subanjar resah, hingga akhirnya menyarankan Subanjar agar segera menikah. Namun, Subanjar menolak menikah sebelum dia menjadi orang yang benar dan sakti. Maka Subanjar berangkat bertapa di pesarean Asam Boreh.

Sementara itu, di pesarean Asam Boreh tersebut berdiam makhluk halus bernama Nyi Blorong dan Gendruwo Putih. Mengetahui ada manusia yang sedang bertapa, Gendruwo Putih langsung merasuki raga Subanjar, dengan maksud agar dapat memperistri Sekar Dinulih.

Lantas Subanjar pulang kembali ke rumah, ia mengutarakan keinginannya hendak menikah. Keluarganya gembira,namun tentu saja keinginan itu kandas karena yang hendak dinikahi adalah adik kandungnya sendiri. Subanjar tidak terima dan ia tega memukul ayahnya.

Sekar Dinulih melarikan diri karena dikejar oleh Subanjar. Ki Tunggo bertemu dengan mereka dan mencoba menghalangi niat Subanjar namun ia gagal. Subanjar juga sempat bertanding dengan Joko Piturun dan akhirnya ia bertemu kembali dengan ayahnya yang telah mendapatkan selendang pusaka dari Nyi Blorong. Dalam pertarungan kedua melawan Joko Piturun, Subanjar dikalahkan dengan sabetan selendang pusaka Jalarente yang dipinjam dari Cahyo Tunggal. Saat Subanjar jatuh, keluarlah Gendruwo Putih dari raganya yang seketika juga dihajar dengan selendang Jalarente. Subanjar telah sadar, maka ayahnya pun sadar jika ia juga telah bersalah karena memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan namun belum pernah meruwatnya.

Ternyata Tunggo itu nama orang (Ki Tunggo) yang pekerjaannya membuat rono (semacam sketsel dalam rumah). Karena dianggap telah menyembunyikan Sekar Dinulih di rumahnya, Ki Tunggo harus berhadapan dengan Subanjar (yang telah kerasukan Gendruwo Putih) sehingga Ki Tunggo tewas. “Suatu ketika nanti desa ini saya namakan Tunggorono,” ujar Subanjar. Itulah asal-usul daerah yang bernama Tunggorono di Jombang.

Berikut analisis saya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat diatas:

1. Nilai Agama

· Pergi bertapa untuk memperbaiki diri dan mencari keputusan. Namun mungkin pada zaman sekarang kita lebih banyak melakunnya lewat introspeksi diri bukan bertapa dan sering kali memohon kepada tuhan guna mencari keputusan.

Hal ini dikisahkan dalam cerita yakni Subanjar sebagai tokoh utama yang berangkat berilmu/ bertapa ke pesarean mencari petunjuk atas saran ayahnya yang menyuruhnya segera menikah.

· Pada cerita dikisahkan Subanjar yang tak ingin menika dahulu sebelum ia menjadi orang sakti dan baik atau sebelum ia menjadi sadar.

Dari situ kita dapat menyadari bahwa sebelum mengambil keputusan hendaklah kita memperbaiki akhlak kita terlebih dahulu.

· Pada cerita ini juga terdapat nilai agama negatif yaitu pada tokoh Subanjar yang tidak mengenal dosa dan tidak mempunyai rasa bersalah sebelum akhirnya dia menyadari segala kesalahannya.

2. Nilai Moral

· Watak tokoh utama yang buruk seperti brutal, suka berkelahi, menggoda,dan memperkosa wanita bahkan membunuh orang tanpa merasa bersalah namun pada akhirnya Subanjar sadar juga.

· Subanjar yang segera menyadari kesalahannya sendiri setelah ia dikalahkan oleh Joko Piturun.

· Subanjar yang tega memukul ayahnya sendiri karena dia kjeinginannya yang ditengtang ayahnya.

· Ayahnya yang merasa bersalah juga karena ia bekum meruwat kedua anaknya. Jadi, ayahnya tidak sepenuhnya menyalahkan perbuatan Subanjar yang kerasukan makhluk halus.

3. Nilai Budaya

· Pada cerita ayah Subanjar menyesal karena belum pernah meruwat Subanjar dan adiknya.

Tradisi ruwatan adalah upacara atau ritual orang jawa yang ditujukan kepada sesorang agar orang tersebut bebas dari dosanya dan kesialan dalam hidupnya. Kerap kali tradisi ini disebut sebagai sarana penyucian diri.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun