"ya mungkin ini iseng sih mam, tapi di hati kok ya aku gak terima" (Sambil memegang datanya), gitu imbuh bundanya lagi
Ya iyalah saya bisa merasakan juga, bukan hanya karena saya seorang Ibu tetapi karena saya juga kerap bersua dengan masalah seputar ini, saya sangat paham perasaan bunda tersebut.Â
Apalagi ini anak, dia bercerita ke orang tuanya dengan harapan kan ada solusi, kalau bukan ke kita sebagai orang tuanya yang ikut membantu terus kemana?, kita gak bisa lo memaksa orang lain mengerti maunya kita atau meminta mereka agar jangan begini atau begitu ke kita. Namun kabar asyiknya kita bisa memaksimalkan upaya untuk kebaikan diri sendiri dan keluarga.
Jadi, apakah ini iseng, bercanda, atau salah satu varian perundungan ya? Karena tetangga saya tersebut tidak pernah menganggap ini sebagai salah satu ragam per-Bully-an, meski sekarang sudah mulai ada pertimbangan ini termasuk Bully karena rasa ketidaknyamanan si anak. Tambahan info, sore hari setelah paginya tetangga saya/bunda si anak ini memasang status wa agar sandal dikembalikan, eladalah si anak tetap menyembunyikan sandal lagi (hadeuuhhh..., tepok tembok deh saya)
Oke kembali lagi. Bila saya kutip dari laman detikhealth terkait kasus bully mahasiswa Gunadarma (2017), Psikolog dari klinik Personal Growth, Veronica Adesla maka untuk kategori Bercanda adalah semua yang terlibat didalamnya merasa senang, tidak ada yang tersakiti baik fisik maupun perasaan (psikologis). Jadi, melukai perasaan emosional seperti menghina, mengejek, juga mengeluarkan kata -- kata kotor bukan bercanda, tapi Bullying.
Hhhmmm..., jadi ingat kejadian lain juga bahwa dewasa ini tuh gampang dan mudah banget mendengar anak -- anak mengucapkan kata -- kata kasar dan kotor, dan itu untuk sebagian orang "sudah dianggap" suatu kewajaran, sehingga peringatan untuk tidak berbuat demikian ya sekedarnya.Â
Kalau pas ketemu yang sama - sama nyaman dengan kata-kata kotor mungkin cocok karena sama-sama hepi, misalnya satu mencela "dasar ya elu pupus" terus yang satu membalas "biarin gw pupus daripada elu embek" :-D (hanya contoh ya, karena saya tidak menggunakan pilihan nama hewan dan kata-kata kotor yang sesungguhnya).Â
Namun masih ada di bumi ini orang - orang yang berprinsip menggunakan kata-kata kasar, jorok, dan kotor demikian adalah jauh dari perilaku sopan, yang hasilnya kalo ketemu dengan yang seperti ini ya pasti gak nyamanlah!. Alasannya juga beragam, bisa karena dalam agama diharuskan menjaga lisan, karena di dalam keluarga ini terlarang terkait masalah status sosial, dan bisa juga karena personal branding bahwa seseorang bisa dinilai baik itu diawali dengan ucapan atau bahasa yang ia gunakan.Â
Bilapun anda adalah salah satu pribadi yang menganggap hal - hal kasar atau kotor yang diplesetkan itu juga gak papa... ya sudah, toh kini begitupun memang bisa viral kan :-D. Poin ini saya sampaikan untuk mereka atau siapapun yang mengupayakan terjaga kata-katanya lewat lisan bahwa tugas kita semua jugalah dalam berperilaku santun mulai dari lisan yang implementasinya bisa kita maksimalkan dari lingkup terkecil dulu, yakni keluarga.
Balik lagi, kalau dianggap 'ya ini kan masih anak-anak, entar gede juga udah nggak?",
Oke bila kejadiannya begitu, tetapi apa iya salah bila kita sejak awal berusaha memangkas hal -- hal yang bila diteruskan ada potensi buruk kedepannya?.Â