Mohon tunggu...
Erfan Adianto
Erfan Adianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya seorang buruh biasa yang ingin berbagi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Antara Masterpiece-nya Pak Bakrie dan Nuansa Kolonial Toko Oen (Perjalanan 3)

22 September 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika saya memutuskan menggunakan sarana transportasi kereta api dalam perjalanan menuju Surabaya dari Yogyakarta, hal ini mengingatkan saya saat masa kecil saya di Yogyakarta dimana saat itu cukup sering juga menggunakan kereta api untuk mengunjungi kakek nenek saya di Larangan, sebuah kota kecamatan di kabupaten Brebes Jawa Tengah. Bagi anda yang belum pernah menggunakan sarana transportasi kereta api tidak ada salahnya mencobanya, cukup menyenangkan kok. Tidak banyak catatan ketika menumpang kereta api Sancaka jurusan stasiun Tugu Yogyakarta menuju stasiun Surabaya Gubeng selain cukup kecewanya saya ketika membeli nasi pecel pincuk di stasiun Madiun. Seperti biasanya kereta api bernama Sancaka ini akan berhenti di stasiun Madiun, untuk menurunkan atau menaikkan penumpang, mungkin juga pergantian masinis dan kondekturnya, dan pasti ada penjual pecel Madiun yang akan berbaik hati menawarkan dagangannya di dekat pintu gerbong kereta. Diawali dengan niat membeli pecel di stasiun kereta api Madiun saat berhenti nanti, maka saya tidak membeli makanan berat di restorasi kereta api serta mengingat perut saya baru terisi gudheg Yu Jum siang harinya, akhirnya saya pun membeli dua pincuk nasi pecel Madiun saat kereta api ini benar-benar berhenti di stasiun ini. Biasanya pecel Madiun ini enak rasanya dengan sayuran segar , bumbu kacang dan rempeyek kacang yang ala kadarnya , porsi minimalis maksud saya. Namun karena kurang beruntung, maka yang saya dapati sayuran untuk pecel sudah tidak segar lagi dan sudah menjelang basi, akhirnya saya dan keluarga putuskan nanti saja ketika sampai di Surabaya untuk mencari pecel Madiun yang lebih enak. Keesokan hari dengan meminjam kendaraan roda empat dari adik ipar, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan dari Surabaya menuju kota Malang, sudah pasti melalui jalan raya Porong Sidoarjo, mengingat akses ruas jalan tol dari Sidoarjo menuju Gempol yang sudah tergenang lumpur. Anda pasti sudah paham karenanya, ya ..saya melewati jalan yang berdampingan dengan karya masterpiece-nya Pak Bakrie yang cukup fenomenal itu yang menurut kabar terakhir pada tanggal 8  September 2010 menelan  2 orang korban luka bakar akibat gas methane yang keluar di desa Siring. Tentang bagaimana kelanjutan episode Lumpur Lapindo ini, baik berupa penggantian tanah dan rumah tempat tinggal, saya berharap dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang pasti, ketika saya melewati jalan raya Porong yang macet ini, saya mendapati banyak kerumunan orang sedang diatas tanggul untuk menyaksikan karya masterpiece ini, mungkin menjadi obyek wisata baru, demikian batin saya sambil mengingat kembali wacana yang dilemparkan oleh pimpinan negeri ini beberapa waktu yang lalu. Saya masih berpikir positif saja untuk ini, rupanya musibah Lumpur Lapindo membuat lapangan kerja baru dari mulai tukang parkir, penjual dan produsen VCD tentang dokumentasi musibah ini, dan tukang ojek yang akan mengantar anda melewati jalan alternatif untuk menghindari kemacetan di jalan raya Porong ini. Setelah bersusah payah menembus kemacetan di jalan raya Porong ini, saya dan keluarga menyempatkan diri bersantap siang di kawasan Pandaan, kabupaten Pasuruan. Tepatnya di Rumah Makan Sri yang berada di Jalan Dr Soetomo No 3-4. Rumah makan ini rupanya cukup tenar di kalangan turis domestik dan cukup legendaris karena sudah lama sekali berdirinya. Karena sangat ramai sekali bahkan untuk parkir kendaraan saja harus antri, apalagi untuk  mendapatkan meja untuk menyantap hidangan, harus pandai-pandai memilih rombongan mana yang akan selesai makan terlebih dahulu, dan tentu saja tidak perlu malu-malu untuk berdiri di  sekitar pengunjung yang sedang asyik menyantap makan siangnya, untuk memberikan kode kepada pengunjung lain yang sama-sama baru datang, bahwa meja tertentu ini sudah kita booking, hal ini mengingatkan saya akan cerita sahabat saya ketika harus bersusah payah pula untuk antri di soto Triwindu Solo beberapa waktu yang lalu. Karena menu yang cukup tenar di sini adalah ayam goreng dan es beras kencur maka saya dan keluarga pun memesannya ditambah tempe dan tahu goreng serta lalapannya. Soal rasa, ayam goreng rumah makan ini tentunya berbeda dengan ayam goreng Ny Suharti maupun ayam goreng Mbok Berek, masing masing mempunyai cita rasa tersendiri, cita rasa Nusantara tentunya. Apalagi jika anda bandingkan dengan ayam goreng fast food 14045 ataupun 14022, sangatlah jauh kelezatannya, saya lebih memilih ayam goreng di Rumah Makan Sri ini. Santap malam saya dan keluarga setiba di Malang adalah soto Jalan Lombok yang menurut mantan pacar saya yang sekarang menjadi istri saya tentunya, cukup legendaris di kota Malang, terbukti  ketika saya dan keluarga sampai di sana, parkir mobil cukup padat dan tempat soto itu sendiri juga dipenuhi pengunjung, tapi untunglah saya dan keluarga tidak perlu melakukan antri-antrian seperti di Rumah Makan Sri siang hari tadi. Soal rasa soto ini memang mempunyai kekhasan tersendiri dan barangkali kalau saya mengajak Mbak Farah Quinn, tentunya beliau akan bilang dengan gaya khasnya: "This is it...". Menurut saya yang hobby mencicipi masakan tapi tidak hobby memasak ini, dengan adanya kentang di soto ini menjadikan sedikit cita rasa soto ini berkurang, karena sepanjang yang saya tahu, kentang merupakan media yang cukup baik menyerap bumbu bumbu penyedap rasa.Oh ya, saya bagikan pula foto yang menarik hati saya, yaitu tempat kerupuk berupa toples kaca besar yang baru pertama kali ini saya lihat he..he..he.. Masih bercerita tentang soto, esok paginya saya dan keluarga menyambangi Warung Soto Lamongan yang ada di Jalan Oro-Oro Dowo Malang, tidak salah lagi, warung soto inipun juga cukup tenar dan legendaris mengingat sejak tahun 1978 warung ini berdiri dan sampai saat ini tetap laris saja, yang pasti soto ini tidak menggunakan kentang di dalamnya, tentang cita rasa saya berharap Pak Bondan jika bersama saya saat itu akan mengucapkan "Maknyus..." Seorang sahabat saya yang lahir dan dibesarkan di kota Malang pernah bilang kepada saya bahwa kurang afdol jika berkunjung ke kota Malang tanpa singgah di Toko Oen  yang sangat legendaris di Jalan Basuki Rahmad No 5 ini. Bagaimana tidak legendaris, bangunan Toko Oen ini jelas jelas menunjukkan arsitektur gaya kolonialis Belanda yang dapat anda nikmati di gambar yang saya bagikan, yup saya bagikan saja gambarnya tentang pembahasan detail gaya arsitekturya anda dapat menanyakan kepada sahabat anda yang mempunyai latar belakang arsitek saja karena saya bukan ahlinya he..he.. Terlihat pula dalam spanduk ucapan selamat datangnya saja merujuk pada tahun 1930 sebagai awal berdirinya Toko Oen ini (jika anda dapat mengartikan bahasa Belanda yang ada di spanduk tersebut, saya sangat senang jika dapat berbagi di sini) dan hebatnya bangunan toko ini masih terpelihara dengan baik dengan perabotan kursi rotan dan meja dengan model yang sangat jaman dulu sekali, dan tentunya menu-menu yang bernuansa Belanda dan home made pastinya, tidak lupa pula para pegawai yang menggunakan baju dan celana putih persis modelnya seperti apa yang dipakai oleh Pak Soekarno dan Pak Prabowo lengkap dengan pecinya. Menu favorit di Toko Oen ini adalah Steak Lidah Sapi dan Ice Cream Oen Special, saya dan keluarga memesan Ice Cream Oen Special, Ice Cream Banana Split dan Kroket Mayonnaise yang sangat lembut di lidah dan tentu saja saus mayonnaise nya yang special rasanya, saya tinggalkan impian mencicipi menu Steak Lidah Sapi ini mengingat banyaknya pengunjung yang terdiri dari turis domestik dan tentu saja turis asing yang mungkin ingin menikmati suasana kolonial Belanda yang banyak memesan menu favorit ini, dan saya pun membayangkan bagaimana lamanya menunggu menu special ini akan terhidang di meja saya, mengingat sebelum mendapatkan tempat duduk di Toko Oen ini, saya dan keluarga saya harus mengeluarkan strategi mengantri seperti halnya pada saat di Rumah Makan Sri. Karena semua menu di sini dikerjakan dengan home made maka soal rasa sangat terjaga kualitasnya, soal harga tentu mengikuti saja. Ketika berada di atas mobil dalam perjalanan kembali ke Surabaya saya membenarkan apa kata sahabat saya yang orang asli kota Malang itu sambil berharap suatu waktu dapat kembali ke kota Malang dan mencicipi Steak Lidah ala Toko Oen ini. Sumber foto : koleksi pribadi,narone.blogspot.com,2ndrollz.blogspot.com Salam Perjalanan, Erfan Adianto, seorang buruh. Iklan: Silakan baca juga artikel: "Pulang ke Kotamu...." (Perjalanan 2) Kesan Pertama Begitu Menggoda.  (Perjalanan 1) http://www.facebook.com/erfan.adianto http://www.twitter.com/erfanadianto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun