Aku menatapnya lama, sulit menerima kata kata itu dari orang yang sudah berkeluarga. Tapi apalah daya, aku memendam perasaan cinta kepadanya sejak lama, sejak awal jumpa. Dan aku tak peduli jika dia tengah berbohong sekalipun.
Bersamanya, berada di dekatnya, membuatku bahagia. Jauh lebih bahagia dari hari dimana aku melonjak bahagia saat berhasil masuk di universitas yang aku incar lama, ataupun saat aku menerima gaji pertama. Bersamanya, seperti mimpi indah yang berubah jadi nyata.
"Aku juga mencintaimu mas, aku mencintaimu seperti tanah gersang yang mencintai derai hujan," jawabku akhirnya. Dan sejak saat itu, aku resmi menjadi yang kedua.
"Ini bahaya, istriku sepertinya mulai curiga kalau aku punya istri muda," kekasihku itu menatapku lama. Hari ini, hubungan kami sudah menginjak tahun ketiga.
"Lalu kenapa? kamu bilang kamu tak pernah mencintainya. Bukankah akan lebih baik kalau dia tahu tentang hubungan kita hingga kamu dengan mudah bisa menceraikannya," kataku datar saja.
"Ah, kamu tidak tahu kesulitannya, Mia. Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku begitu saja. Lagipula kamu selalu bilang kalau kamu tidak menuntut apapun dariku kecuali cinta dan rindu, kenapa sekarang kamu menuntutku untuk menceraikannya?" Kekasihku itu mulai marah. Dan seperti yang sudah sudah, aku tak punya cukup keberanian untuk membantahnya.
"Untuk sementara, kita tidak usah bertemu dulu. Jangan menghubungiku kalau gak aku hubungi terlebih dahulu." Ujarnya akhirnya dan aku hanya bisa mengangguk setuju meskipun aku tahu akan sangat sulit bagiku untuk melakukannya.
Kalau saja aku punya sedikit keberanian, pasti aku tidak hanya menolak mentah mentah permintaannya. Aku akan berteriak di depan mukanya sambil mengucap sumpah serapah. Beraninya dia, setelah semua pengorbanan dan pengabdian yang selama ini ikhlas aku berikan, dia malah seenaknya sendiri meninggalkanku begitu saja. Aku mungkin yang kedua, tapi bukankah selama ini dia bilang bahwa akulah cinta sejatinya?
Dan benar saja, "untuk sementara," tak sesingkat yang aku kira. Sudah ribuan rindu yang aku kirimkan, tapi tak satupun yang kembali membawa jawaban. Sepertinya dia pergi tanpa keinginan untuk kembali. Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah putus asa. Apakah rindu rindu ini aku bunuh saja? mungkin jika rindu rindu ini mati, dia akan datang menemuiku membawa rindu yang baru. Mungkin saja begitu, mungkin juga tidak. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H