Dari rumah mbok Narmi, kami kemudian menuju ke rumah mbok Jem untuk mengantar bungkusan sembako yang ketiga. Saat itu, mbok Jem sedang tidak ada di rumah dan kami menyerahkan sembako yang kami bawa ke anak sulung mbok Jem yang juga terlihat sudah berusia tua.
"Kak, itu tadi yang nerima bungkusan dari kita, suaminya mbok Jem ya?" tanya Rina sesaat setelah kami keluar dari rumah mbok Jem.
"Hush, bukan. Dia itu anak sulungnya."
"Tapi kok dia terlihat sudah tua?, tangannya juga gemetar terus begitu, dia sakit ya kak?" Rina bertanya lagi.
"Iya, anak sulung mbok Jem pernah tertabrak motor pas pulang mencari rumput, orang yang menabraknya langsung lari. Karena tidak punya uang, dia hanya dipijat oleh tukang urut saja, tidak dibawa ke rumah sakit. Sekarang, tubuhnya gak bisa berfungsi secara normal, pikirannya juga jadi agak terganggu, makanya dia gak bisa kerja lagi sekarang."
"Kasihan ya kak, terus yang nyari uang buat makan mereka sehari hari siapa kak?"
"Ya mbok Jem, jadi buruh tani serabutan."
"Oalah, kasihan ya kak mereka. Seandainya Rina punya banyak uang, Rina akan belikan sembako yang banyak buat mereka."
"Makanya, kamu sekolah yang pinter, kalau main terus seperti sekarang, gimana mau punya pekerjaan bagus dan banyak uang." godaku, dan Rina mengangguk tanda mengerti.
Keadaan mbok Nah dan Mak Sri juga tak kalah memprihatinkan. Mbok Nah bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur karena beberapa bulan terakhir beliau menderita stroke. Sepanjang perjalanan pulang, Rina terus bertanya tentang kehidupan mereka. Kenapa mereka begini, kenapa mereka begitu, dan aku menjawabnya sebisaku. Adik kecilku itu memang memiliki rasa keingintahuan yang besar.
"Bu, kalau Rina sudah besar, Rina mau jadi dokter yang banyak uang," celoteh Rina sembari menghambur ke pelukan ibu saat kami sampai di rumah.