[/gambar: dok pri]
Bab 3: Yang ingin dilupakan
Â
Endah kaget bukan kepalang, nafasnya tersengal, tubuhnya meronta ronta. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri. Apa daya, tangan yang tengah membekap mulutnya dan mengunci tubuhnya dari belakang, terlalu besar dan kuat dibandingkan dengan tubuhnya yang mungil. "Tolong.." teriak Endah panik, yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.
Tangan itu, yang entah milik siapa, menyeretnya ke arah belakang, kamar tidur ibunya. Sampai di dalam, orang yang Endah yakin berbadan tinggi besar, mendorongnya ke atas tempat tidur, lalu menutup pintu dengan kasar. Endah memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas siapa orang yang tadi menyeretnya, tapi, kamar ibunya terlalu gelap untuk Endah mengenali pria itu.
"Siapa anda?, apa yang anda lakukan, saya ingin keluar," Endah mulai menangis ketakutan. Tapi pria itu bukannya menjawab, dia malah menampar gadis itu, lalu dengan kasar melepas semua yang Endah kenakan.Â
"Tolong, jangan lakukan ini, sakit, tolong.." Endah memohon, tangisannya terdengar putus asa dan menyayat hati. Tapi pria yang sekarang sedang menindih tubuhnya itu rupanya memang tak punya hati, dia tak menghiraukan tangisan Endah yang menghiba, dan terus saja melanjutkan perbuatan bejatnya.
Endah menangis, dan menangis, entah pada siapa dia harus meminta tolong. Lalu tiba tiba sesosok tubuh yang begitu dikenalnya, sudah berdiri di dalam kamar ibunya. Matanya menatap tajam ke arah Endah dan lelaki bejat itu. Aneh, orang itu bahkan tak berniat menolong Endah, dia acuh. Endah meronta semakin kuat, tangannya berusaha menggapai sosok yang berdiri di hadapannya itu. "Ibu, tolong aku!"
"Endah... Endah, bangun," Endah merasakan tubuhnya digoncang goncang.Â
"Kamu berteriak saat tidur, apakah kamu mimpi buruk?" Lam Lok Yan Dai dai menatap Endah iba. Nafas Endah masih tersengal, dan keringat dingin membasahi keningnya.
"Iya Dai dai, aku mimpi buruk"
"Kamu bangun dulu sebentar, minum air putih, lalu tidur lagi,"Â
"Baiklah," Endah mengganggu pelan.
"Mmmmp, Dai dai, terimakasih sudah membangunkanku." Perempuan yang sudah seperti ibu sendiri bagi Endah itu, tersenyum kecil, mengelus rambut Endah sebentar, lalu kembali ke kamarnya.
Endah berusaha untuk memejamkan matanya lagi. Badannya berguling ke kanan, lalu ke kiri. Tapi toh, kedua matanya tetap tak mau diajak berkompromi. Mimpinya malam ini, hanya mimpi yang sama, mimpi yang sudah terlalu sering mengganggu tidurnya. Mimpi yang selalu membawa ingatan Endah kembali ke masa masa kelam kehidupan, yang selalu gagal dilupakannya.
***
Endah mengganti seragam biru putihnya dengan baby doll berwarna pink. Baby doll yang dipakainya itu dikirim oleh ibunya yang bekerja sebagai TKW di Malaysia, dua bulan lalu. Nenek Endah bilang hari ini ibunya akan pulang dari Malaysia, dan Endah sudah tak sabar menunggu kedatangannya. Minggu lalu, saat ibunya menghubunginya lewat telepon, Endah sudah memesan beberapa barang untuk dibawa pulang ibunya. Boneka Hello kitty, sepatu, tas, jam tangan, jepit rambut, dan beberapa barang lain yang bahkan sudah ditulisnya dalam daftar. Endah juga sudah sangat rindu dengan ibunya yang sudah hampir 2 tahun tidak pulang ke kampungnya.Â
Endah duduk dengan tidak sabar, sesekali matanya melongok ke arah jalan berdebu di depan rumahnya. Rumah yang ditempati Endah bersama neneknya ini, masih setengah jadi. Â Atapnya sudah jadi, begitu juga dengan kusen kusen rumah, seperti pintu dan jendela. Sedangkan dindingnya baru berupa batu bata yang belum disemen, dan lantainya masih berlantai tanah. Â Tidak bagus memang, tapi jauh lebih bagus dari rumah mereka dulu, yang hanya terbuat dari anyaman bambu, dengan lubang disana sini. Yang membanggakan, rumah ini merupakan hasil kerja ibu Endah sebagai TKW di Malaysia selama 6 tahun.
Endah melonjak girang saat sebuah colt pickup berhenti di depan rumahnya. Ibu Endah, Haryati, turun dari pintu depan mobil, dan Endah menghambur ke arah ibunya.Â
"Ibu jadi beli boneka buat Endah?, sepatu? tas?.." Endah menyebut semua pesanannya satu per satu dan disambut tawa sang ibu. Ibunya memeluk Endah erat, dia juga begitu merindukan putri semata wayangnya yang cantik.
Haryati melepaskan pelukannya, "Oh iya, ibu ingin mengenalkan Endah dengan seseorang"
Endah mengerutkan kening, "siapa bu?", tanyanya. Lalu Endah mengalihkan pandangannya ke arah mobil pickup mengikuti arah pandang ibunya. Seorang laki laki tinggi besar dengan kulit berwarna hitam, dan rambut dipotong cepak ala ala tentara, berjalan ke arah mereka.
"Calon ayah baru Endah," bisik ibunya.
Lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan tangan, "panggil saja om Yanto"
Endah menyambut uluran tangannya, "Endah." Pertemuan pertama, jabat tangan pertama, entah mengapa Endah sudah merasa tidak suka. Tiba tiba saja, Endah tidak lagi merasa bahagia dengan kedatangan ibunya.
Â
#bersambung
*Dai dai; Nyonya (bahasa Kanton)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H