***
Belakangan ini sulit sekali bagiku untuk menemui Dey. Dia juga tak pernah mau mengangkat telponku ataupun membalas sms ku. Akun media sosialnya juga sudah tidak aktif semua. Sepertinya dia sengaja menghindariku dan aku marah. Bisa bisanya dia melakukan hal ini padaku. Apartemenku pun tak ubahnya seperti kapal pecah. Barang barang yang aku lemparkan sebagai sasaran kemarahan, berserakan. Sudah satu minggu aku tidak masuk kerja, untungnya dokter langgananku berkenan memberikan surat keterangan sakit. Toh aku memang sedang sakit, jiwaku yang sakit!. Â
Desas desus tentang rencana pernikahan Dey mulai santer terdengar. Jadi saat itu dia tidak sedang bercanda, dan mungkin orang yang menggandeng tangan Dey itulah calon suaminya. Aku tak akan membiarkan orang lain memilikimu Dey, tak akan pernah.
"Sebelum kamu benar benar menikah, maukah kamu menemuiku untuk terakhir kalinya Dey?, atau kamu lebih memilih agar aku mencari calon suamimu dan menceritakan kisah kita kepadanya. Ah, aku tak dapat membayangkan reaksinya saat mendengar ceritaku tentangmu, tentang kita Dey," aku menulis pesan singkat bernada ancaman dengan harapan Dey mau membalasnya.Â
Benar saja, tak selang berapa lama sms balasan Dey masuk ke HP ku, "aku terpaksa menikahinya Riv, orang tuaku sudah tua, mereka ingin cucu dan aku satu satunya putri mereka. Mereka ingin aku hidup normal sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi anak anakku, cucu cucu mereka."
"Aku tunggu kamu di apartemenku malam ini Dey, kalau kamu tidak datang, besok aku akan mencari calon suamimu dan membuatmu malu di hadapannya, aku tidak sedang bercanda."
"Baiklah," tulis Dey singkat tapi mampu membuatku tertawa senang.
***
Aku seperti hewan buas yang tak pernah mendapatkan mangsa hingga mengerang kelaparan. Seperti itulah saat aku mendapati Dey masuk ke apartemenku. Â Aku langsung melucuti segala yang dikenakannya dan bercinta dengan kalap. Dey pasrah dan melakukan apapun yang aku minta. Entah karena dia masih cinta ataukah karena takut aku akan menemui calon suaminya, apa peduliku.Â
"Kamu mau kopi Dey?", tawarku ketika kami telah usai bercinta. Dia mengenakan kembali bajunya dan duduk santai di sofa apartemenku berteman sampah sampah yang berserakan. Dey menganggukkan kepala.
Aku meracik kopi hitam kesukaannya, kali ini aku meracik juga untukku. Biasanya aku tidak suka kopi, tapi ini kali terakhir aku menemani Dey minum kopi, dan aku ingin minum minuman yang sama dengannya.