Mohon tunggu...
Eren hNt
Eren hNt Mohon Tunggu... Wiraswasta -

I'm only an ordinary woman with an ordinary life.. Homestayeren.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Cinta Untuk Ibu

2 Oktober 2015   22:39 Diperbarui: 2 Oktober 2015   22:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Erenbeckam,12

 

"Jangan perlakukan dia seperti itu mas, bagaimanapun dia putraku," ibu menarikku menjauh lalu memelukku untuk melindungiku dari pukulan ayah. Alhasil, pukulan itu malah mengenai lengan ibu, ibu meringis menahan sakit tapi masih tersenyum sambil berujar, "tenang, semua baik baik saja." Dan aku hanya bisa terisak dalam pelukannya yang nyaman. Lalu sejak saat itu, aku begitu takut untuk bermain mobil mobilan di dekat ayah yang sedang membaca koran, aku tak mau kejadian yang sama terulang.

Waktu berlalu dan pada kenyataannya, aku masih sering menjadi sasaran pukulan ayah meskipun aku tidak sedang bermain mobil mobilan saat dia membaca koran. Bahkan seiring bertambahnya umurku, semakin sering pula ia melampiaskan amarahnya dengan pukulan. Dan jika ibu membantuku, maka pukulan itu juga diberikan kepada ibu, selalu begitu. Padahal, aku sudah berusaha untuk tak melakukan kesalahan sekecil apapun tapi tetap saja aku tak pernah luput dari cacian dan pukulannya. Kadang aku ingin bertanya kenapa ayah begitu membenciku, tapi bukankah apapun yang dilakukan orang tua adalah untuk kebaikan anaknya?, semoga!.

Aku sudah sering melihat ibu bersedih atau menangis, tapi hari ini matanya sampai bengkak dan memerah. Pasti dia menangis sangat lama tadi. Dia memelukku sangat erat seperti orang yang baru bertemu setelah berpisah lama. Percuma aku tanya kenapa atau ada apa karena aku sudah sangat hafal kalimat yang akan keluar dari bibirnya, "semua baik baik saja sayang." Tapi aku tak percaya dan akan aku cari tahu sendiri penyebabnya.

"Bisakah kau pelankan suaramu?."

"Kenapa?, agar anak harammu itu tak mendengar?," aku sedang mengendap endap ke depan pintu kamar orang tuaku dan kaget bukan kepalang mendengar sebutan anak haram yang dilontarkan ayahku itu. 

"Jangan sebut dia anak haram mas!, aku tahu kamu begitu kecewa padaku, tapi jangan terus terusan mengungkit kesalahanku di masa lalu. Aku telah meminta maaf dan berusaha memperbaiki diri untuk menjadi istri yang baik. Aku tak pernah melarangmu melakukan apapun di luar sana ataupun selingkuh dengan siapapun saja. Aku pernah mengkhianatimu satu kali, dan kau sudah menghukumku setiap hari sepanjang hidupku, jadi tolong jangan libatkan Sonny dalam urusan ini, dia tak bersalah, aku yang salah," ibu terisak.

"Ratih, apakah engkau sadar , anak harammu itu, wajahnya yang begitu mirip dengan bapaknya itu, menyakitkanku. Setiap melihat anak itu, aku selalu teringat dengan pengkhianatanmu bersama bedebah itu, bagaimana dia sekarang?, masih hidup atau sudah mati?, yang pasti dia masih hidup di hatimu bukan?"

"Berhenti mengungkit ungkit dosaku mas!, aku sadar sadarnya kalau aku bersalah, tapi tak harus setiap hari kau ingatkan aku, aku sudah melakukan apapun yang kau minta."

"Kecuali mengusir anak itu setelah dia lulus SMA, engkau sudah lupa janjimu kan Ratih?, atau engkau sedang berpura pura lupa?." Tangisan ibuku semakin menjadi.

Tubuhku limbung, lidahku kelu, air mata tak dapat aku tahan lagi. Entah apa yang mereka bicarakan setelah itu karena aku sudah tak ingin mendengar. Anak haram?, jadi itu kenapa ayah begitu membenciku. Jadi itu kenapa perlakuannya padaku begitu berbeda dengan perlakuannya ke mas Hendra, kakakku. Dan itu mengapa beberapa hari ini ibuku menangis hingga matanya bengkak. Itu juga kenapa ayah tak mengijinkanku melanjutkan kuliah, bahkan menampar wajahku saat aku bertanya kenapa mas Hendra diperbolehkan kuliah sedang aku tidak. Dan jawaban dari semua pertanyaanku selama ini ternyata begitu menyakitkan. Dan meskipun sakit, tetap saja aku harus membuat keputusan.

Ibu, aku sudah mendengar perbincangan ibu dan ayah semalam, maaf. Jadi ibu, ini kenapa kesedihan tak pernah hilang dari wajahmu yang cantik. Ini kenapa air mata tak pernah susut dari matamu yang indah. Ayah (jika masih boleh aku sebut begitu), sedang menghukummu karena melahirkan anak haram sepertiku. Sungguh, jika aku tahu kalau kehadiranku menjadi sebuah bencana bagimu, maka aku akan membunuh diriku sendiri sebelum berkembang menjadi janin. Jangan bersedih lagi ibu, jika dia ingin aku pergi, aku akan pergi. Tapi aku pergi bukan untuk mengutuki takdir, aku hanya ingin membuatmu bangga karena telah melahirkan anak sepertiku. Aku ingin melihat taman bunga dalam senyumanmu dan telaga warna di bening indah matamu. Tolong bilang pada ayah bahwa aku tak pernah membencinya dan sampaikan terima kasihku padanya karena telah merawatku sekian lama meskipun tiap melihatku hatinya terluka. Ibu, satu hal yang harus ibu tahu, aku mencintaimu.

Aku melipat kertas putih itu lalu menaruhnya di atas meja kamar. Sepertinya tawaran sahabatku Dio untuk menyusulnya ke Jakarta tak perlu lagi aku pertimbangkan. Jakarta, aku datang.

*****

Nb: Untuk membaca  karya peserta lain silahkan menuju akun fiksiana community  http://m.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di fb fiksiana community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun