Mohon tunggu...
Ridwan Fasih Rasyid
Ridwan Fasih Rasyid Mohon Tunggu... -

Ekspresi rasa dengan tulisan. Suka Baca Tulisan Orang. Penulis 'freelance'. Musik, otomotif, sosial-budaya, biografi. ridwanfrasyid@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

The Royal Wedding Ibas-Aliya Itu

25 November 2011   11:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya terima nikahnya dengan mahar koin emas 100 gram dan seperangkat alat sholat, tunai,” Ibas mengulangi kalimat ‘sakral’ (calon) mertuanya, wali mempelai wanita. Sahih sudahlah cinta dua anak manusia yang terbingkai dalam bahtera bernama perkawinan. "Tapi kenapa kita jadi ribut dan ribet, ya?"

Pria muda lajang mengawini wanita janda kaya. Perempuan muda-cantik sederhana (boleh disebut miskin) menerima pinangan lelaki paruh baya pengusaha kaya. Suami kawin lagi karena tidak bisa punya anak dari isterinya terdahulu atau sebaliknya. Dan, pria asing mengawini wanita lokal atau sebaliknya.  Seorang  satpam bersedia kawin dengan putri bos-nya yang hamil duluan, dsb. Perkawinan seperti ini kerap kali disebut dengan the marriage covenant. Di berbagai literatur, perkawinan jenis marriage covenant dianggap sebagai “perkawinan yang memiliki tujuan khusus” (baca: terselubung). Tersisipi oleh sebuah "perjanjian". Istilah gaul-nya: Ada ‘U’ di balik ‘B’! Serba kontroversial. Ramai dibicarakan, oleh banyak orang dari berbagai kelompok dan tempat. Penuh ’analisis’ nan tendensius. Sejumlah teori dicomot di sana-sini, sebagai penguat argumen. Gosip berhembus amat cepat, tak hanya hinggap di warung kopi tapi juga mampir di ruang-ruang privat. Di ruang tidur, misalnya. Ujung-ujungnya, ada udang di balik batu pula, targetnya. Tak ubahnya dengan the royal wedding saja.

Agaknya, perkawinan Edhie Baskoro Yudhoyono-Siti Rubi Aliya Rajasa -- akad berlangsung di Istana Cipanas, 24 November 2011 -- (di)masuk(kan) pula dalam jenis perkawinan ‘ada U di balik B’.  Sebetulnya, jauh sebelumnya, ‘rencana’ itu sudah terendus oleh banyak pihak, termasuk rekan pers (dilatih agar senantiasa kritis, skeptis, tak mudah percaya begitu saja). Barulah, menjelang detik-detik "injury time" pembicaraan soal Ibas-Aliya berdegup kencang. Dan, “Perkawinan Politik”-lah yang menjadi topiknya. Demikian kah, adanya?

Serupa tapi tak sama dengan The Royal Wedding of Prince William and Kate Middleton, 29 April 2011, pernikahan Ibas-Aliya tak pelak menemui “kontroversi”-nya. Perhatikan: kontroversi Saya tulis dalam tanda kutip. Mengapa harus dalam tanda kutip?

[caption id="attachment_144567" align="aligncenter" width="300" caption="[Repro"]"][/caption]

Sebuah survei dirilis 10 tahun lalu. Respondennya lebih dari 1000 orang perempuan dewasa yang tersebar acak di seluruh bumi pertiwi. Hasilnya cukup mencengangkan, paling tidak bagi Saya sendiri. Lebih dari 90 persen responden dengan profesi dan status sosial beragam menghabiskan waktunya dalam sehari lebih dari 50 persen untuk bergosip! Selebihnya buat ngurus rumah, anak dan suami, pekerjaan, shopping, senam, arisan dan nonton telenovela....

Sebegitukah amat-kah kita ini? Jika survei itu dikerjakan tanpa pemesan -- by order and by design -- dan begitulah memang adanya (tapi saya berharap semoga ia keliru), betapa kita, perempuan responden itu memang gemar bergosip-ria. Cenderung menyukai hal yang fantastis, bombastis dan fenomenal (sorry, Mas Tukul). Otak kita lumayan sensi terhadap hal yang dekat-dekat dengan hal yang berbau seleb (para pengamat jangan teriak bahwa kita tak punya empati terhadap penderitaan orang, dong). Tak jaman rasanya jika kita tak ikutan sumbang saran dan pendapat, apa lagi jika itu tempat peristiwanya di Ibu Kota dan berkaitan dengan ibu-ibu (beserta anak dan suami). Kita merasa ndeso kalau dicap sebagai orang yang tak “ngeh” terhadap drama telenovala, seperti yang banyak diumbar oleh stasiun TV kita yang meng-klaim diri sebagai “yang informatif, edukatif dan tif-tif lainnya”. Mirisnya, yang bukan perempuan (para responden itu) ikutan juga ber-gosip ria....Bahwa kita, saudara kita di mana-mana masih dan sedang berbelit dengan ‘kekeringan’, mari kita jadikan sebagai pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dengan cakap dan serius.

Sehari setelah akad nikah Ibas-Aliyah (tadi siang, tepatnya), Saya ikut mengantar mempelai pria ke rumah calon isterinya. Sebagai keluarga dekat dan dituakan (usia boleh tua, tapi...he-he-he), saya turut jadi saksi pelafalan ijab kabul. Tak beda dengan Ibas-Aliya, akad nikah dibuka dengan pembacaan beberapa ayat suci Al-Qur’an, lalu dilanjutkan dengan nasehat perkawinan, kemudian disusul dengan “Saya terima nikahnya dengan mahar...,”. Yang menjadi diferensiasi, pembedanya, adalah kedua (calon) mempelai tergolong warga mesyarakat kebanyakan, bukan putra seorang pemimpin partai politik yang sedang berkuasa. Presiden dan menteri pula.

Lebih eloklah, rasanya jika wajah kita palingkan saja. Pandanglah bahwa Ibas dan Aliya, juga keluarga Saya yang menikahi isterinya siang tadi, adalah dua anak manusia berlainan jenis sedang memadu cinta-kasih dalam ikatan perkawinan, memenuhi sunnah-Nya. Kalaupun, ada apa-apanya biarlah waktu yang menjawabnya. Kita habiskan sajalah energi dan waktu kita untuk sesuatu yang produktif saja. Menulis di kompasiana, misalnya. He-he-he....

Selamat berbahagia, Ibas-Aliya. Zakinah, mawaddah, warahmah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun