Mohon tunggu...
Angga R Direza
Angga R Direza Mohon Tunggu... Freelancer - erectus

Outbond

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pemanjatan Batu Daya, Dinding Raksasa di Tengah Belantara Kalimantan

1 Februari 2021   09:19 Diperbarui: 5 April 2022   22:58 3507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rawa banjir ketika membuka jalur sisi utara/dokpri

Saya dan Freden mengenal Fikor hanya beberapa minggu sebelum perjalanan ke Batu Daya. Jika tak salah ingat, hanya 3 kali bertemu ketika berlatih manjat di Bandung dan Pantai Sawarna. Fikor sempat berhenti manjat cukup lama, namun pertemuan-pertemuan itu memberi kesan bahwa dia adalah pemanjat yang ngotot.

Halimah, Faudzil dan Ruslan pulang ke Bandung sehari setelah kedatangan Fikor, sementara sisanya, termasuk Fikor sendiri, mulai bergerak ke sisi selatan.

Minggu pertama yang berat

Asep, Freden, dan Fikor menunggu hujan hujan reda di perkemahan/dokpri
Asep, Freden, dan Fikor menunggu hujan hujan reda di perkemahan/dokpri
Untuk menuju ke sisi selatan, dari Keranji kami menyewa mobil bak terbuka. Memutar menyusuri jalur perkebunan sawit, perjalanan itu memerlukan waktu satu jam. Perkampungan terakhir merupakan beberapa rumah keluarga Pak Liong, -yang dalam sistem koloni perkebunan sawit- lebih dikenal dengan sebutan Camp 21. 

Dari sana, untuk menuju kaki tebing masih harus berjalan kaki selama 2 jam. Namun di hari pertama, karena membawa banyak beban bawaan, sambil membuka jalur dan membuat perkemahan, kami menghabiskan 2 hari perjalanan hingga seluruh peralatan dan basecamp berdiri di kaki tebing.

Senang akhirnya mulai memanjat, meski Saya merasa, minggu pertama benar-benar berat bagi kami dalam banyak hal. Dua hari mendorong ratusan kilogram logistik, hujan turun hampir setiap hari. Sekali waktu badai dengan angin kencang mengamuk menunda rencana pemanjatan seharian. 

Di tengah badai, selain bahaya pohon tumbang, bebatuan yang tersangkut pohon di muka tebing menjadi sangat rawan terlepas dan jatuh. Salah satunya melesat menuju perkemahan. 

Melenceng kurang dari setengah meter, beruntung hanya meluluh lantakkan makan malam yang sedang kami siapkan. Bekas jatuhannya menyisakan lubang sebesar buah kelapa. 

Sejujurnya saat itu Saya, mungkin juga yang lain, merasa sangat ketakutan. Hujan juga mengundang kawanan semut naik ke permukaan, hal itu jadi sangat menjengkelkan karena si semut ini ternyata memberikan gigitan yang luar biasa menyakitkan. Kalau tak salah, Semut Katikih namanya.

Awal-awal pemanjatan terasa sangat lambat. Freden dan Fikor di plot sebagai pemanjat. Fikor tak pernah memanjat multipitch sebelumnya, apalagi memanjat bor to bor sambil memasang hanger membuatnya masih bergerak dengan sangat kikuk.

Walau demikian, dalam kacamata Saya, pembagian ini terasa sangat ideal. Freden jangan ditanya, Fikor meski ini perdana baginya, adalah pemanjat yang kuat, akan tetapi soal membawa beban dan mensupport pemanjatan, bisa Saya katakan bahwa Saya bisa melakukannya lebih baik darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun