Kehilangan jejak, berjalan beriringan di hutan yang terendam banjir setinggi paha. Mirip seperti film Anaconda. Menyeberangi sungai utama dengan mencari pohon-pohon tumbang sebagai jembatan. Menjelang tiba di Desa, hujan kembali turun dengan deras. Tim menyadari, rencana awal itu ternyata gagal total, pilihannya tinggal pulang atau memanjat secara langsung lewat sisi selatan.
“Kalau yang lain mau pulang, sok aja, ini bisa diberesin Saya sama Angga” Seru Freden sambil berapi-api. Kehilangan waktu satu minggu membuat diskusi soal kelanjutan pemanjatan tak terhindarkan.
Pilihan soal lanjut dan menghentikan ekspedisi pun diusulkan. Beberapa orang harus pulang karena urusan pekerjaan yang sebelumnya kami kerjakan di Aruk, Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Sebetulnya karena pekerjaan itu jugalah kami akhirnya bisa sampai di Batu Daya, secara mendadak, dengan persiapan tak lebih dari 2 hari. Di satu sisi kami merasa sangat beruntung, namun di sisi lain justru itulah yang mengancam perjalanan kami sejak awal. Dalam rencana, sebetulnya kami hanya punya waktu satu minggu sebelum dihadang suatu urusan pekerjaan yang mengharuskan kami untuk pulang.
Tipikal Freden memang demikian, sudah tak aneh bagi Saya. Sebagai pemanjat serius, Freden pastilah punya dorongan kuat untuk tetap melanjutkan ekspedisi. Saya mengenalnya sebagai pemanjat yang cukup konsisten, membuat jalur di beberapa tempat di Indonesia, juga pemanjat yang sedikit keras, jika tak boleh dikatakan brutal.
Namun, idenya soal memanjat berdua adalah hal lain lagi. “Jangan gila Bos!” Meski demikian, Saya sendiri sebetulnya tak ingin perjalanan berakhir disini, belum manjat, bahkan belum sampai di kaki tebing nya. Lebih dari itu, “Kita terlanjur disini, Batu Daya sudah ada di depan mata” agak ragu, Saya berusaha memeperkuat argumen Freden.
Saya mengenal panjat tebing sejak 2 tahun belakangan, beberapa kali berkesempatan memanjat bigwall, memanjat di beberapa tempat meski di jalur-jalur dengan grade recehan. Tak pernah membuat jalur sebelumnya. Hanya pernah beberapa kali memegang Bor.
Kemudian, Asep akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan. Setelah 2 minggu pekerjaan di perbatasan yang melelahkan, bersama Halimah, Ia adalah orang menyusul Tim ke Pontianak.
“Inimah kelas ekspedisi atuh Bos!” Katanya sambil berjalan payah ditengah rawa banjir ketika membuka jalur trekking sisi utara sehari sebelumnya, dan mengaku perjalanan tak seperti apa yang ia bayangkan pada awalnya. Pemanjatan sisi selatan juga bakal sangat berat baginya yang cukup lama tak manjat.
Maka diputuskanlah 3 orang termasuk Saya, tetap melanjutkan dan mencari satu orang lagi pemanjat tambahan. Semua keputusan itu harus dilakukan dengan cepat karena besoknya orang itu harus sudah tiba di Batu Daya.
Tim pun menghubungi beberapa kawan pemanjat, kebanyakan memang kawan-kawan dekat di Bandung. Salah satunya adalah Thufail Dzulfiqar. “Saya siap berangkat” kata Fikor, sapaan akrabnya, berbicara di seberang telepon.