Di rumah Pak Matius kami berbincang hingga siang, mengajukan macam-macam pertanyaan seputar Bukit Batu Daya. Sebagian orang menyebutnya Bukit Unta, karena konon jika diperhatikan dari salah satu sisi akan terlihat seperti punuk unta. Sebelum melakukan pemanjatan, Pak Matius mengharuskan tim melakukan upacara adat. Tim pun dibawa menemui tetua adat setempat, Pak Jorben namanya.
Sambil mengucapkan doa-doa berbahasa Dayak, dedaunan pun dicelupkan kedalam air, satu per satu anggota tim termasuk Jani, Silen, Anto dan Teddy, empat pemuda setempat yang kami sewa untuk mengangkut barang, dikipasi di bagian dada dan punggung.
Berdasarkan kepercayaan setempat, ritual tersebut dimaksudkan untuk untuk meminta keselamatan selama kami melakukan aktivitas di sekitar Gunung. “silahkan, sekarang kalian boleh tebang pohon asal sesuai kebutuhan, boleh bikin api unggun, tapi jangan bakar yang amis-amis dan binatang yang masih hidup”
Membuka Jalur Trekking Sisi Utara
Setelah ritual adat dan beristirahat satu malam di rumah Pak Matius. Esoknya tim dipecah menjadi dua. Ruslan, Faudzil, Asep dan Halimah serta satu orang porter bergerak ke sisi selatan. Sementara Saya dan Freden bersama dua orang porter bertugas membuka jalur menuju puncak lewat utara, sisi yang paling mungkin dilalui dengan trekking menuju puncak.
Rencananya, pembuatan jalur akan dilakukan dengan rappelling, menggapai puncak dari utara dan menurunkan tali lalu bertemu di sisi selatan. Harapannya pembuatan jalur dapat dilakukan lebih cepat dan waktu yang masih tersisa setelahnya dapat dipergunakan untuk mencoba memanjat jalur yang sudah dibuat.
“Belum pernah ada orang yang pernah mendaki sampai Puncak” begitu kira-kira cerita Pak Matius. Tim Saya dan Freden menghabiskan dua malam untuk mencapai Puncak. Beban ransel terasa lebih berat dari yang pernah Saya bawa.
Jelas saja, barang yang dibawa bukan sekedar air minum, makanan dan peralatan berkemah, tapi juga peralatan untuk pembuatan jalur pemanjatan: 12 roll tali kernmantel, 50 buah bolt dan hanger, bor, puluhan carabiner, quickdraw, harness dan helm. Tim selatan ternyata sama juga, mereka harus meretas hutan selama dua hari sambil membuka jalur.
Selama dua hari berjibaku dengan duri rotan dan belukar yang rapat. Membuat banyak luka sayatan dibagian lengan. Waktu istirahat terkadang dihabiskan sambil mencabuti duri yang menancap dengan jarum.
Kami menambatkan tali di satu medan curam yang tak mungkin lagi dilalui sambil menggendong ransel. Satu per satu ransel ditarik menggunakan tali tersebut, sementara orangnya menyusul kemudian.
Keadaan di puncak lebih parah lagi. Di hari ke tiga, usai melewati beberapa lembah yang rapat, kami akhirnya menyerah turun. Meninggalkan semua barang yang tak sanggup lagi dibawa. “Bang, simpan aja barangnya disini, Saya udah gak kuat bawa” keluh Jani dan Silen, dua orang porter yang kami bawa.
Tim kemudian berkumpul kembali di Rumah Pak Matius. Besoknya, Saya, Faudzil, Asep dan tiga orang pemuda desa termasuk Silen kembali mendaki puncak untuk menjemput barang yang ditinggalkan. Menyita waktu dua hari, bahkan terkena banjir setelah diguyur hujan deras hampir semalaman, meluapkan sungai besar dan rawa yang kami lalui.