Mohon tunggu...
Angga R Direza
Angga R Direza Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni Geografi UPI

Belajar bermain

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dunia Bawah Tanah Cikarang

26 Oktober 2019   12:57 Diperbarui: 26 Oktober 2019   13:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reza Santosa melewati lorong sempit di Gua Lor Akon | Dokpri

Sepuluh menit berjalan, diantara semak-semak yang diapit bongkahan batu-batu kapur yang tersingkap dipermukaan, kami bertemu dengan lubang berikutnya. Bau kotoran kelelawar, samar-samar tercium, namun kelelawar-kelelawarnya tak pernah kami temukan. Namanya Guha Siloar, lorong-lorong horisontalnya berukuran cukup besar, sehingga kami bergerak dengan sangat leluasa. Hanya saja, pada meter ke 20 tak ada lagi lorong horisontal yang dapat ditelusuri, mentok! Disana hanya ada lubang vertikal sedalam 5 meter yang tak mungkin dilewati tanpa peralatan yang memadai. Aliran sungai didasarnya mencirikan pembentukan guanya yang masih berlangsung. Walau diselimuti rasa penasaran, kami harus menerima kenyataan dan merelakan penelusuran berakhir di lorong tersebut.

Mulut Gua yang kami datangi selanjutnya terletak lebih renggang dari lubang-lubang sebelumnya.  letaknya jauh didasar lembah dibawah hutan bambu. Penduduk setempat menamakannya guha Barung. Lebar dan tinggi mulut guanya yang mencapai belasan meter membuat kami yakin dapat menelusurinya dengan lapang dan tanpa masalah. Perkiraan itu terbukti meleset setelah kami memasukinya. Sebab, lorong-lorong didalamnya ternyata berliku dengan bongkah-bongkah batu yang tampak saling bertumpuk. Melihat bentuk dan karakteristik lorongnya, ditambah terdapat jendela pada salah satu atap guanya, kami beranggapan bahwa pada masa lampau lorong tersebut pernah runtuh.

Satu demi satu lorong kami susur, kebanyakan berakhir pada ruangan buntu atau lubang kecil yang tak bisa dilewati. Namun, pada salah satu lorong yang berliku, kami dibawa menuju aliran sungai bawah tanah, jauh dibawah posisi mulut guanya. Untuk melewati lorong tersebut, kami harus merangkak seperti bayi. Karakteristik lorongnya hampir menyerupai Guha Ciwajar, sempit dan tergenang, hanya saja posisinya yang berada jauh dibawah posisi mulut Gua, membuat kami sedikit ragu untuk melanjutkan penelusuran. Ya, wajar lah, lagipula ini 'kan hanya survei. Rasa penasaran dan keragu-raguan, barangkali akan kami lunasi pada kunjungan selanjutnya. Tentu dengan persiapan yang lebih matang lagi.

Kira-kira tengah hari ketika kami meninggalkan Guha Barung. Menurut Heri, pemandu kami, gua yang akan menjadi daftar kunjungan selanjutnya dikenal dengan nama Guha Leles. Mulut Guanya vertikal, namun kami belum puas jika tak melihat langsung wujud aslinya. Lembah Guha Barung pun kami tinggalkan, jalan tanah setapak sudah lewat berganti pesawahan yang baru saja dipanen. Secara administratif, kami sudah berada di kampung Cimapag. Guha Leles berada diantara pesawahan, kami hanya mampu melihatnya dari luar, sebab mulut guanya vertikal sedalam 6 meter. Dari luar, Guha Leles terlihat masih aktif, tetesan-tetesan air yang mengalir pada celah-celah batuannya sayup-sayup terdengar hingga keluar.

Di sekitar mulut gua, kami menemukan bongkahan batu yang begitu menarik. Pada permukaan batu tersebut menempel fosil kerang entah jenis apa, temuan itu  menjadi bukti kasat mata bahwa dulunya daerah tersebut merupakan dasar laut dangkal. Terumbu karang yang indah dengan makhluk hidup yang bergantung padanya itulah yang mengendap, terangkat, dan menjadi batuan gamping yang kami saksikan saat ini. Dalam skala geologi, Formasi Bentang berumur oligo-miosen, atau sekitar dua puluh lima juta tahun. Hari itu, Guha Leles menjadi kunjungan terakhir. Lubang lainnya baru akan kami kunjungi esok hari. Sisa hari itu kami habiskan untuk berdiskusi dan beristirahat untuk perjalanan besok hari.

Sepanjang aliran Ci Karang

Besoknya Heri membawa kami ke Ci Karang, sebuah sungai berair jernih yang melintang melintasi Desa Cikarang. Dari nama sungai itulah, mungkin, nama desanya diambil. Ci berarti air, dan karang berarti batu karang/kapur, artinya air yang mengalir diantara batu karang. Dari nama sungai dan karakteristik geologinya, kemungkinan besar ditemukan mulut gua disana. Kami makin penasaran, sebab Heri sekalipun tak memiliki banyak pengalaman menelusuri sungai tersebut.

Tibalah kami di lembah akon, disini kami temukan sebuah lubang yang sempit, jarak lantai dan atapnya sekitar satu meter. Lorongnya menukik hampir 60 derajat, sehingga cahaya bisa masuk secara vertikal. Diujung lorong itu tampak aliran sungai yang melintang. Satu per satu memasukinya, di dasar sungai bawah tanah berair jernih itu, kaki kami terbenam pada lumpur hampir setinggi lutut. Hal itu berarti proses sedimentasi cukup intensif.

Reza Santosa melewati lorong sempit di Gua Lor Akon | Dokpri
Reza Santosa melewati lorong sempit di Gua Lor Akon | Dokpri

Nama guanya Lor Akon, diantara gua yang kami temui sehari sebelumnya, gua-gua di aliran Ci Karang jarang sekali dikunjungi: ular yang berenang dengan bebas, lele yang berlindung dibalik bebatuan dan udang-udang yang meloncat-loncat, serta kawanan kelelawar yang menggantung diujung stalaktit membuktikan bahwa Lor Akon masih sangat alami. Lorong selebar dua meter, dan atap yang sedikit lebih tinggi dari posisi jongkok kami itu tak tuntas kami lewati, perjalanan kami berhenti di meter ke-30. Kami kembali keluar, sebab dingin kian menghebat ketika lebih dari setengah tubuh kami terus terendam air.

Kegiatan pemetaan Gua Oleh Jantera (Perhimpunan Pencinta Alam Geografi UPI)
Kegiatan pemetaan Gua Oleh Jantera (Perhimpunan Pencinta Alam Geografi UPI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun